Tragedi
Politisasi Bencana
Munawir Aziz ; Esais dan Peneliti Tamu pada Goethe
Frankfurt University Jerman
|
SUARA
MERDEKA, 18 Januari 2014
NEGARA kita saat ini sedang dilanda bencana.
Memasuki tahun politik 2014, bencana datang bertubi-tubi menghajar ketenangan
warga negeri ini. Bencana alam, lingkungan, juga keretakan pada ranah hukum
dan politik menjadi tragedi bagi warga Indonesia. Bencana alam berupa banjir,
tanah longsor, juga meletusnya Gunung Sinabung merupakan hantaman keras, di
tengah langkanya gas dan energi kehidupan.
Banjir yang meluas di Jakarta, Manado dan
beberapa kota/kabupaten lain menimbulkan efek negatif berupa kemacetan akses
ekonomi serta ketersendatan proses pendidikan. Banjir yang terjadi di Ibu
Kota, tidak sekedar sebagai bencana alam, tapi juga menjadi panggung
kontestasi politik. Banjir tidak sekadar menampilkan kegelisahan warga yang
rumahnya terendam dan akses pekerjaannya terganggu, tetapi juga menjadi ruang
bagi tampilnya komentar-komentar pedas terkait penanganan bencana.
Mendekati tahun politik, segala macam
peristiwa dapat menjadi panggung untuk kehadiran manuver-manuver
politik. Bencana yang terjadi di Jakarta justru menjadi ajang kampanye bagi politikus
untuk menaikkan bendera partai dan media pengenalan calon anggota legislatif
(caleg) baik pada tingkatan DPR, DPRD provinsi, maupun kabupaten/kota.
Pada situs berita internet dan media
sosial, terekam dengan jelas perdebatan antarpihak yang mengkritisi kinerja
Jokowi-Ahok dan pihak yang mendukung apa yang telah disampaikan pemerintah
DKI Jakarta. Diskusi-diskusi di media sosial, menjadi panggung refleksi
tentang kondisi yang terjadi di balik peristiwa bencana. Banjir, dalam
konteks ini, menjadi ajang perdebatan politik untuk menilai visi-misi dan
kinerja para pemimpin rakyat.
Panggung
Politik
Di ruang politik, semua hal yang bisa
dikonversi menjadi ajang kampanye akan menjadi panggung untuk mengusung
wacana. Dalam konteks ini, sebagai contoh, di Provinsi DKI Jakarta, banjir
yang menerjang Ibu Kota, menjadi panggung untuk menghembuskan energi politik.
Sekitar 92% wilayah DKI Jakarta sudah dikonversi menjadi hutan beton, dari
total luas wilayah 661,52 km2. Banjir menjadi efek dari pola pembangunan yang
kacau.
Mereka yang tidak berpihak pada
pemerintahan Jokowi-Ahok akan mengecam habis-habisan. Sebaliknya, mereka yang
mendukung kerja kepemimpinan gubernur-wakil gubernur DKI Jakarta tersebut
maka akan lebih dari pelbagai sudut pandang dan argumentasi yang lebih
mendasar. Pada level politikus, perdebatan antara politikus Partai Demokrat
Ruhut Sitompul dan Gubernur DKI Joko Widodo, menjadi percikan dari kontestasi
di panggung bencana.
Momentum bencana berupa banjir, menjadi
jurus untuk menghantam kerja kreatif yang telah dilakukan oleh pemerintahan.
Ruhut berkomentar sinis bahwa banjir di DKI Jakarta menunjukkan blusukan
Jokowi tidak ada fungsinya. Komentar Ruhut ini bermakna, bahwa jurus ampuh
Jokowi untuk menyerap aspirasi warga dilumpuhkan oleh bencana.
Bencana
Kedua
Adapun Jokowi menanggapi dengan komentar,’’
Yang sudah 20 tahun, 30 tahun (menjadi pemimpin dan wakil rakyat) ngapain
saja?î Jawaban Jokowi jelas mengingatkan bahwa, pemerintahan sebelumnya juga
perlu bertanggung jawab atas perencanaan dan eksekusi program terkait banjir
dan bencana lain.
Di Jawa Tengah, banjir dan bencana lainnya
juga mengancam kita. Kondisi ini jelas mengundang kerawanan untuk tahun ini.
Upaya para politikus untuk menjadikan bencana sebagai panggung politik, jelas
menjadi bencana lanjutan. Menunggangi bencana untuk urusan kampanye dan misi
politik, sejatinya justru menambah kesedihan warga.
Politisasi bencana akan mengakibatkan
bencana kedua, seiring dengan kehadiran tahun politik. Apalagi, dalam Pemilu
2014 ini, ada 1.038 caleg yang berkompetisi untuk perolehan kursi di DPRD
Jawa Tengah.
Bencana yang terjadi di Indonesia menjadi
renungan bagi warga negeri ini. Data kerusakan, menurut Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB), lahan hutan yang rusak tiap tahun mencapai
sekitar 2 juta hektare. Kerusakan ini, naik tajam dari 5 tahun lalu, sekitar
1,7 juta hektare per tahun. Kawasan hutan di seluruh Indonesia seluas 120,34
juta hektare. Data ini diperoleh dari hutan konservasi seluas 20,5 juta
hektare, hutan lindung 33,52 juta hektare dan hutan produksi 66,33 juta
hektare.
Bencana yang terjadi di tahun politik, akan
menjadi bencana lanjutan jika terjadi politisasi bencana. Menjadikan bencana
alam sebagai panggung politik merupakan ironi di tengah kontestasi untuk
merebut dan mempertahankan kuasa. Komunikasi politik para caleg dan capres
sebaiknya menggunakan cara yang lebih strategis untuk menarik simpati massa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar