Memahami
Jalan Demokrasi
Adhie M Massardi ;
Sekjen Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia;
Koordinator Gerakan Indonesia Bersih
|
KOMPAS,
09 Januari 2014
PENGGULINGAN
Muhammad Mursi, tokoh Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP), sayap politik
gerakan Ikhwanul Muslimin yang terpilih sebagai presiden ke-5 Mesir,
melahirkan dua pertanyaan mendasar terhadap demokrasi sebagai sebuah gagasan
berbangsa dan bernegara.
Pertama, apakah demokrasi
bisa diterapkan di dunia ketiga yang mayoritas tingkat pendidikannya rendah
dan kehidupan ekonominya belum sejahtera? Kedua, apakah Islam memang
kompatibel dengan demokrasi?
Di Indonesia, sebagian masyarakat
juga mulai sangsi. Ini tecermin dari kebencian kepada partai politik—unsur
paling vital dalam demokrasi—kian luas. Parpol dianggap mesin kotor produsen
koruptor yang menguasai semua lembaga negara: eksekutif, legislatif, dan
yudikatif.
Dalam perspektif lain, demokrasi
dianggap hanya melahirkan kegaduhan, instabilitas, dan korupsi. Pandangan
semacam ini berkembang, selain di Indonesia, juga di Thailand, Myanmar,
Malaysia, dan Filipina.
Atas nama stabilitas nasional,
Raja Thailand Bhumibol Adulyadej (19/9/2006) ”merestui” Jenderal Sonthi
Boonyaratkalin menggulingkan Thaksin Shinawatra, perdana menteri yang dipilih
melalui proses demokrasi paling terbuka dan transparan di sana. Beberapa
pekan terakhir, PM Thailand Yingluck Shinawatra, adik Thaksin, menghadapi
gelombang aksi demonstrasi.
Sebelumnya, di Myanmar (1990),
untuk ”mencegah kegaduhan politik lebih lanjut”, rezim junta militer Myanmar
membatalkan hasil pemilu yang dimenangi (59 persen) Partai NLD (Liga Nasional
untuk Demokrasi) pimpinan Aung San Suu Kyi. Sementara di negara-negara
Islam, penggulingan Mursi kian meyakinkan kelompok garis keras, terutama dari
jaringan Al Qaeda bahwa demokrasi bukan cara yang ”baik dan benar” untuk
meraih kekuasaan demi menegakkan nilai-nilai Islam.
Di Palestina, Hamas yang memilih
jalan nonkompromi dengan Israel tak serta-merta berkuasa meski memenangi 57
persen kursi parlemen dalam pemilu raya 2006. Kekuasaan (sejak tahun 2005)
tetap di tangan Presiden Mahmoud Abbas dari PLO yang dianggap lebih moderat.
Menggugat demokrasi
Merebaknya gugatan terhadap
demokrasi di negara-negara Islam dan negara berkembang, seperti Indonesia,
sebenarnya bukan karena demokrasi tidak sesuai dengan budaya bangsa atau
pilihan jenis demokrasinya (yang konon terlalu liberal), melainkan juga lebih
karena pemahaman yang salah terhadap demokrasi.
Demokrasi dianggap sekadar
mekanisme suksesi kekuasaan melalui rezim pemilu dengan pemahaman ”50 + 1”.
Karena itu, pemilu dengan konsep the winner takes all menjadi
obsesi semua kekuatan politik. Padahal, politik modern sudah lama
meninggalkan adagium the winner takes all. Karena itu, konsep ”50 + 1”
tidak bisa lagi ditafsirkan sebagai mandat mutlak rakyat untuk berbuat apa
saja atas nama demokrasi.
Dalam demokrasi modern, pemenang
pemilu secara moral terikat tata nilai (baru) universal. Misalnya, wajib
menghormati HAM, termasuk hak-hak ulayat dan kelompok minoritas, menjamin
transparansi, kebebasan pers, dan tersedianya ruang bagi perbedaan pendapat
(oposisi).
Demokrasi juga mewajibkan
pemenang pemilu membuka ruang kompromi dan negosiasi dengan lawan politik
guna menjaga keseimbangan kekuasaan. Bila pintu itu ditutup, akan muncul
kegaduhan. Sebab teriakan massa di jalanan selalu terdengar lebih nyaring
ketimbang puluhan juta suara di dalam kotak pemilu.
Demokrasi tidak berhubungan dan
tidak bisa dihubung-hubungkan dengan suasana, iklim, atau budaya dan tata
nilai yang tumbuh sebelumnya. Demokrasi juga tidak memerlukan legitimasi dari
tradisi, bahkan agama. Demokrasi adalah produk peradaban yang hidup, dan akan
terus tumbuh sesuai kebutuhan zamannya.
Sebagai produk peradaban,
demokrasi bisa dianalogikan pesawat terbang. Ia semacam sarana transportasi
modern yang bisa dengan cepat membawa rakyat ke tujuan dibentuknya
negara-bangsa, yaitu kesejahteraan yang berkeadilan.
Kita tahu, persyaratan penggunaan
dan perlakuan dalam pesawat itu sama di mana-mana. Juga ada tata nilai dan
aturan (adab) yang berlaku universal dan wajib ditaati. Kalau salah satu saja
dilanggar, bukan hanya berpotensi menimbulkan kegaduhan, bahkan kecelakaan
yang bisa mengancam keselamatan pesawat dan seluruh penumpangnya. Maka, tidak
relevan lagi kita bicara tata nilai atau budaya yang ada sebelumnya cocok
atau tidak, bisa diterapkan atau tidak, bila kita dalam berpesawat.
Maka, ketika rakyat sebuah negara
(bangsa) memilih (jalan) demokrasi, sesungguhnya mereka memilih pesawat
sebagai sarana transportasi menuju kesejahteraan. Konsekuensinya: harus
menaati hal yang wajib dan ”sunah” (aturan) berpesawat. Misalnya, wajib
mengenakan sabuk pengaman saat tinggal landas dan mendarat. Disunahkan mengenakan
sabuk pengaman sepanjang penerbangan.
Demikian pula dalam berdemokrasi.
Aturan-aturannya hidup dan berkembang demi terjaminnya kesetaraan dan
keselamatan tujuan bersama. Misalnya, pengumpulan dan penggunaan—juga
pemakaian ruang publik—dikontrol secara ketat.
Penegakan hukum dalam demokrasi
menjadi mutlak, maka proses seleksi dan perekrutan penyelenggara negara
menjadi bagian paling penting. Sebab di tangan mereka, hukum (UU)
dibuat dan dilaksanakan demi kemaslahatan seluruh rakyat.
Jejak moral
Adapun untuk mencegah
penyalahgunaan wewenang, karena seperti kata Lord Acton, ”Power tends to
corrupt and absolute power corrupts absolutely”, penilaian moral calon
penyelenggara negara jadi langkah awal. Di AS dan Eropa, moralitas seseorang
biasa dikonfirmasi dalam berkeluarga dan jejak masa lalu, misalnya saat
kuliah atau ketika menjadi prajurit apabila ia purnawirawan.
Moral menjadi penting karena di
tangan orang bermoral kekuasaan, betapa pun absolutnya, tak akan dijadikan
instrumen untuk hal di luar kepentingan umum. Jadi, untuk mencegah agar
kekuasaan tak menyimpang dan korup, bukan hanya periode kekuasaan dibatasi,
melainkan juga perlu mendeteksi kualitas moral para calon penguasa.
Kalau
toh screening moral ini meleset, dan pemimpin nasional produk pemilu
itu ternyata kemudian menyimpang dan korup, demokrasi menyediakan sarana yang
cerdas, beradab, dan lugas untuk menggantinya di tengah jalan. Begitulah
jalan demokrasi yang telah disepakati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar