Manuver
Anas Urbaningrum
Umbu TW Pariangu ; Dosen
Fisipol Undana, Kupang
|
JAWA
POS, 14 Januari 2014
SETELAH dua
kali mangkir dari panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jumat (10/1),
mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum (AU) akhirnya ditahan. Dia
disangka terlibat kasus korupsi proyek Hambalang; gratifikasi proyek
pengadaan PT Bio Farma di Bandung, Jawa Barat; serta proyek pengadaan laboratorium
kesehatan di Universitas Airlangga, Surabaya. Tiga kasus itulah yang menjerat
dan mengantarkan Anas menghuni Rumah Tahanan Kelas I Jakarta Timur Cabang
Gedung KPK.
Yang menarik perhatian publik adalah pidato Anas berisi ucapan terima kasih kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua KPK Abraham Samad atas penahanan dirinya. Dia juga menyisipkan artikulasi makna penahanan dirinya sebagai kado Tahun Baru 2014. Ada yang mengatakan pidato Anas tak lebih dari sindiran terhadap SBY dengan pesan khusus: kasus AU hanyalah ujung dari upaya intervensi politik. Karena itu, dia akan mengerahkan perlawanan balik sebagai bukti adanya tangan-tangan Cikeas yang turut kotor oleh lumpur kasus yang disangkakan kepada AU. Poin Krusial Jika AU sebagai mantan ketua umum Demokrat memiliki segudang informasi terkait dengan aroma busuk di partai berlambang Mercy itu, dorongan publik dan KPK untuk membongkar nama-nama yang ditengarai tersangkut kasus suap proyek pemerintah menjadi keniscayaan. Nyanyian AU sangat dibutuhkan untuk menerangi sengkarut yang selama ini mendera Demokrat. Di sisi lain, dalam konteks pencarian keadilan dan kebenaran, AU pun harus membuktikan di depan sidang bahwa sangkaan-sangkaan yang dikenakan terhadap dirinya selama ini adalah salah sehingga dia berani menanam sumpahnya: "Serupiah saja Anas korupsi, gantung Anas di Monas". Jika AU benar-benar membuktikan ancamannya, dia justru menjustifikasi bahwa dirinya juga merupakan bagian dari problem korupsi di Demokrat sehingga secara sosial akan memperoleh akumulasi sanksi sosial dari publik dengan dicap sebagai politikus yang gemar menyimpan debu kebohongan di bawah karpet pengakuan-pengakuan "profetik"-nya selama ini sebagai sosok bersih, cerdas, dan piawai. Sebaliknya, secara hukum, boleh jadi AU dirundung insentif pengurangan hukuman karena dianggap sebagai justice collaborator dalam mengeliminasi korupsi. Di atas segalanya, terlihat sumir bahwa yang dialami AU dan loyalisnya merupakan rekayasa politis. Memang, dalam berbagai kasus korupsi kolektif-sistemik selama ini, politisasi kasus korupsi, khususnya yang menimpa para elite, sudah menjadi sindrom umum. Namun, dalam kasus AU, rasanya terlalu simplistis menyimpulkannya sebagai sebuah konspirasi politik. Jika penetapan AU didahului rentetan peristiwa mulai pernyataan SBY di Jeddah, Februari 2013; pengambilalihan pimpinan; penandatanganan pakta integritas; hingga kebocoran sprindik, hemat penulis, itu bukanlah sebuah aransemen politis-kekuasaan, melainkan sebuah artikulasi keresahan politis seorang ketua Dewan Pembina Demokrat yang tengah menyaksikan partainya mengalami penurunan elektabilitas secara dramatis. Publik pun masih percaya bahwa KPK sampai kini merupakan institusi yang sangat dipercaya untuk memberantas korupsi tanpa terhalang tembok-tembok kekuasaan yang kerap melingkupinya. Tesis bahwa KPK diintervensi tangan besar politik juga tidak mudah dicerna. Terlebih melihat kinerja komisi antirasuah itu yang progresif akhir-akhir ini. Tidak Luar Biasa Namun, itulah politik yang kerap menjadi muara pertemuan berbagai kepentingan dan intrik-intrik manipulatif yang sengaja dibenturkan untuk membangun sebuah wacana dan persepsi baru yang multiinterpretatif. Melihat dramaturgi Anas sejak turun takhta dari Demokrat tahun lalu lewat sinoptik-sensasional "halaman-halaman baru"-nya, agak sulit membayangkan ada kejutan-kejutan baru di halaman berikutnya. Rentetan pernyataannya soal pengunduran dirinya dengan menyebut diri "bayi yang tak diinginkan kelahirannya" atau ancaman-ancaman yang digariskannya pada Jumat lalu hanyalah cerminan kelelahan politik seorang Anas yang tidak terbayar selama 2,5 tahun memegang kemudi partai. Dengan kata lain, itu tak lebih dari kegalauan politik yang disamarkan dengan berbagai kalimat bersayap untuk meminimalkan efek noktah tuduhan publik terhadap dirinya selama ini. Karena itu, tidak ada yang luar biasa dari penahanan AU. Dia hanyalah secuil dari sosok-sosok elite kita yang menjadi korban perkawinan politik musim pancaroba dan euforia demokrasi liberal pasca-Orde Baru yang berusaha merebut kesempatan di panggung utama perpolitikan. Bagi AU, Demokrat (kekuasaan) bagai pedang bermata dua yang berhasil melejitkan karirnya, tetapi sekaligus membuat dirinya kehilangan keseimbangan dan tersungkur dalam pelukan maut politik transaksional. Bagaimanapun, benih-benih oligarki-korup yang merasuk ke partai politik hingga kekuasaan tertinggi sekalipun harus dilawan dengan berani dan tanpa takut oleh publik dan KPK. Dengan demikian, demokrasi kita mampu melahirkan bayi-bayi politi(k)si yang dirindukan rakyatnya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar