Sekolah
Rimba dan Pengelolaan SDA
Rizqi Abdulharis ; Pusat Studi Agraria, Institut Teknologi Bandung
|
KOMPAS,
18 Januari 2014
Saya
prihatin mendengar perusahaan perkebunan kelapa sawit yang bersama-sama
dengan aparat menyerang Suku Anak Dalam di Jambi. Berita tersebut
mengingatkan saya pada film Sokola Rimba, yang bercerita tentang Nyungsang
Bungo yang ingin belajar membaca agar dapat mengetahui isi surat persetujuan
pengelolaan tanah adatnya dengan pihak luar.
Pada film tersebut digambarkan
pula rusaknya hutan akibat perambahan hutan oleh pihak luar. Sebaliknya,
hutan di hilir Sungai Makekal yang dikelola Suku Anak Dalam dengan
mempertahankan kearifan lokal tampak rimbun lestari.
Sebagai bangsa besar dan sejak
dulu secara mandiri mengelola sumber daya alam (SDA)-nya, bangsa Indonesia
memiliki nilai dan aturan terkait pengelolaan SDA.
Nilai dan aturan tersebut umumnya
masih dipatuhi dan dilaksanakan oleh sebagian besar masyarakat adat di
Indonesia sesuai dengan amanat Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 yang menyebutkan
bahwa pengelolaan SDA untuk dilaksanakan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan
rakyat.
Masyarakat adat adalah salah satu
komponen utama pembentuk bangsa Indonesia. Selama ini masyarakat adat selalu
dianggap sebagai masyarakat terbelakang. Namun, film Sokola
Rimbamemberikan gambaran yang berbeda tentang pengelolaan SDA oleh masyarakat
adat.
Pengelolaan SDA oleh masyarakat
adat membuktikan bahwa bangsa Indonesia merupakan masyarakat berpengetahuan (knowledge society). Keberadaan
masyarakat adat sangat bergantung pada kelestarian lingkungan sekitarnya.
Akibatnya, mereka diharuskan mengenal karakteristik lingkungan sekitarnya
agar dapat mempertahankan hidupnya.
Proses pengenalan karakteristik
lingkungan berlangsung lama dan mengikutkan pengkajian secara terus-menerus
agar dapat menyesuaikan dengan kondisi terkini. Proses yang dinamis tersebut
dapat mematahkan anggapan bahwa hukum adat bersifat kaku dan statis. Bahkan,
hukum adat di negeri-negeri di Maluku saat ini masih berevolusi mengikuti
perkembangan ilmu, teknologi, dan kondisi terkini.
Masyarakat komunal
Pengelolaan SDA oleh masyarakat
adat di Indonesia dilaksanakan oleh semua komponen masyarakat adat untuk
kesejahteraan anggotanya. Wilayah terkecil dalam pengelolaan SDA secara adat
adalah desa atau kampung, seperti di Aceh dengan gampong-nya atau di
Maluku dengan negeri-nya.
Setiap wilayah adat dipimpin oleh
ketua adat, seperti keuchik di Aceh atau raja di Maluku. Hampir
setiap masyarakat adat memiliki lembaga legislatif yang bertugas menyusun
peraturan adat. Di Maluku, saniri negeri merupakan lembaga
legislatif adat, di mana anggotanya terdiri atas perwakilan setiap komponen
masyarakat adat di sebuah negeri.
Struktur masyarakat adat tersebut
memungkinkan pengambilan keputusan dalam pengelolaan SDA dilaksanakan secara
bersama-sama oleh anggotanya. Setiap kegiatan pengambilan keputusan
dilaksanakan oleh lembaga eksekutif dan lembaga legislatif adat. Keputusan
selanjutnya diumumkan kepada semua anggota masyarakat melalui upacara adat.
Konsep pengambilan keputusan tersebut mirip dengan konsep politik para
pemikir bangsa Yunani.
Dalam pelaksanaannya, pada tahap
awal lahan yang memiliki nilai penting, baik secara ekonomi, sosial, maupun
ekologis, akan dialokasikan untuk kepentingan umum. Selanjutnya, lahan yang
tersisa diserahkan pengelolaannya kepada setiap komponen masyarakat adat
secara merata.
Lembaga eksekutif tetap memiliki
wewenang untuk mengawasi dan melaksanakan penegakan aturan adat dalam
pengelolaan lahan tersebut. Pada akhirnya, pengelolaan lahan secara adat
tetap selaras dengan kebijakan pengelolaan lahan. Dengan demikian,
kesejahteraan dapat tersebar merata. Dari sudut pandang sosial, aturan adat
dapat tetap dipertahankan.
Langkah ke depan
Dalam penyusunan konsep
pelaksanaan pengelolaan SDA berdasarkan aturan adat yang ada terdapat dua hal
yang perlu diperhatikan.
Pertama, pengelolaan SDA secara
adat dilaksanakan secara lokal oleh masyarakat adat berdasarkan kearifan
lokal yang ada.
Kearifan lokal yang ada diharapkan
dapat segera diidentifikasi dan selanjutnya dimasukkan ke dalam konsep
pengelolaan SDA oleh pemerintah daerah. Kegiatan tersebut dapat dilaksanakan
oleh pemerintah daerah bersama-sama dengan pakar hukum adat, masyarakat hukum
adat yang ada, lembaga swadaya masyarakat, serta kalangan akademisi.
Konsep pengelolaan SDA ini sejalan
dengan semangat desentralisasi pembangunan Indonesia. Di lain sisi, pada
tingkat provinsi dan nasional, koordinasi antarpemerintah daerah dalam pengelolaan
SDA sangat diperlukan.
Kedua, beberapa kegiatan
pengelolaan SDA, seperti eksploitasi minyak dan gas bumi, merupakan kegiatan
yang umumnya tidak dilaksanakan oleh masyarakat adat di Indonesia. Mengingat
aturan adat secara konseptual bersifat dinamis, kearifan lokal yang ada dapat
dikembangkan lebih lanjut dengan memperhatikan pemanfaatan teknologi serta
keberlanjutan lingkungan dan masyarakat adat itu sendiri.
Pengembangan konsep pengelolaan
SDA khas Indonesia bukanlah hal mudah. Namun, apabila pengembangan konsep
tersebut disertai dengan optimisme dan determinasi yang tinggi untuk
pemenuhan cita-cita kemerdekaan Indonesia, tentunya hal itu bukan hal yang
mustahil.
Dengan tersusunnya konsep tersebut, diharapkan bangsa
Indonesia dapat memproklamasikan kembali dirinya sebagai bangsa besar yang
unggul, bermartabat, dan mampu memandu perubahan untuk meningkatkan
kesejahteraan bangsa dan dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar