Mega
versus Jokowi
M Jamiluddin Ritonga ; Dosen
Universitas Esa Unggul Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 22 Januari 2014
“Yang pasti, Mega akan teramat sulit menyerahkan
personifikasi PDIP kepada Jokowi. Sebagai partai keluarga, Mega akan berusaha
membendung hal itu tidak akan pernah terjadi.”
TERDAPAT dua kubu di internal
Partai Demokrasi In donesia Perjuangan (PDIP) perihal calon presiden yang
akan diusung pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2014. Pertama, kubu yang
menamakan Barisan Pro-Mega (Promeg) yang dikukuhkan pada 11 Desember 2013 di
Blitar. Kedua, kubu yang mengklaim PDIP ProJokowi (Projo) yang dideklarasikan
21 Desember 2013 di Jakarta.
Dua kubu tersebut tampak
berseberangan dalam mengusung capres PDIP. Kubu Promeg menyeru masyarakat
agar tetap setia mendukung putri Proklamator menjadi presiden. Bagi mereka,
Mega ialah trah (keturunan) Bung Karno yang sanggup memimpin bangsa ini.
Sementara itu, kubu Projo menolak wacana duet Mega-Jokowi. Bagi kubu Projo,
pencapresan Jokowi ialah harga mati. Munculnya dua kubu tersebut tentu layak
dipertanyakan mengingat amanat Kongres III di Bali dan Rakernas II di Bandung
telah menyerahkan keputusan mengenai pencapresan kepada Ketua Umum PDIP Megawati
Soekarnoputri.
Kultur
Jawa
Apabila dilihat dari kelahirannya,
tentu kubu Promeg lebih awal. Sementara itu, kubu Projo menyusul 10 hari
kemudian. Jadi, kelahiran kubu Projo dapat dikatakan sebagai reaksi terhadap
munculnya kubu Promeg. Apakah benar demikian, tentu kubu Projo yang tahu
persis. Namun, bila dilihat dari pernyataan kubu Projo yang tidak mengingin
kan duet Mega-Jokowi, tampaknya beralasan bila kehadiran kubu itu sebagai reaksi
atas kehadiran kubu Pro-Mega yang tidak menginginkan Jokowi sebagai capres.
Meskipun setiap kubu terkesan
saling menyerang capres yang diusung, pihak yang diusung menjadi capres
justru tidak pernah melarang kehadiran kubu tersebut. Ada kesan Mega dan
Jokowi membiarkan eksistensi kedua kubu tersebut me laksanakan aktivitas
mereka dalam mencari dukungan baik di internal maupun eksternal PDIP. Teguran
justru datang dari elite PDIP. Ketua DPP PDIP Bambang Wuryanto, misalnya,
mengkritik kader PDIP yang ikut deklarasi Projo. Menurutnya, seharusnya semua
kader partai menaati kebijakan partai.
Sementara itu, kehadiran kubu
Promeg dinilai membikin huru-hara. Budi Suasono, salah satu deklarator kubu
Promeg, mengaku sempat diinterogasi sejumlah elite PDIP. Mereka
mempertanyakan alasan deklarasi tersebut di tengah menguatnya nama Jokowi di
kala ngan pengurus partai.
Jadi, diamnya Mega dan Jokowi
kiranya dapat diartikan sebagai bentuk restu secara indirect terha dap tiap
kubu tersebut. Mega, seba gai orang yang diberi amanah untuk menentukan
capres dari partainya, tentu merasa terusik oleh desakan dari berbagai pihak
agar segera menetapkan Jokowi sebagai capres. Keterusikan itu akan terasa
menjadi penghalang manakala Mega masih berkeinginan menjadi capres. Sebagai
sosok yang masih kuat meme gang kultur Jawa, tentu sulit baginya untuk memutuskan
dirinya menjadi capres. Dalam kultur Jawa tabu bagi seseorang untuk memilih
dirinya sendiri menjadi pemimpin.
Untuk memuluskan langkahnya
menjadi capres, tentu Mega perlu dukungan kuat dari internal dan eksternal
PDIP. Dalam konteks itu, kiranya logis bila tiba-tiba muncul kubu Promeg di
Blitar. Dukungan itu nantinya akan dijadikan justifikasi bahwa rakyat masih
menghendaki Mega sebagai capres. Di lain pihak, Jokowi juga kiranya menangkap
sinyal adanya keinginan Mega untuk menjadi capres. Karena itu, Jokowi juga
menggunakan pola yang sama dengan menggunakan orang lain untuk membentuk kubu
Projo. Kubu itu tentunya dimaksudkan juga untuk dijadikan justifikasi adanya
dukungan masyarakat yang kuat untuk mengusung Jokowi sebagai capres.
Singkatnya, pembiaran terhadap dua
kubu tersebut oleh Mega dan Jokowi dapat dianggap sebagai legitimasi
pencalonan mereka menjadi capres. Legitimasi itu dianggap sebagai amanah dari
masyarakat bahwa mereka memang dikehendaki untuk menjadi capres.
Pergeseran
personifikasi
Munculnya dua kubu tersebut
dikhawatirkan dapat mempertajam konflik internal di tubuh PDIP. Selama ini
konflik internal masih dapat diredam karena Mega masih dianggap figur
sentral. Faksi-faksi yang berkonflik masih menahan diri mengingat posisi Mega
yang begitu kuat.
Namun, peran sentral Mega
belakangan ini tampak mulai tergerus dengan kemunculan Jokowi sebagai figur
muda di PDIP. Indikasi ke arah itu dapat dilihat dengan berkurangnya foto
Mega pada spanduk caleg PDIP. Para caleg PDIP terkesan lebih pede bila foto mereka di spanduk
bersama dengan foto Jokowi. Gejala itu menunjukkan persona yang baru.
Mega tampaknya sudah menyadari
bahwa popularitasnya saat ini jauh di bawah Jokowi. Berbagai hasil polling dari berbagai lembaga survei
memperlihatkan elektabilitas Jokowi jauh
mengungguli Jokowi. Bahkan sebagian caleg dan kadernya sudah berani
mendesak Mega agar segera mencalonkan Jokowi sebagai capres PDIP. Dalam
konteks itu, terdapat upaya menggeser
personifikasi PDIP dari Mega ke Jokowi. Upaya itu kiranya ditangkap petinggi
DPP PDIP dan pendukung fanatik Mega yang menginginkan PDIP tetap dikendalikan
trah (keturunan) Soekarno. Kalau
personifikasi PDIP nantinya sungguh-sungguh bergeser ke Jokowi, dikhawatirkan
trah Soekarno secara perlahan akan
terkikis di PDIP. Kemungkinan ini tentu akan ditentang habis-habisan
oleh pihak-pihak di PDIP yang selama ini diuntungkan, termasuk tentunya trah Soekarno sendiri.
Dalam kondisi demikian, memang
teramat sulit bagi Mega untuk memutuskan dirinya atau Jokowi yang menjadi capres
PDIP. Karena itu, waktu yang paling tepat untuk mengumumkan capres ialah
setelah pileg sehingga Mega mengetahui kekuatan partai yang sesungguhnya.
Namun, yang pasti, Mega akan teramat sulit
menyerahkan personifikasi PDIP kepada Jokowi. Sebagai partai keluarga, Mega
akan berusaha membendung hal itu tidak akan pernah terjadi. Bisa jadi, saat
Mega sudah tidak memiliki pilihan, Jokowi akan ditendang dari rumah PDIP demi
menyelamatkan trah Soekarno tetap
berkuasa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar