Kamis, 23 Januari 2014

Belajar Memilih Presiden

Belajar Memilih Presiden

Ade Febransyah   ;   Dosen Prasetiya Mulya Business School
TEMPO.CO,  23 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         

Yang hebat belum tentu menang! Itulah yang bisa terjadi ketika keputusan diserahkan ke pemilihan massal. Pemilih memutuskan atas ketersukaan saja. Pilihan biner "ya" atau "tidak", "suka" atau "tidak suka" menjadi rutinitas dalam memilih. 

Hal yang sama dapat juga terjadi dalam pemilihan umum mendatang. Kita, sebagian besar, adalah pejalan pintas ketika dihadapkan pada problem yang cukup rumit apalagi kompleks. Tuntutan normatif berkeputusan berdasar aksioma-aksioma rasionalitas (Von Neumann & Morgenstern, 1944) adalah sebuah elusifitas. Bahkan, di tatanan deskriptif sekalipun, adanya banyak faktor keputusan yang saling berinteraksi membuat kita tidak mampu untuk mensintesiskan itu semua menjadi keputusan solid. Yang terjadi adalah dominasi satu atau dua faktor dalam pengambilan keputusan. Dalam prakteknya, kita justru cenderung emosional, miopik, dan juga latah dalam berkeputusan didasarkan kriteria yang tidak relevan. 

Pemilihan presiden menjadi rumit dan kompleks ketika isu-isu strategis untuk bangsa dan negara menjadi pertimbangan. Ketika isu-isu penting, seperti kesehatan, pendidikan, ekonomi, kesejahteraan, sampai kemandirian energi tampil, pilihan pada kandidat menjadi sia-sia. Dan inilah perangkap kompleksitas persoalan dalam pemilihan yang harus dihindari. 

Jangan sampai pesta demokrasi berlangsung penuh pemborosan tanpa makna. Mayoritas pemilih bersuka ria karena kandidatnya terpilih jadi presiden. Presiden dipilih lebih karena ketersukaan saja, bukan dilihat sebagai sosok yang benar-benar mampu menjawab isu-isu strategis terkini. 

Persoalan memilih presiden menjadi tambah kompleks karena sosok presiden bukanlah satu-satunya aktor yang bekerja sendiri menghadapi isu-isu strategis tersebut. Presiden yang tepat harus dapat berinteraksi positif dengan aktor-aktor lainnya, seperti mereka di legislatif, yudikatif, eksekutif, dunia bisnis, dan pemerintah daerah. 

Jadi, persoalan bangsa dan negara yang begitu kompleks hanya terjawab, jika, dan hanya jika, semua aktor pemangku kepentingan di negara ini memiliki kapabilitas dan kapasitas untuk berkolaborasi menjawab isu-isu strategis. Tidaklah mengherankan jika ada sebagian masyarakat yang sudah skeptis dan menjadi pesimistis dengan segala urusan bangsa. Tentu saja, berdiam diri tidak menjawab persoalan.

Melihat kenyataan presiden hanyalah salah satu aktor dalam kompleksitas persoalan penentuan nasib bangsa, masih relevankah memilih siapa presiden berikutnya? Pertanyaan ini mungkin bisa dianalogikan secara sederhana dengan peran seorang gelandang serang di sepak bola. Dalam sebuah permainan tim, sehebat apa pun dia, seorang pemain tetap butuh dukungan pemain-pemain lainnya yang juga hebat untuk memberikan hasil yang menggembirakan. 

Demikian pula dengan nasib suatu bangsa, bisa maju atau mundur karena orkestrasi tim yang hebat melibatkan semua aktor yang juga hebat. Tapi itu tentunya hampir mustahil terjadi di negara berkembang seperti Indonesia. Mungkinkah seorang presiden, yang hebat sekalipun, dapat mengubah arah perjalanan bangsa menuju kegemilangan? Jika ya, bagaimana menentukan siapa yang paling tepat untuk memimpin?

Tidak dimungkiri semua kandidat akan berjanji untuk memajukan kehidupan semua warga negara. Meski tidak harus menggunakan decision tools yang jelimet, kita sebagai pemilih tetap dapat memilih secara sederhana, tapi juga tepat. Konsistensi menjadi penilaian utama. 

Lihatlah konsistensi dari setiap kandidat dalam setiap isu. Untuk urusan kesejahteraan masyarakat kecil, lihatlah yang paling konsisten dalam rekam jejaknya. Mana yang paling tulus ketika berinteraksi dengan mereka di piramida terbawah. Untuk urusan pendidikan, juga lihat yang paling konsisten dalam mengapresiasi dunia pendidikan, siapa yang paling menikmati perkembangan teknologi. Juga untuk urusan ketahanan pangan, lihatlah kandidat yang paling gigih memperjuangkan adanya terobosan dalam mekanisasi pertanian dan teknologi pangan. Dalam urusan kesehatan, lihatlah siapa yang paling berempati dalam memperjuangkan akses layanan kesehatan untuk siapa pun. 

Jangan terkecoh dengan ajakan untuk berubah. Kata perubahan (change) menjadi mantra sakti untuk menjual. Itu mudah diucapkan siapa saja. Tapi lihatlah siapa yang memperlihatkan kemajuan dari apa yang sudah dilakukan (McKeown, 2008). Pilihlah kandidat yang termasuk achiever (pengejar prestasi), yang paling terdekorasi dengan prestasi. 

Sudah selesaikah tugas dalam memilih? Belum. Selanjutnya lihatlah lagi, apakah yang bersangkutan seorang orkestrator? Lihatlah rekam jejaknya yang memperlihatkan prestasinya dalam membuat banyak orang berparade merealisasi visinya. Setelah konsisten dalam berprestasi dan berkemampuan mengorkestrasi, untuk yang terakhir lihatlah sisi keunggulan nirwujudnya, seperti integritas dan empati. Jika memang ada yang memenuhi persyaratan itu semua, bersukacitalah, the chosen one has come!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar