Hindari
Demokrasi Hitam 2014
Ikrar Nusa Bhakti ;
Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI
|
KOMPAS,
07 Januari 2014
SEPANJANG
tahun 2013, kita mendapatkan kado yang amat manis dari Komisi Pemberantasan
Korupsi. Satu demi satu koruptor kakap ditangkap dan dipenjarakan KPK.
Ada yang berprofesi sebagai Ketua
Mahkamah Konstitusi (Akil Mochtar), ada guru besar yang amat dikagumi para
mahasiswanya (Rudi Rubiandini), ada pula yang kebetulan menjadi perempuan
gubernur pertama di Indonesia yang menjabat sebagai Gubernur Banten (Ratu
Atut Choisyiah), dan masih banyak nama lain. Sepak terjang KPK yang begitu
mengagumkan itu ternyata belum mendongkrak Indeks Persepsi Korupsi Indonesia.
Pada 2010, Indonesia menempati
urutan ke-110 dari 178 negara dengan nilai 28, pada 2011 menduduki peringkat
ke-100 dari 182 negara dengan nilai 30, pada 2012 turun menjadi ke-118 dari
176 dengan nilai 32, dan pada 2013 naik sedikit menjadi ke-114 dari 177
negara dengan nilai yang masih 32. Masih sulit bagi kita untuk mencapai nilai
di atas 85 seperti yang dicapai Singapura.
Dari sisi Indeks Pembangunan
Manusia (IPM), pada 2013 Indonesia masih menempati urutan ke-121 (naik tiga
tingkat dari 124 pada 2012). Posisi Indonesia masih di bawah Singapura (18),
Brunei (30), Malaysia (64), dan Filipina (114), walau masih di atas Vietnam
(127), Kamboja (138), Laos (138), dan Myanmar (149).
Namun, dari sisi jumlah
kematian ibu setelah melahirkan, ranking Indonesia termasuk yang terendah di
Asia dan di Asia Tenggara, bahkan di bawah Vietnam! Setiap lima juta ibu
melahirkan, 20.000 meninggal atau 1 berbanding 65. Ini amat jauh di bawah
Thailand yang 1:1.100. Rata-rata orang Indonesia yang bersekolah juga masih
rendah, sekitar 6,7 untuk anak laki-laki dan 5,9 untuk anak perempuan.
Bagaimana dengan wajah industri
dan perekonomian Indonesia? Data yang dirangkum Pusat Penelitian Ekonomi LIPI
menunjukkan bahwa daya saing ekonomi Indonesia pada 2013 stagnan, hanya naik
dari posisi 129 ke 128. Dari sisi 64 komoditas ekspor hanya empat yang
mengalami peningkatan daya saing, sementara 28 tetap berdaya saing, 12
mengalami penurunan daya saing, dan 20 tetap tidak berdaya saing. Penyerapan
tenaga kerja di sektor industri menurun dari 13,2 persen pada 2002 menjadi
12,9 persen pada 2013, sementara porsi kredit perbankan menurun tajam dari
37,6 persen (2002) menjadi 24,0 persen pada September 2013.
Ditinjau dari
sumber daya manusia dan sistem pengupahan, tingkat produktivitas hanya 74,9 persen
dari China, 92,6 persen dari Filipina, dan hanya 51,7 persen dari Thailand,
sementara peningkatan upah minimum tertinggi di Asia.
Satu sisi yang menarik, Indonesia
cenderung lebih liberal dengan pungutan tarif bea masuk yang amat rendah.
Namun, dari sisi bunga bank, Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
China yang hanya 5-6 persen, sementara Indonesia masih 12-13 persen. Rencana
Aksi di China juga lebih jelas dibandingkan dengan Indonesia, sementara
komitmen Indonesia menciptakan lingkungan bisnis yang baik semakin dikalahkan
oleh Vietnam. Penurunan angka kemiskinan di Indonesia juga amat rendah, 34,96
juta pada Maret 2008 menjadi 28,59 juta pada September 2012.
Tingkat
pengangguran terbuka usia muda di Indonesia termasuk tertinggi di Asia Pasifik,
yakni 19,9 persen, dan mereka yang menganggur lebih banyak di perkotaan
ketimbang di pedesaan. Kita juga masih mengalami ketimpangan, baik secara
horizontal maupun vertikal, termasuk ketimpangan pembangunan antardaerah yang
kian merisaukan.
Tujuh variabel penentu
Gambaran di atas menunjukkan
betapa pasangan calon presiden dan wakil presiden pada pemilu presiden
langsung 9 Juli 2014 benar-benar memiliki beban yang berat untuk membawa
Indonesia ke arah yang lebih baik pada 2014-2019. Jargon-jargon politik
seperti ”Katakan tidak pada korupsi” sudah pasti tidak laku lagi dijual
kepada rakyat. Persepsi pemimpin/presiden di mata rakyat juga sangat berubah
dari yang dulu harus berasal dari militer, kuat, tegas, menjadi jujur,
merakyat, berani mengambil risiko dalam membuat kebijakan, dan siap bekerja
keras. Kriteria pandai pun bukan menjadi penentu keterpilihan seseorang,
apalagi tidak sedikit orang pandai yang terkena kasus korupsi.
Keterpilihan pasangan calon
presiden/wakil presiden amat ditentukan paling sedikit oleh tujuh variabel,
yaitu elektabilitas, mesin partai, kemampuan finansial, program, luas
jejaring sosial, kontra politik hitam, dan momentum politik yang ada. Dari
sejumlah survei, seperti yang dilakukan LIPI, CSIS, Indo Barometer, Indikator
Politik Indonesia, dan The Indonesian Institute, tak diragukan lagi
elektabilitas Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) sebagai capres tetap
memiliki posisi tertinggi dibandingkan dengan Prabowo Subianto, Aburizal
Bakrie, Jusuf Kalla, Megawati Soekarnoputri dan lain-lain. Namun,
variabel-variabel lain bisa saja menjungkirbalikkan tingkat keterpilihan
Jokowi pada Pilpres 2014.
Sampai saat ini, Jokowi belum
secara resmi dideklarasikan sebagai capres Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDI-P). Karena itu, Jokowi belum memiliki mesin partai yang mampu
disiapkan dan digerakkan untuk pemenangan Jokowi. Informasi yang berkembang
menyatakan, ada empat opsi pendeklarasian Jokowi sebagai capres PDI-P, yaitu
pada 10 Januari 2014 saat PDI-P merayakan ulang tahun ke-40, pada awal
kampanye legislatif, pada masa akhir kampanye legislatif, atau setelah pemilu
legislatif. Padahal, hasil survei indikator politik Indonesia dan The
Indonesian Institute menunjukkan bahwa perolehan suara PDI-P pada Pemilu
Legislatif 2014 akan meroket tajam menjadi 37,8 persen jika deklarasi dibuat
sebelum pemilu legislatif dan terjun bebas menjadi 14,4 persen jika Jokowi
tidak dicalonkan oleh PDI-P.
Pasangan capres/cawapres juga
harus memiliki dukungan finansial yang tinggi. Dari sisi ini, posisi partai
yang sedang berkuasa atau berada di kubu oposisi tentunya memiliki kapasitas
finansial yang berbeda. Pasangan capres dan cawapres juga harus memiliki tim
sukses yang mempersiapkan program yang akan dijual dan juga bagaimana
memasarkannya melalui kampanye, termasuk saat terjadi debat publik secara
langsung yang diliput televisi. Kepemilikan data yang akurat, kemampuan
menjual program, penguasaan masalah, political branding, dan juga cara
capres/cawapres berdebat dalam debat publik itu juga akan menentukan apakah
rakyat akan menjatuhkan pilihan kepada mereka.
Apabila dilihat dari jejaring
sosial yang dimiliki setiap pasangan, Jokowi tampaknya memiliki jejaring
sosial tersebut secara luas di hampir seluruh wilayah Indonesia. Tidak
sedikit relawan yang secara sukarela mau berkampanye untuk dirinya, khususnya
anak-anak muda dan mereka yang aktif di media sosial. Namun, apabila politik
hitam dimainkan oleh partai ataupun pasangan calon yang memiliki kedekatan
atau akses ke institusi-institusi negara yang mampu melakukan kampanye hitam
ataupun propaganda politik yang negatif, ini dapat saja mengurangi tingkat
keterpilihan partai pengusung ataupun pasangan yang menjadi target operasi
politik hitam tersebut.
Indikasi politik hitam
Politik hitam bisa kita lihat dari
upaya penggelembungan daftar pemilih tetap seperti yang terjadi pada Pilkada
Papua 2012, Pilkada Jatim 2008, dan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden
2009. Anehnya, peningkatan jumlah pemilih yang amat drastis di sejumlah
wilayah justru dilegalisasikan oleh aparat pemerintahan kementerian dalam
negeri. Politik demografi yang kotor inilah yang menyebabkan persoalan daftar
pemilih tetap (DPT) masih menjadi isu pada Pemilu 2014 ini.
Hingga kini juga masih ada
kekhawatiran bahwa militer dan institusi intelijen digunakan untuk
kepentingan politik 2014. Karena itu, persoalan digunakannya Lembaga Sandi
Negara sempat menjadi isu yang panas sebelum Komisi Pemilihan Umum
menghentikan rencana kerja sama dengan Lembaga Sandi Negara dalam menjaga
data pemilu. Tumbuhnya lembaga-lembaga survei yang abal-abal juga
mencerminkan ada upaya memanipulasi pilihan rakyat. Belum lagi soal betapa
sulitnya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menelusuri
aliran dana parpol dan tokoh politik yang bakal maju sebagai capres/cawapres
atau caleg.
Berbagai indikasi adanya politik
hitam pada Pemilu 2014 menjadikan kita harus waspada dan bahu-membahu untuk
menjaga agar perhelatan demokrasi yang amat akbar ini tidak dikotori oleh
cara-cara berpolitik semacam itu. Apabila upaya pencegahan tak dilakukan,
bukan hanya demokrasi hitam yang bermain di Indonesia, melainkan demokrasi
kaum penjahat akan tetap ada di negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar