Teladan
Muhammad
Husein Ja’far Al Hadar ; Peminat Studi Agama dan Filsafat
|
TEMPO.CO,
15 Januari 2014
Nabi Muhammad sebagai manusia sempurna (insan kamil)
membuatnya menjadi teladan bagi setiap manusia. Dalam konteks keteladanan
itu, Nabi bukan hanya untuk zamannya atau zaman setelahnya, tapi juga
termasuk untuk zaman sebelumnya (bahkan sejak awal penciptaan manusia).
Dengan demikian, misalnya, alkisah, jauh sebelum Nabi diciptakan, Cahaya
Muhammad (Nur Muhammad) telah diciptakan oleh Tuhan sebagai ciptaan
pertama-Nya, yang kemudian membuat Nabi Adam terkagum-kagum kepada manusia
bernama Muhammad, yang akan hidup di zaman jauh setelahnya. Maka, kemudian
Tuhan (seperti diabadikan dalam hadis qudsi) berfirman, "Jika bukan
karenamu (Muhammad), maka takkan Aku ciptakan semesta."
Kesempurnaan Nabi membuat sederet literatur lahir guna membicarakan tentang sosoknya. Sebab, kesempurnaannya memang membuat setiap perspektif akan mendapat nilai tersendiri dalam kajiannya tentang Nabi. Dalam tradisi Barat (seperti ditulis Will Durant, Timothy, Edward Gibbon, termasuk juga Karen Armstrong), kajian atas Nabi lebih berminat pada aspek antroposentris (kemanusiaan) atau lahiriah beliau, baik sebagai pemimpin maupun tokoh kemanusiaan dan lain-lain. Jika pun ada nama Annemarie Schimmel yang patut dikecualikan karena kajiannya atas Nabi lebih bernuansa teosentris (ketuhanan) atau batiniah, itu pun karena kuatnya pengaruh Jalaluddin Rumi (sufi besar Persia) pada pemikiran dan diri Schimmel. Dan, menurut penulis, kajian Schimmel atas Nabi tersebut sebenarnya lebih mewakili kajian khas cendekiawan Islam, baik di Barat maupun Timur, seperti Seyyed Hossein Nasr yang paling populer. Dalam konteks kajian atas Nabi dalam ranah kebatinan (tasawuf) pun, ada dua perspektif yang bisa diklasifikasikan. Pertama, perspektif tasawuf akhlaki. Salah satunya yang berkembang dalam tradisi Thariqah 'Alawiyah yang berasal dari Hadhramaut (Yaman) dan memiliki pengaruh besar dalam penyebaran dan pengembangan Islam di Indonesia, sehingga memunculkan sosok sufi seperti 'Abd al-Shamad al-Palimbani, 'Abd al-Rauf Sinkel, dan Syaikh Nur al-Din al-Raniri. Dalam perspektif ini, Nabi lebih dieksplorasi sebagai teladan dalam pendakian (suluk) menuju Tuhan. Dengan demikian, seluruh tindakan, perintah, dan anjuran Nabi menjadi jalan (thariqah) bagi para sufi akhlaki untuk menuju Tuhan. Kedua, perspektif tasawuf falsafi--yang salah satunya berkembang di Persia (Iran) dengan tokoh sentral Ibn 'Arabi, serta di Indonesia populer melalui sosok sufi seperti Hamzah Fansuri dan Syaikh Muhyidin al-Jawi. Dalam perspektif ini, Nabi lebih dieksplorasi secara filosofis sebagai petunjuk (al-huda) akan Tuhan. Dengan demikian, sikap dan kata-kata Nabi kemudian dikaji secara filosofis untuk kemudian dijelaskan segala sesuatu yang bersifat mistik, khususnya dalam ranah Tuhan dan hubungan batin manusia dengan-Nya. Namun, pada akhirnya, semua literatur itu hanyalah bangunan intelektual dari sebuah perspektif atas Nabi, yang sampai kapan pun takkan pernah bisa secara utuh dan integral menjelaskan tentang sosok Nabi yang kamil itu. Dengan demikian, perspektif terdekat dalam mengenalinya adalah dengan meneladaninya. Tak bisa dengan yang lain. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar