Napak
Tilas Karya Pemikiran Pendiri Bangsa
Parni Hadi ; Wartawan dan Aktivis
Sosial
|
SINAR
HARAPAN, 22 Januari 2014
BENCANA mendera Indonesia: dari Tanah Karo
sampai Manado. Mulai dari erupsi Gunung Sinabung di Tanah Karo, Sumatera
Utara, letusan Gunung Marapi di Sumatera Barat, banjir di Jakarta dan
sepanjang pantai utara Jawa, letusan Gunung Raung di Jawa Timur sampai banjir
bandang di Manado, Sulawesi Utara.
Dalam duka kita sering ingat masa lampau. Terhenyak menyaksikan para korban
bencana itu, saya langsung teringat para pemimpin dan pendiri bangsa serta
tokoh-tokoh lokal yang lahir dan berbakti di wilayah-wilayah yang terkena
musibah itu.
Dampak bencana itu bisa dihindari dan
diminimalkan, jika kita mematuhi local wisdom, kearifan lokal, yang terbentuk
berdasarkan pengalaman empiris, dipadu dengan aplikasi temuan baru. Tiba-tiba
saya ingin berziarah ke daerah-daerah itu.
Ini ziarah bukan dalam pengertian
mengunjungi makam, tetapi “pilgrimage” atau kunjungan nostalgia untuk
mengenang dan belajar dari masa lampau. Belajar dari orang-orang yang telah
berjasa kepada masyarakat dengan menemu-kenali pemikiran dan bangunan
petilasan monumental yang ditinggalkannya.
Khusus untuk banjir Jakarta, saya tergerak
untuk mengunjungi Bendung
Katulampa di Bogor, pintu air Manggarai, dan
pintu air dekat Masjid Istiqlal. Saya mau belajar dari tempat-tempat itu agar
tahu cara bersahabat dengan Sungai Ciliwung.
Ujung-ujungnya saya ingin tahu siapa
penggagas dan pembangun monumen yang berjasa itu. Tentu, ingin juga saya
menelusuri Sungai Ciliwung sampai ke sumber pertamanya di daerah hulu,
berwisata sekaligus berolahraga dan mencintai alam.
Berburu Keteladanan
Hampir semua orang sepakat, untuk membentuk karakter bangsa
diperlukan keteladanan. Karena
kini agak sulit mencari keteladanan dari mereka yang seharusnya disebut
pemimpin, kita perlu menengok
kepada pemimpin-pemimpin yang sudah almarhum atau minimal sudah tidak lagi
berkuasa.
Penyebab kesulitan mencari contoh teladan
dari orang-orang yang sekarang berkuasa adalah gara-gara korupsi yang
bersimaharajalela di negeri ini. Penyebab
banjir yang melanda negeri ini juga tidak lepas dari tindak korupsi dari hulu
sampai hilir.
Mereka yang sudah meninggal dunia dan kita
kenal sebagai the Founding Fathers and Mothers atau Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu
pendiri bangsa sudah sangat jelas kontribusi mereka dalam melahirkan Republik
Indonesia. Tokoh-tokoh generasi angkatan Kebangkitan Nasional tahun 1908,
Angkatan Sumpah Pemuda tahun 1928, dan
Angkatan 1945 sungguh patut kita teladani. Mereka berjuang sekuat tenaga
tanpa pamrih demi tercapainya kemerdekaan Indonesia.
Mereka adalah golongan cendekiawan yang
telah tercerahkan dan terpanggil untuk mengangkat martabat bangsa terjajah
menjadi bangsa yang mandiri. Sebagian dari mereka secara sukarela keluar
masuk penjara dan hidup menderita.
Padahal, mereka dapat menikmati hidup mewah
berkat keahlian mereka jika mau bekerja sama
dengan penjajah. Sungguh, sangat bertolak belakang dengan perilaku sebagian
cerdik pandai masa kini yang serba-transaksional.
Hidup memang sebuah pilihan. Zaman sekarang
dan dulu memang berbeda. Setiap zaman mempunyai tantangannya sendiri dan
melahirkan tokohnya sesuai dengan semangat zaman atau Zeit Geist.
Tapi, menurut pengamatan banyak pihak,
semangat generasi penerus setelah Angkatan 45 kendur dibandingkan dengan
generasi pendahulu. Oleh karena itu, banyak orang kini berteriak tentang
perlunya revitalisasi semangat kebangsaan dalam rangka nation and character
building.
Karena para pendahulu itu sudah tidak lagi
bersama kita, keteladanan mereka perlu kita gali dari buku-buku sejarah,
autobiografi, dan napak tilas
tempat-tempat bersejarah di mana para tokoh itu dilahirkan, digembleng,dan
berjuang tanpa pamrih. Banyak tokoh pendiri bangsa yang tetap diingat sampai
sekarang, tetapi banyak juga yang terlupakan. Padahal, kontribusi mereka
dalam upaya mendirikan bangsa Indonesia sangat besar.
Kita perlu napak tilas para pendiri bangsa,
leluhur kita, dengan mengunjungi rumah tempat mereka dilahirkan, desa tempat
mereka dibesarkan, sekolah mereka, tempat pembuangan, peninggalan bersejarah
dan karya-karya pemikiran mereka yang monumental dan fenomenal bagi
pembentukan negara-bangsa (nation-state)
Indonesia.
Dengan napak tilas kita dapat menimba inspirasi,
menghirup dan meneguk semangat para pelaku sejarah yang telah
mendarmabaktikan hidup mereka untuk bangsa
dan negara tanpa pamrih.
Bangsa ini telah melahirkan banyak putra
daerah yang menjadi pelaku sejarah yang patut diteladani. Setiap daerah
mempunyai tokoh-tokoh sejarah masing-masing untuk ditapak tilas oleh generasi
penerus. Situs-situs peninggalan mereka kita jadikan tujuan wisata sejarah
bagi anak-anak sekolah dan anggota pramuka
pada musim libur.
Tentu, bukan hanya peninggalan yang berupa
bangunan fisik yang perlu dikunjungi. Lebih penting dari itu adalah
karya-karya terobosan pemikiran mereka yang perlu kita “ziarahi”, kita baca
ulang, kita renungkan, kita ambil api semangatnya sebagai sumber informasi, edukasi,
inspirasi, dan motivasi.
Karena itu, sebaiknya setiap situs sejarah
perlu dilengkapi dengan ruang perpustakaan, syukur museum, untuk menyimpan
karya-karya dan benda-benda sejarah milik tokoh bersangkutan. Kata orang
bijak, yang abadi dari seseorang adalah karya pemikirannya, yang mewujud
dalam buku, benda, dan bangunan
fisik monumental yang ditinggalkannya.
Napak tilas tokoh-tokoh daerah ini bukan
untuk menghidupkan semangat kedaerahan, sebaliknya untuk membangun semangat
kebangsaan. Ini karena NKRI
terdiri dari daerah-daerah, yang masing-masing memiliki sejarah dan
kebanggaan yang melebur menjadi jati diri Indonesia! Bukankah para pemimpin
nasional kita itu asalnya adalah putra-putra daerah yang kemudian
mengindonesia?
Gerakan Ziarah Nasional
Hasil kunjungan Napak Tilas Pendiri Bangsa,
baik yang berupa peninggalan fisik dan lebih-lebih lagi karya pemikiran
monumentalnya, perlu didokumentasikan dalam bentuk buku dan film sebagai
rujukan untuk Nation and Character
Building.
Taruna Akademi Militer sudah memiliki
tradisi napak tilas rute perjalanan gerilya Panglima Besar Jenderal Sudirman
dari Yogyakarta sampai ke Jawa Timur pulang-pergi ketika Yogyakarta sebagai
Ibu Kota RI diduduki tentara Belanda. Tradisi ini perlu diikuti lembaga
pendidikan yang lain untuk mengenal tokoh dan pahlawan masing-masing.
Kegiatan Napak Tilas Pendiri Bangsa dalam
rangka mengenal dan meneladani para pahlawan bangsa perlu dilakukan seluruh
anak bangsa. Mulai dari murid sekolah, anggota pramuka mahasiswa, anggota parpol, ormas,
orsos dan paguyuban-paguyuban, tempat berkumpul orang-orang yang mempunyai
persamaan daerah asal.
Masih banyak tokoh, putra-putri daerah yang
perlu kita telusuri jejak langkah dan peninggalan mereka agar kita tidak
melupakan sejarah, seperti kata
Bung Karno: “Jasmerah (Jangan sekali-kali melupakan sejarah)!” Masih mengutip
kata sang proklamator: “Bangsa
yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan jasa para pahlawannya.” Kita
merdeka karena perjuangan, pengorbanan, dan
jasa mereka.
Jangan lupa, kita sekarang ada untuk
berbuat yang terbaik demi generasi Indonesia yang akan datang. Salam Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar