Kala
Sinyal Dipersoalkan
Abdul Salam Taba ;
Alumnus Universitas 45 Makassar
|
TEMPO.CO,
09 Januari 2014
Sekarang banyak orang ribut dan panik kala jaringan
komunikasi nirkabel dari penyelenggara telekomunikasi seluler mengalami
gangguan (interferensi). Anehnya, tidak banyak yang ribut dan peduli saat
alat penguat sinyal menjamur di pasaran dan bebas digunakan oleh siapa saja.
Padahal alat yang berfungsi meningkatkan daya tangkap sinyal telepon seluler ini merupakan pemicu utama terganggunya kinerja BTS milik operatorselain kontur tanah, jarak, struktur bangunan, dan material penghalang lainnyadan berpotensi menyebabkan komunikasi seluler terputus-putus hingga panggilan gagal (drop call). Mungkin karena alasan itulah hanya operator yang berizin dan beroperasi pada pita frekuensi miliknya sendiri yang diizinkan mengagunakan penguat sinyal. Pemilik, pedagang, atau pengguna selain operator dilarang, sebab melanggar ketentuan Pasal 32, 38, 52, dan 55 UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan PP Nomor 53 Tahun 2000 tentang Spektrum Frekuensi dan Orbit satelit. Mereka yang melanggar akan dikenai sanksi hukum yang tergolong berat dan beragam, dimulai dari pidana penjara paling lama 1 tahun dan atau denda paling banyak Rp 100 juta, hingga pidana penjara paling lama 6 tahun dan atau denda paling banyak Rp 600 juta. Maraknya penggunaan alat penguat sinyal ini, selain menunjukkan kecenderungan pemikiran dan tindakan yang membuat masyarakat hanya berpikir kenyamanan diri sendiri serta tidak peduli akan kepentingan orang lain, merefleksikan menipisnya rasa takut terhadap sanksi akibat melanggar hukum dan kepentingan publik. Karena itu, kecenderungan tersebut harus segera dicegah dan diatasi. Ada tiga cara mencegah, setidaknya meminimalkan, maraknya penggunaan alat penguat sinyal yang menimbulkan gangguan komunikasi nirkabel. Pertama, peningkatan kualitas jaringan dan layanan operator seluler. Sebab, maraknya penggunaan alat penguat sinyal tidak terlepas dari rendahnya kapasitas jaringan dan kualitas layanan operator, yang memicu pengguna menggunakan penguat sinyal guna meningkatkan kualitas komunikasinya. Kedua, penegakan hukum melalui peningkatan pengawasan pengguna spektrum frekuensi radio oleh regulator (Kementerian Kominfo c.q. Ditjen SDPPI) yang ditindaklanjuti dengan penertiban secara berkelanjutan yang melibatkan aparat penegak hukum, seperti kepolisian dan kejaksaan, serta menambah perangkat pendukung dan meningkatkan kualitas aparat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Ketiga, sertifikasi alat atau perangkat telekomunikasi secara selektif. Tujuannya, menangkal serbuan produk-produk telekomunikasi (termasuk penguat sinyal) yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis serta berpotensi menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik dalam penyelenggaraan telekomunikasi. Upaya ini menuntut koordinasi dan kerja sama yang kondusif antara regulator dan operator seluler, pabrikan dan pengguna perangkat telekomunikasi. Kemampuan regulator, operator, dan para pemangku kepentingan (stakeholders) yang terkait dalam melaksanakan ketiga upaya tersebut setidaknya akan berimplikasi ganda. Selain bisa membuat masyarakat lebih patuh dan tertib dalam menggunakan spektrum frekuensi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dapat mencegah kecenderungan penggunaan penguat sinyal dan meningkatkan kualitas layanan operator seluler. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar