Sabtu, 18 Januari 2014

Mendongkrak Politik Nurani

Mendongkrak Politik Nurani

Muh Khamdan  ;  Peneliti Paradigma Institute dan Fungsional Widyaiswara Kementerian Hukum dan HAM
SINAR HARAPAN,  18 Januari 2014
                                                                                                                        


Kisruh beberapa partai politik akibat banyaknya kader partai yang terlibat korupsi, menegaskan betapa politik telah jauh dari hati nurani. Terlebih perjalanan politik yang dilakukan cenderung terkooptasi kepentingan kekuasaan, sehingga menyuburkan praktik negosiasi hukum dan kekuasaan, baik oleh kader partai nasionalis maupun agamais.

Politik adalah kotor. Tentu adagium demikian semakin mendapatkan penguatan dari rentetan kasus yang terjadi di negeri hukum ini. Kasus bailout Bank Century yang telah menjadi sandera politik tak berkesudahan, seolah membuka lembaran pertama kebobrokan partai politik. Secara beruntun politik kepentingan pada akhirnya meruntuhkan kepercayaan terhadap masa depan politikus muda, sebagaimana kasus korupsi wisma atlet Kemenpora dan kasus korupsi Hambalang yang melilit politikus Partai Demokrat. Realita inilah yang memaksa SBY harus “turun gunung” langsung untuk menaikkan elektabilitas partai.

Ditengarai tumbuhnya praktik KKN yang semakin subur, salah satunya dipicu sebagian penyelenggara negara memiliki “amunisi perkara hukum” yang tersimpan untuk saling menyerang, atau memuluskan proses transaksi tawar-menawar perkara. Oleh karenanya, semangat saling menjaga rahasia kasus menjadi penting. Itu karena terbongkarnya satu kasus bisa berimplikasi pada dampak sistemis terbongkarnya kasus-kasus lain. Sebagaimana M Nazaruddin yang telah membuka “kotak pandora” perkara korupsi dan suap di berbagai proyek yang melibatkan sejumlah kader partai politik.

Berangkat dari itu, setidaknya telah terbangun kekhawatiran supremasi dan kedaulatan hukum benar-benar terancam oleh suatu permainan kepentingan, masa sekarang atau bahkan sepanjang waktu karena “amunisi perkara” masih banyak yang tersimpan. Sangat disayangkan hukum harus tergiring dalam penyimpangan kekuasaan sehingga meruntuhkan kedaulatannya. Di sinilah peran politik berbasiskan nurani menjadi penting untuk mengawal transaksi politik dan hukum. Persoalan yang merisaukan adanya politisasi hukum maupun negosiasi hukum dan politik harus menjadi momentum bagi semua kalangan, untuk mengembalikan sakralitas hukum sekaligus sakralitas politik.

Para politikus mestinya menyadari, hakikat politik adalah seni untuk menciptakan tatanan negara yang baik bagi semua (commond goods). Hal ini karena kata “politik” dalam bahasa Inggris dihubungkan dengan kata polite yang berarti kesopanan atau kesantunan. Dengan demikian, jika tampilan politik justru menjadi kotor dengan saling menjatuhkan, bahkan menjadi kejam dengan perilaku-perilaku yang saling mengalahkan dan menguntungkan kalangan tertentu, tentu terjadi pergeseran makna. Dalam hal ini, Max Weber, sosiolog Jerman, mengategorisasikan politikus dalam dua kelompok besar, politikus yang hidup dari politik dan politikus yang hidup untuk politik.

Idealisme
Tentu keduanya memiliki tampilan yang jauh berseberangan. Politikus golongan pertama cenderung menggunakan politik untuk memanipulasi kekuasaan sebagai alat menjaga kepentingannya. Politikus golongan kedua justru mengabadikan dirinya untuk berpolitik, dengan orientasi menata negara demi kebaikan semua masyarakat. Pertanyaannya, masih adakah model golongan kedua ini?

Salah satu cara mengidentifikasi model golongan kedua adalah perjuangan idealisme politik berdasarkan hati nurani yang dilandasi semangat moralitas dan etika. Dalam hal ini, prosedur dan mekanisme politik dijalankan sesuai koridor yang ada tanpa terjadinya kekacauan. Oleh karena itu, respons atas langkah KPK yang menahan kader dan pucuk kepemimpinan partai politik akan menjadi barometer berpolitik berdasarkan hati nurani.

Partai politik harus mampu membangun sistem pengkaderan politikus model kedua tersebut. Setidaknya pembibitan kader melalui learning center partai yang baik akan mampu menciptakan sosok-sosok calon negarawan yang memiliki etika politik. Sungguh mengerikan ketika sistem kaderisasi itu dikesampingkan oleh adanya kepentingan kekuasaan dan jaringan klan, sehingga stok calon negarawan justru terisi orang-orang yang berfikir pragmatis karena belajar dari proses kepartaian, yang lebih mengedepankan kepentingan kekuasaan daripada proses pemberdayaan kader dan aktualisasi di masyarakat.

Tak heran jika demokrasi di Indonesia berjalan semakin mahal karena sangat erat terkait proses pemolesan citra para calon kandidat pemimpin daerah. Dengan berbagai kendala dan kekurangan program dalam sistem kaderisasi, muncullah persepsi koalisi partai adalah suatu keharusan dalam melahirkan kepemimpinan daerah. Jelas semuanya kembali berkaitan dengan besarnya beban modal politik yang dibutuhkan dalam proses berdemokrasi.
Demokrasi bukan sekadar persoalan kemenangan suara mayoritas, melainkan ada substansi masalah yang harus diperhatikan, berupa kesadaran untuk menciptakan kehidupan lebih baik dan penyiapan sosok negarawan untuk menjaga keberlangsungan bangsa Indonesia yang maju dan beradab. Jika peran tersebut tidak dapat dijalankan para politikus, sangat dimaklumi bila para tokoh lintas agama menyatakan rezim kekuasaan di negeri ini benar-benar terkepung dalam kebohongan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar