Rasionalitas
Tarif Jaminan Kesehatan
Ali Ghufron Mukti ;
Ketua Pokja
Persiapan Implementasi BPJS
Kesehatan
|
KOMPAS,
07 Januari 2014
PROGRAM
Jaminan Kesehatan Nasional telah diluncurkan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pada 31 Desember 2013. Program ini merupakan bagian dari
program dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Khusus program Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN) akan dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Meski sudah diluncurkan, beberapa pihak masih mempertanyakan apakah tarif
yang ditetapkan sudah sesuai harga keekonomian alias sudah rasional?
Pola tarif JKN
Pada prinsipnya, pembayaran pada
fasilitas kesehatan dibagi menjadi dua cara. Pertama, cara pembayaran dengan
kapitasi untuk fasilitas pelayanan kesehatan primer. Dalam hal ini
dikecualikan jika tidak memungkinkan dengan cara kapitasi. Kedua, pembayaran
dengan menggunakan INA-CBG untuk fasilitas rumah sakit.
Pembayaran kapitasi artinya fasilitas
pelayanan kesehatan primer akan dibayar BPJS berdasarkan
jumlah caputatau kepala atau orang yang menjadi peserta. Dalam
pembayaran ini, jumlah uang yang diterima fasilitas pelayanan kesehatan
primer tak lagi bergantung pada berapa orang yang berkunjung ke fasilitas
pelayanan kesehatan primer.
Sebagai contoh, satu puskesmas di
Kabupaten Bogor melayani 40.000 orang yang menjadi peserta BPJS. Maka, dalam
satu tahun puskesmas tersebut menerima pembayaran sebesar 40.000 x 12 x Rp
6.000 = Rp 2.880.000.000. Meskipun dalam setahun yang sakit dan berkunjung ke
puskesmas tersebut hanya 20.000 orang. Artinya, setiap orang yang berkunjung,
BPJS membayar Rp 144.000.
Seberapa riil pembayaran yang
diterima, tentu bergantung pada jumlah peserta yang menjadi tanggung jawab
besaran kapitasi yang diterima. Kapitasi untuk puskesmas bervariasi
antara Rp 3.000 dan Rp 6.000. Selama ini, untuk program Jamkesmas,
kapitasinya Rp 1.000, sedangkan PT Askes Rp 2.000. Untuk klinik swasta dan
dokter praktik pribadi, kontrak kapitasi Rp 8.000-Rp 10.000, yang selama ini
oleh PT Askes berkisar Rp 5.000-Rp 6.000.
Sementara itu, pembayaran INA-CBG
dimaksudkan sebagai pembayaran berdasarkan kelompok diagnosis. Dengan
demikian, pembayarannya tidak lagi bergantung pada jumlah dan jenis obat serta
metode intervensi klinis medis yang digunakan kepada pasien. Untuk INA-CBG,
tahun ini telah dinaikkan 18 persen dan tahun 2014 jelas dinaikkan sesuai
dengan perhitungan yang dikembangkan tim.
Rasionalkah?
Perdebatan besaran tarif tentu
bergantung pada siapa dan posisinya. Pembayar, dalam hal ini BPJS, tentu
sudah merasa rasional karena telah naik cukup lumayan bila dibandingkan
dengan iuran dan pengalaman besaran pembayaran selama ini. Di pihak lain,
fasilitas layanan kesehatan primer, rumah sakit, dan pemilik tentu
mengharapkan tarif bisa naik lagi.
Sementara peserta, karyawan,
masyarakat, pemerintah, dan pemerintah daerah yang membayari orang miskin dan
tak mampu tentu sudah merasa cukup atau tinggi. Bahkan, beberapa kelompok
pekerja menyampaikan kalau bisa tidak perlu membayar, dan kalaupun membayar,
maksimum hanya 1 persen dari gaji.
Dalam JKN tidak hanya tarif
pembayaran di layanan primer yang telah diperbaiki, yakni meningkat 300
persen-600 persen. Pembayaran dengan INA-CBG pun telah diperbaiki.
Tarif INA-CBG telah diperbaiki
dengan beberapa hal. Pertama, telah dibentuk Tim Case- mix yang memperbaiki
dan diketuai salah satu direktur rumah sakit. Jarang pihak yang akan dibayar
sebagai ketua, yang menentukan besaran tarif yang akan digunakan untuk pembayaran.
Kedua, dulu (tahun 2008) tarif
INA-CBG hanya disusun berbasis pada 127.554 dokumen data koding
dari 15 rumah sakit vertikal semua rumah sakit pemerintah. Sekarang INA-CBG
disusun berbasis pada 6.000.000 data koding dari
137 rumah sakit seluruh Indonesia, baik pemerintah dan swasta. Nilai yang
digunakan adalah nilai tarif rata-rata yang berlaku. Artinya, tentu nilai
tarif riil dan pembayaran yang diterima rumah sakit ada yang kurang dan ada
yang lebih daripada tarif mereka.
Berbasis simulasi rata-rata kenaikan
penerimaan rumah sakit untuk kelas C dan D sebesar 53 persen, sedangkan rumah
sakit kelas A dan B sebesar 29 persen.
Ketiga, perbaikan jenis tarif tak
hanya perawatan kelas III, tetapi juga kelas II dan I.
Keempat, beberapa
prosedur dan tindakan serta diagnosis yang tidak cocok masuk kategori
kelompok diagnosis yang ada, sudah diakomodasi dengan sekitar 7 kategori CMG
yang baru. Kelima, tarif tidak seragam seluruh Indonesia, tetapi disesuaikan
dengan daerah atau wilayahnya dengan negosiasi antara BPJS dan perwakilan
asosiasi fasilitas kesehatan.
Secara umum, tentu tarif JKN bisa
dikatakan rasional. Namun, bagaimanapun, monitoring dan evaluasi
tarif ini perlu dilakukan oleh pemerintah dan pihak-pihak yang berkepentingan
untuk selalu diperbaiki dan disesuaikan dengan nilai keekonomian yang juga
selalu berubah.
Dampak implementasi
Dampak terhadap implementasi JKN
terkait masalah tarif ini menarik untuk dikaji. Tidak saja dengan adanya
rumah sakit yang masih wait and see menyikapi kehadiran JKN, BPJS
pun tentu tak bisa memaksa rumah sakit swasta harus bekerja sama dengannya.
Menurut penulis, hal ini tidak
akan banyak berdampak pada implementasi JKN. Hal ini karena sudah sekitar
15.800 dokter praktik mandiri, klinik dan puskesmas—ditambah sekitar 1.700
rumah sakit pemerintah dan swasta—sudah bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Ke depan rumah sakit akan berisiko jika tidak bersedia kerja sama.
Hal yang justru patut dicermati
adalah bagaimana besaran tarif dan pembayaran yang diterima oleh fasilitas
kesehatan berdampak pada kinerja layanan kesehatan kepada masyarakat karena
masalah-masalah administrasi birokrasi dalam memanfaatkan pembayaran
yang diterima tersebut. Hal ini karena beberapa prosedur administrasi
birokrasi penggunaan keuangan, terutama di puskesmas, masih harus banyak
disesuaikan. Tentu semua pihak perlu mendukung perubahan mendasar sistem
pelayanan kesehatan di Indonesia ini dan secara bersama-sama selalu
memperbaikinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar