Rabu, 22 Januari 2014

Tembok Besar Laut

Tembok Besar Laut

Rene L Pattiradjawane   ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS,  22 Januari 2014
                                                                                                                        


KETIKA mengunjungi kota pelabuhan Dalian 12 tahun lalu, Kompas  menemukan sebuah kapal induk bekas sudah berkarat ditambat di pinggir Pelabuhan Dalian (lihat Kompas, 5/3/2003). Tidak disangka besi tua bekas kapal induk eks Ukraina kelas Kuznetsov bernama Varyag sekarang menjadi simbol kekuatan armada biru Tiongkok. Awalnya kapal induk kelas Minks ini mau jadi ”taman hiburan” di Guangzhou.

Satu dekade lewat, kapal induk Varyag berubah dengan nama lambung ”Liaoning” setelah mengalami retrofit menjadi simbol Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) Laut menuju kekuatan armada laut biru. Ketika Liaoning mulai berlayar di lautan, kawasan regional Asia Pasifik ibarat ”politik petasan” penuh kejutan dengan dentuman yang tidak terduga menghadirkan berbagai persepsi.

Ditambah dengan berbagai aktivitas dan aksi kekuatan militer Tiongkok, termasuk strategi ”kalung mutiara” (Beijing menolak tuduhan ini) berupa mempersiapkan pelabuhan di mancanegara di pesisir Lautan India didanai Beijing, intensitas RRT dengan kekuatan baru armada laut birunya tidak lagi bisa disebut sebagai ”kebangkitan damai”.

John J Mearsheimer benar dalam bukunya, The Tragedy of Great Power Politics (2001), jika Beijing jadi kekuatan ekonomi, hampir pasti kekuatan ekonominya ini akan menjadi kekuatan militer dan mendominasi berbagai kawasan, mulai dari Asia Timur Laut sampai Lautan India menjamin kepentingan nasionalnya, baik perdagangan maupun keamanan energinya.

Sejak lama para pemikir militer di TPR berpandangan, RRT tidak lagi bisa menerima kenyataan kalau Lautan India adalah lautan untuk orang-orang India. Dan pengembangan kekuatan armada laut biru bagi Tiongkok adalah jalan hegemoni mempertahankan kelangsungan hidup dan masa depannya.

Kita pun ingin menyebutnya sebagai Dilema Natalegawa, ketika Menlu RI Marty Natalegawa berbicara tentang Traktat Indo-Pasifik yang terdiri dari tiga unsur penting, adanya defisit kepercayaan strategis, klaim tumpang tindih wilayah kedaulatan, serta perubahan geopolitik, ketika interaksi Amerika Serikat, Tiongkok, India, dan Jepang bergerak menjadi persaingan terbuka menuju ke aliansi pengepungan.

Kehadiran kekuatan armada laut biru Tiongkok yang dikejawantahkan melalui kehadiran kapal induk setidaknya didorong oleh dua faktor, pertama, mewujudkan mimpi ratusan tahun sejarah militer kedinastian tentang armada laut yang kuat dan besar. Teknologi kapal induk sendiri selain mahal dari segi strategi anggaran militer, sebenarnya termasuk usang mengingat kecanggihan kemajuan persenjataan rudal yang memiliki kecepatan subsonik dan jarak yang jauh.

Kedua, aliansi pengepungan bagi Beijing menjadi kenyataan yang tidak bisa dihindari, dan RRT percaya kalau kelangsungan eksistensinya sebagai negara besar secara ekonomi dan kuat secara militer adalah melalui perimbangan kekuatan (balance of power) menghadirkan kesetaraan kekuatan armada laut biru.

Kita harus memahami kalau kehadiran kapal induk Tiongkok di perairan sekitar merupakan pembuktian RRT menjadi kekuatan yang asertif dan kebangkitan Tiongkok tidak bisa diasumsikan berlangsung secara damai. Kapal induk armada laut biru adalah lambang ekspansionistis yang setara dengan AS, Inggris, Perancis, dan Jepang menjelang Perang Dunia II.

Membangun ”tembok besar laut” yang setara dengan Tembok Besar di daratan Tiongkok bagian utara bukan lagi menjadi bagian defensif yang mudah dipahami semua pihak.

Kita sendiri berharap, Beijing setidaknya memahami benar apa yang disebut filsuf ternamanya, Meng Zi (Mencius), tentang yi da shi xiao yi ren, yi xiao shi da yi zhi. Yang besar memperlakukan yang kecil dengan bajik, yang kecil memperlakukan yang besar dengan bijak. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar