Minggu, 19 Januari 2014

Sekolah Rimba dan Pengelolaan SDA

Sekolah Rimba dan Pengelolaan SDA

Rizqi Abdulharis  ;  Pusat Studi Agraria, Institut Teknologi Bandung
KOMPAS,  18 Januari 2014
                                                                                                                       


Saya prihatin mendengar perusahaan perkebunan kelapa sawit yang bersama-sama dengan aparat menyerang Suku Anak Dalam di Jambi. Berita tersebut mengingatkan saya pada film Sokola Rimba, yang bercerita tentang Nyungsang Bungo yang ingin belajar membaca agar dapat mengetahui isi surat persetujuan pengelolaan tanah adatnya dengan pihak luar.

Pada film tersebut digambarkan pula rusaknya hutan akibat perambahan hutan oleh pihak luar. Sebaliknya, hutan di hilir Sungai Makekal yang dikelola Suku Anak Dalam dengan mempertahankan kearifan lokal tampak rimbun lestari.

Sebagai bangsa besar dan sejak dulu secara mandiri mengelola sumber daya alam (SDA)-nya, bangsa Indonesia memiliki nilai dan aturan terkait pengelolaan SDA.
Nilai dan aturan tersebut umumnya masih dipatuhi dan dilaksanakan oleh sebagian besar masyarakat adat di Indonesia sesuai dengan amanat Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa pengelolaan SDA untuk dilaksanakan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.

Masyarakat adat adalah salah satu komponen utama pembentuk bangsa Indonesia. Selama ini masyarakat adat selalu dianggap sebagai masyarakat terbelakang. Namun, film Sokola Rimbamemberikan gambaran yang berbeda tentang pengelolaan SDA oleh masyarakat adat.

Pengelolaan SDA oleh masyarakat adat membuktikan bahwa bangsa Indonesia merupakan masyarakat berpengetahuan (knowledge society). Keberadaan masyarakat adat sangat bergantung pada kelestarian lingkungan sekitarnya. Akibatnya, mereka diharuskan mengenal karakteristik lingkungan sekitarnya agar dapat mempertahankan hidupnya.

Proses pengenalan karakteristik lingkungan berlangsung lama dan mengikutkan pengkajian secara terus-menerus agar dapat menyesuaikan dengan kondisi terkini. Proses yang dinamis tersebut dapat mematahkan anggapan bahwa hukum adat bersifat kaku dan statis. Bahkan, hukum adat di negeri-negeri di Maluku saat ini masih berevolusi mengikuti perkembangan ilmu, teknologi, dan kondisi terkini.

Masyarakat komunal

Pengelolaan SDA oleh masyarakat adat di Indonesia dilaksanakan oleh semua komponen masyarakat adat untuk kesejahteraan anggotanya. Wilayah terkecil dalam pengelolaan SDA secara adat adalah desa atau kampung, seperti di Aceh dengan gampong-nya atau di Maluku dengan negeri-nya.

Setiap wilayah adat dipimpin oleh ketua adat, seperti keuchik di Aceh atau raja di Maluku. Hampir setiap masyarakat adat memiliki lembaga legislatif yang bertugas menyusun peraturan adat. Di Maluku, saniri negeri merupakan lembaga legislatif adat, di mana anggotanya terdiri atas perwakilan setiap komponen masyarakat adat di sebuah negeri.

Struktur masyarakat adat tersebut memungkinkan pengambilan keputusan dalam pengelolaan SDA dilaksanakan secara bersama-sama oleh anggotanya. Setiap kegiatan pengambilan keputusan dilaksanakan oleh lembaga eksekutif dan lembaga legislatif adat. Keputusan selanjutnya diumumkan kepada semua anggota masyarakat melalui upacara adat. Konsep pengambilan keputusan tersebut mirip dengan konsep politik para pemikir bangsa Yunani.

Dalam pelaksanaannya, pada tahap awal lahan yang memiliki nilai penting, baik secara ekonomi, sosial, maupun ekologis, akan dialokasikan untuk kepentingan umum. Selanjutnya, lahan yang tersisa diserahkan pengelolaannya kepada setiap komponen masyarakat adat secara merata.

Lembaga eksekutif tetap memiliki wewenang untuk mengawasi dan melaksanakan penegakan aturan adat dalam pengelolaan lahan tersebut. Pada akhirnya, pengelolaan lahan secara adat tetap selaras dengan kebijakan pengelolaan lahan. Dengan demikian, kesejahteraan dapat tersebar merata. Dari sudut pandang sosial, aturan adat dapat tetap dipertahankan.

Langkah ke depan

Dalam penyusunan konsep pelaksanaan pengelolaan SDA berdasarkan aturan adat yang ada terdapat dua hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, pengelolaan SDA secara adat dilaksanakan secara lokal oleh masyarakat adat berdasarkan kearifan lokal yang ada.

Kearifan lokal yang ada diharapkan dapat segera diidentifikasi dan selanjutnya dimasukkan ke dalam konsep pengelolaan SDA oleh pemerintah daerah. Kegiatan tersebut dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah bersama-sama dengan pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada, lembaga swadaya masyarakat, serta kalangan akademisi.

Konsep pengelolaan SDA ini sejalan dengan semangat desentralisasi pembangunan Indonesia. Di lain sisi, pada tingkat provinsi dan nasional, koordinasi antarpemerintah daerah dalam pengelolaan SDA sangat diperlukan.

Kedua, beberapa kegiatan pengelolaan SDA, seperti eksploitasi minyak dan gas bumi, merupakan kegiatan yang umumnya tidak dilaksanakan oleh masyarakat adat di Indonesia. Mengingat aturan adat secara konseptual bersifat dinamis, kearifan lokal yang ada dapat dikembangkan lebih lanjut dengan memperhatikan pemanfaatan teknologi serta keberlanjutan lingkungan dan masyarakat adat itu sendiri.

Pengembangan konsep pengelolaan SDA khas Indonesia bukanlah hal mudah. Namun, apabila pengembangan konsep tersebut disertai dengan optimisme dan determinasi yang tinggi untuk pemenuhan cita-cita kemerdekaan Indonesia, tentunya hal itu bukan hal yang mustahil.

Dengan tersusunnya konsep tersebut, diharapkan bangsa Indonesia dapat memproklamasikan kembali dirinya sebagai bangsa besar yang unggul, bermartabat, dan mampu memandu perubahan untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa dan dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar