Kamis, 23 Januari 2014

Selubung Kartel Parpol

Selubung Kartel Parpol

Ahan Syahrul Arifin   ;   Ketua PB HMI 2013-2015,
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia
KORAN JAKARTA,  23 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         

Reformasi dibarengi pembukaan keran kebebasan sempat memberi setumpuk harapan. Sekat selama 32 tahun dalam kekang Orde Baru ambrol. Euforia kebebasan tumbuh bak cendawan di musim hujan. Partai-partai politik (parpol) bermunculan.
Ini menjadi sebuah konstelasi yang mengingatkan kita padea peta politik pemilu 1955. 

Euforia pendirian parpol tidak bisa dilepaskan dari keterkekangan sejak tahun 1975, melalui UU No 3/1975, lalu diubah dengan UU No 3/1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Peserta pemilu hanya parpol PPP dan PDI serta Golkar.
Berdasarkan UU No 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, di Departemen Kehakiman tercatat 93 parpol, namun hanya 48 parpol yang bisa mengikuti pemilu 7 Juni 1999. 

Jumlah parpol makin meningkat menjelang pemilu 2004, yakni mencapai 237. Kemudian, berkurang menjadi 50 dan hanya 24 yang ikut mengikuti pemilu 2004.
Pada pemilu 2009, peserta pemilu menjadi 38 dan 4 partai lokal. Sedangkan pada 2014 ini, terdapat 12 parpol dan 3 partai lokal. Refomasi juga memperbanyak ideologi partai, tak hanya Pancasila. Berdasar ideologi, parpol tak hanya mencantumkan Pancasila sebagai tujuan dan cita-cita. Ditilik dari warnanya, ideologi partai pada pemilu 2004 dapat dipilah menjadi enam bagian. 

Keenamnya ialah (1) Pancasila dianut 13 parpol PAN, Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Kemudian juga Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Golkar, Partai Patriot, Partai Sarikat Indonesia (PSI), Partai Persatuan Daerah, dan Partai Pelopor. (2) Pancasila dan UUD 1945 dianut Partai Buruh Sosial Demorat (PBSD).

Lalu (3) Pancasila berasaskan kekeluargaan dan gotong royong dianut Partai Merdeka. (4) Keadilan, Demokrasi dan Pancasila dianut Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB). (5) Marhaenisme, ajaran Bung Karno dianut PNI Marhenisme dan Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK).

Lalu (6) Islam dianut Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Persatuan Nahdlatul Umat Indonesia (PPNUI), Partai Keadailan Sejahtera (PKS) dan Partai Bintang Reformasi (PBR).

Ideologi disusun dengan maksud menarik konstituen. Tetapi dalam praktik, hanya cantolan artifisial tanpa implementasi. Begitu pertarungan dan penggalangan suara usai, kompetisi dengan sendirinya tutup buku. Semua ingin terlibat dalam penyusunan dan pembentukan pemerintahan.

Koalisi dibangun. Ideologi tak jadi soal. Aroma kepentingan kekuasaan terasa lebih kental daripada persaingan. Ideologi, program, dan platform tak lagi menjadi penghalang dalam membangun pemerintahan kuat. Partai-partai yang kalah berusaha merapat ke pemenang. Sebaliknya, para pemenang, demi stabilitas pemerintahan, menggandeng seluruh stakeholder yang hendak bergabung.

Mati

Ideologi telah dikesampingkan, bahkan mati. Kepentingan, kekuasaan, dan jabatan lebih nyaman dipilih. Bahkan, posisi oposisi tidak dipilih secara tegas oleh parpol yang mengatasnamakan oposisi, nyaris tanpa oposisi berarti.

Seluruh faktor persaingan luruh. Hilang tanpa bekas. Parpol bercengkerama dalam aturan koalisi, apalagi yang terbangun bukan sebelum, tapi setelah pemilu. Mau tak mau, dasar koalisi yang dirajut berlandaskan hasil elektoral dalam pemilu. Koalisi dibangun tidak berdasarkan platform partai, visi misi, maupun ideologinya, tapi banyaknya hasil suara.

Pemilu pertama reformasi tahun 1999 sebetulnya juga telah mengindikasikan berakhirnya tipologi partai ideologis, elite, dan massa. Sebagai gantinya, muncul partai lintas kelompok, catch-all party.

Pemilihan langsung membuat partai harus bisa meraup suara berbagai kelompok. Tak ada yang benar-benar berbasis ideologis. Dalam konteks Indonesia, basis-basis ideologis yang sedang diusung parpol seperti digembar-gemborkan tidak lebih sekadar cara menarik suara. 

Ada yang menilai parpol sejak reformasi bergulir telah membangun sistem mirip kartel, antara lain ditandai dengan hilangnya peran idelogi partai sebagai penentu koalisi, sikap permisif pembentukan partai, ketiadaan oposisi, hasil-hasil pemilu yang hampir-hampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku parpol, serta kecenderungan partai bertindak secara kolektif. 

Indikasi-indikasi tersebut sangat mudah dilacak. Partai hanya berebut lumbung suara. Setelah itu, secara bersama-sama membangun pemerintahan kuat. Kartelisasi partai makin menguat dengan kondisi di dalamnya tercipta oligarki kepemimpinan.

Tak ada ruang pengaderan. Kepemimpinan partai hanya beredar pada elite-elite tertentu, pemilik modal, atau anak biologis pendiri partai. Kartelisasi sangat erat kaitanya dengan tumbuhnya oligarki dalam tubuh partai. Hal itu makin nyata ketika parpol dipimpin segelintir elite dengan legitimasi kekuasaan sangat besar. Legitimasi lain karena karisma, pendukung fanatik, kekuatan modal, manajemen yang baik.

Modal finansial juga telah menjadi panglima.Akibatnya, ketika oligarki telah tumbuh subur, parpol hanya dijadikan kendaraan politik untuk meraih kekuasaan.
Kekuasaan selanjutnya bukan sebagai lahan pengabdian, melainkan sarana mencari penghasilan, pengamanan bisnis, dan penguatan kelompok. Akhirnya elite partai yang memiliki kewenangan lebih menyelewengkan kekuasaan untuk kepentingan sendiri.

Watak kartel dalam tubuh partai-partai makin mengemuka bila dianalisis dari penerapan sistem presidensial dengan multipartai. Secara teoretis, multipartai sangat tidak memungkinkan.

Kemungkinan kemacetan antara legislatif dan eksekutif sangat besar. Deadlock akan sangat sering terjadi, apalagi di tengah perbedaan ideologi partai-partai di parlemen.
Tetapi nyatanya, di Indonesia, sistem ini bisa diterapkan dengan model koalisi lintas parpol dan ideologi. Meski terkadang terjadi friksi, koalisi pemerintahan di parlemen terbukti cukup manjur mendukung pemerintahan. 

Artinya, ada kekuatan tersembunyi yang mengatur gerak kebijakan parpol, yaitu pemimpin-pemimpin partai yang bisa terhubung dalam satu kepentingan kekuasaan ansich. Kartelisasi yang tumbuh bersama dengan oligarki dalam tubuh partai-partai menyiratkan ada sesuatu di baliknya.

Tak sekadar kepentingan kekuasaan, perebutan konstituen, massa, dan kepemimpinan, tetapi merembet pada aset-aset ekonomi, yang berkaitan erat dengan sumber-sumber pendapatan dan bisnis. 

Masalah mendasar perpecahan, kartelisasi, dan oligarki tidak lepas dari hilangnya ideologi sebagai pandangan, cita-cita, nilai-nilai dasar, dan keyakinan pedoman normatif kehidupan berbangsa dan bernegara. Meredupnya faktor ideologi dalam tubuh parpol melahirkan pragmatisme politik. 

Politik bak transaksi jual-beli, untung, dan rugi yang dihitung sebagai fondasi skema serta konsep, tak berlaku lagi keinginan membangun bangsa dan negara. Parpol wajib berbenah dengan mengader lewat merit system agar transparan dalam pengelolaan dana politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar