Selamat
Tahun Akhir, Tuan!
Radhar Panca Dahana ;
Budayawan
|
KOMPAS,
09 Januari 2014
TAK bisa saya bayangkan, apa
yang dibayangkan remaja desa yang tenteram di Tremas, Kabupaten Pacitan, Jawa
Timur—sekitar 40 kilometer dari Desa Badegan, Ponorogo, tempat ibu saya
lahir—tentang dirinya sendiri di masa depan.
Yang mengisi ruang imajinasi saya
hanya figur seorang remaja bertubuh cukup, yang penuh percaya diri karena
kemampuannya di banyak hal: dari sekolah hingga olahraga, dari pergaulan
hingga kesenian. Remaja itu seperti berhasil mewujudkan harapan ayahnya
sebagai anak yang berkelakuan (sila) baik (su) dan tampaknya akan bisa
menyempurnakan harapan di keseluruhan namanya, ”ksatria sejati (berperilaku
baik” atau well behaved knight alias Susilo Bambang Yudhoyono).
Belakangan ia mengabreviasi namanya sendiri, seperti pengerdilan sebuah
gelar, penciutan makna kepribadiannya sendiri, menjadi SBY.
Kita, ratusan juta rakyat negeri
ini, juga jutaan lain di mancanegara tahu, akronim itu seperti nama baru yang
berbeda latarnya dengan pergantian nama Koesno menjadi Karno, sebagaimana
terjadi pada presiden pertama republik ini. Namun kita juga tahu, kedua orang
dengan makna ’ksatria’ dalam namanya itu kemudian jadi pimpinan tertinggi
dari hampir 240 juta manusia yang memiliki lebih dari 13.000 pulau, 600-an
suku bangsa, dan 400-an bahasa. Bukan bangsa yang kecil, tentu saja. Bukan
prestasi biasa, tentu juga.
Latar imajiner dan prestasi
spektakuler (menjadi seorang presiden!), sekurangnya memberi pemahaman kepada
saya, sebagaimana Koesno, Susilo adalah ’orang baik’. Orang yang dididik oleh
adat, orangtua, sekolah, maupun lingkungan yang tekun memelihara keluhuran
sebuah kebudayaan. Maka, betapa pun ia seorang tentara, ia tetap santun,
penuh keramahan, tepo seliro, sensitif, dan—sebagaimana orang Jawa—tetap
”tersembunyi”. Di balik ”persembunyian” itu, ia memproduksi banyak tanda:
mulai dari kata-kata, sisiran rambut, cara bersenyum, menggoyangkan tangan,
hingga permainan perasaannya.
Sebenarnyalah, SBY—maaf jika saya
gunakan abreviasi umum ini, bukan untuk maksud mengerdilkan—adalah seorang
aktor tulen, cerdas, dan tangkas dalam memainkan perannya dalam panggung
drama yang sesungguhnya. Waktu muda ia memainkan peran pula di atas panggung
teater. Saya tidak tahu kualitasnya. Namun, sebagaimana kegemarannya dalam
menulis lagu dan puisi, saya lihat bakatnya yang mediokratik tak cukup
terasah baik. Passion-nya dalam dunia artistik tumbang oleh hasrat besarnya
di dunia ksatria.
Bahkan dibanding beberapa kepala
negara lain yang cum seniman, seperti dramawan Vaclav Havel,
novelis François Mitterrand, aktor layar lebar Ronald Reagan, hingga pelukis
dan perintis teater modern Indonesia Soekarno, daya artistik SBY terlihat
lebih lemah. Barangkali ia bisa digolongkan pada
seniman-seniman cum kepala negara semacam Mikhail Gorbachev yang
pemain drama, Ho Chi Minh dan Mao Zedong yang penyair atau peniup trompet
macam Bill Clinton.
Namun, sungguh jelas, latar
artistik semacam itu memberinya satu lapisan mental dan spiritual yang teguh.
Memberinya kepribadian kuat dalam mempertahankan prinsip-prinsip keluhuran
yang diinternalisasinya sejak kecil. Modal yang sangat bagus untuk menjadi
seorang jenderal, juga seorang presiden.
”Warisan” SBY itu
Tafsir biografis di atas
setidaknya memberi saya modal yang padat untuk memahami presiden ke-9 RI ini
sesungguhnya adalah orang baik, dengan tujuan baik dan (ingin)
melaksanakannya dengan baik. Barangkali ini lebih dari sekadar pencitraan.
Betapa pun ia bagus sebagai aktor dalam peran presiden—mungkin medioker di
atas panggung teater prosenium—”kebaikan” itu tidak dapat direkayasa. Karena
ia adalah aura, sebagaimana kita melihatnya dalam penampilan Soekarno dan
Soeharto, dua presiden besar di belakangnya.
Apa pun kontroversi yang
terproduksi dari ketiga tokoh sejarah itu, kita mungkin setuju dari aura yang
dimunculkan oleh mimik dan bahasa tubuh mereka: pada dasarnya mereka diisi
oleh satu kebudayaan yang memuliakan keluhuran nilai, moral, dan etika. Dan
yang satu ini bukan sandiwara, tidak ada naskah maupun sutradaranya.
Saya harus jujur mengungkapkan,
beberapa kalangan luar negeri yang menjadi sejawat hampir semua menyatakan
respek kepada SBY karena setidaknya mampu membuat ”Indonesia” sebagai sebuah
nama negara dan bangsa yang tidak hanya diidentifikasi oleh dua nama: Bali
dan tsunami. Ia adalah anggota G-20, inspirator, setidaknya penggerak
beberapa inisiatif diplomatik secara regional ataupun global. Ia adalah
seseorang yang berani mengklaim sebagai pemimpin dari ”negara demokratis
terbesar ketiga (atau pertama di dunia Islam)” di atas bumi ini.
Dalam soal hukum, korupsi
khususnya, dunia mengenal konsistensi pemerintahan SBY menegakkannya tanpa
pandang bulu, termasuk para pejabat yang diangkatnya, kolega, bahkan anggota
keluarga. Kita pun sulit menemukan bukti valid adanya intervensi pada
penegakan hukum di kejahatan luar biasa. Independensi KPK adalah buahnya:
ribuan kasus luar biasa terungkap, bukan untuk menandakan pemerintahnya sangat
korup, tapi untuk menunjukkan bagaimana penegakan ini mampu membongkar
kebusukan dan nanah-nanah dari daging berluka pemerintahan sebelumnya.
Seperti nanah ia membengkak dalam konspirasi, kini KPK sibuk menusuknya
pecah, satu per satu.
Sejarah atau waktu akan
membuktikan apakah semua itu sebuah warisan (legacy) sejati atau bukan.
Namun, per 1 Januari tahun yang dikatakan baru ini (2014), ia melahirkan
sebuah kebijakan monumental berupa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
yang memberikan rasa aman seluruh rakyat akan problem kesehatan yang dihantui
kerakusan tarif dari sejumlah lembaga pengobatan.
Secara ekonomis, mungkin Prof
Firmanzah, staf khusus di bidang itu, bisa bicara
dengan argumentasi yang
cukup kokoh tentang hasil-hasil yang dianggapnya fenomenal. Secara politis,
Daniel Sparringa—juga staf khusus—akan bersemangat menjelaskan
prestasi-prestasi bos-nya. Barangkali kritik bertaburan, tapi tidak akan
lama—sekurangnya dalam satu periode presiden penggantinya—kita akan tahu
apakah semua itu sebuah peninggalan berharga yang SBY wariskan kepada kita
sebagai bangsa. Dan, saya kira tidak perlu kita bicara tentang tiga kumpulan
puisi, dua album musik, dan (konon) naskah drama atau novel yang ditulisnya.
Sekurangnya hal-hal terakhir itu menjadi warisan untuk anggota keluarganya.
Absensi fundamen kebudayaan
Apa yang barangkali harus saya
nyatakan adalah semacam (per-) ingatan tentang semua klaim ”sukses” di atas.
Tidak berbasis pada kepribadiannya, yang katanya, penuh ragu, terlalu
kompromis dan terlalu banyak pertimbangan, tidak tough, melodramatik dan
sensitif, atau terlalu permisif pada lobi-lobi asing dan kapitalis lokal.
Di
tahun puncak pesta politik bangsa ini, akan sangat menjemukan memainkan
retorika-kusir semacam itu. Sekarang saatnya mengapresiasi dengan jujur dan
jernih, berlandas keluhuran budi dari kebudayaan kita atas kinerja seseorang
yang hampir sepuluh tahu menjadi kusir dari pedati Indonesia ini.
Apresiasi yang, baiklah, kita
terima saja dulu semua klaim dari para Staf Khusus Presiden. Namun,
barangkali perlu direnungkan kembali, apakah pencapaian- pencapaian itu
merupakan sebuah awal langkah dari sebuah visi (kultural) yang jauh lebih
jauh? Apakah PDB, pendapatan per kapita, atau nilai bursa yang meningkat 400
persen sejak SBY mulai memerintah adalah pencapaian yang fundamental?
Tidakkah ia seperti Mar’ie Muhammad, Menteri Keuangan era Soeharto, yang
menyatakan bahwa ”fundamental (sic!) kita kuat”, maksudnya tidak akan goyah
terimbas krisis moneter Thailand dan Korsel saat itu? Kenyataannya, rupiah
ambles hingga Rp 16.000, 800 persen dari nilai sebelumnya.
Sebenarnya prestasi ekonomis kita
bukan hanya karena koefisien GINI-nya meningkat, tapi memang rentan dan rapuh
(setidaknya karena volatilitas nilai dan kebijakan eksternal) antara lain karena
dibangun oleh sistem yang tidak memperkuat basis/fundamen ekonomi dalam
negerinya. Alih-alih justru fundamen global yang notabene dikendalikan oleh
kekuatan modal korporasi global yang besar dananya setara dengan enam kali
PDB dunia. Apa yang hendak saya katakan di sini, semua sukses bahkan warisan
itu dapat luntur atau runtuh satu per satu karena ia tidak dibangun berdasar
sebuah vision, sebuah pandangan hidup (weltanschauung) yang dapat
menerawang probabilitas dan idealitas dari bangsanya sendiri. Kita tidak
pernah mendengar itu, kita tak pernah baca itu. Kita hanya mendengar slogan
(”aku yakin aku bisa”, dsb) yang tak jelas ”untuk apa dan ke mana?”
Hal itu terjadi, secara ringkas,
karena kemalasan kita bersama untuk melahirkan sebuah sistem (kemasyarakatan,
politik, hukum, ekonomi, pendidikan, dsb) bagi kemaslahatan seluruh rakyat
yang berbasis pada khazanah nilai yang nyata (existing values) hidup ratusan,
bahkan ribuan tahun untuk memelihara peri kehidupan di seantero kepulauan
ini. Kemalasan yang membuat kita hanya selangkah berjalan dan berpikir untuk
mengambil buku-buku di rak perpustakaan mencari cara untuk mengatur diri kita
sendiri, dari penjelasan-penjelasan para ilmuwan yang umumnya mengaku ”tidak
mengenal secara dalam bangsa yang kompleks ini”.
Absensi dari fundamen nilai atau
basis kebudayaan itu membuat perjalanan bangsa ini seperti mengapung di tanah
yang melahirkan dan akan membenam dirinya nanti. Sebuah kecenderungan (hyper)
pragmatis—tentu juga dialami banyak pemimpin dunia lainnya—akan membuat semua
pencapaian menjadi artifisial dan menggamangkan orientasi serta tujuan akhir
perjalanan kita bersama. Karena ia hanya menjadi ambisi untuk pengisian
portofolio demi pemilihan berikutnya. Semangat yang merata hampir di seluruh
daerah di negeri ini.
Maka, apabila SBY berkata kepada
lawan politiknya (mungkin juga di militer dulu), Prabowo, bahwa ia ingin
lengser dengan rukun dan damai, itu tidak hanya menggambarkan pragmatisme
kabinet dan cara pemerintahannya. Itu memang semangat praja dalam arti
tradisionalnya: ”melaksanakan tugas” sebaiknya. Bukan untuk menciptakan
landasan yang kokoh untuk lepas landas bagi generasi berikutnya.
Bukan
landasan ideal—yang tidak kompromistis atau permisif berlebihan pada desakan
eksternal—bagi sebuah bangsa bahari yang tiap hari tidak berhenti bermimpi
tentang kejayaan yang dibayangkannya pernah ada di masa lalu.
Yang terakhir itu memang tugas
seorang pemimpin besar. Seorang jenderal besar berbintang lima, seorang
presiden legendaris, sebagaimana kita memilikinya pada Soekarno dan Soeharto.
Apakah SBY ada dalam jejeran itu, karena ternyata mimpinya serupa saja dengan
rakyat umumnya, setidaknya dengan biaya yang ia keluarkan untuk riset ”Gunung
Padang”, sejarah masa depan akan memberi tahu kita.
Dalam pandangan saya,
kekurangan besar atau warisan negatifnya adalah satu hal: SBY gagal
meletakkan secara fundamental bangunan kebudayaan/peradaban Indonesia ke masa
depan, yang akan membuat semua hasil kerjanya terus berayun dalam pendulum
yang antara lain dibuat oleh 10.000 buku di perpustakaannya.
Karena itu, Tuan Presiden, saya
harus mengucapkan ”selamat tahun akhir”, bukan hanya karena 2014 adalah tahun
terakhir kepercayaan rakyat diberikan kepada Tuan, melainkan juga tahun akhir
di mana waktu tersisa untuk menggenapkan atau memperkokoh ”warisan” di atas
dengan menelurkan kebijakan bersejarah: sebuah strategi kebudayaan, yang akan
memberi marka kepada semua pemangku negeri untuk berjalan tegap bersama di
setapak yang bernama ”masa depan”.
Untuk itu, mungkin awal tahun
depan saya bisa menyapa Tuan dengan ucapan penuh senyuman, ”Selamat Tahun Baru, Bung!” Lalu kita
baca puisi bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar