Parodi
Awal Tahun
Saldi Isra ;
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi
(Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
|
KOMPAS,
07 Januari 2014
DI tengah suasana pergantian tahun, tepat 1 Januari 2014,
Pertamina menaikkan harga elpiji 12 kilogram. Tak tanggung-tanggung,
dibandingkan dengan harga bahan bakar minyak beberapa waktu lalu, persentase
kenaikan harga elpiji jauh lebih besar.
Merujuk harga di Jakarta,
misalnya, elpiji 12 kilogram yang sebelumnya seharga Rp 78.000 naik 68 persen
hingga harganya melonjak drastis menjadi Rp 138.000.
Di luar perdebatan soal angka
”penyesuaian” harga yang dipilih pemilik otoritas, kenaikan ini seperti
membuka kembali bopeng- bopeng di tubuh pemerintah. Buktinya, begitu langkah
menaikkan harga mendapat penolakan luas dari masyarakat, pemilik otoritas
kembali ke kebiasaan lama: hadir dengan dalih tidak mengetahui rencana
kenaikan ini. Lalu, di antara mereka saling menyalahkan dan tidak mau
mengambil tanggung jawab.
Buktinya, ketika Pertamina
menyatakan pihaknya sudah melakukan sesuai prosedur dan telah memberi tahu
pemerintah, menteri terkait justru berkelit. Menteri Koordinator Perekonomian
Hatta Rajasa, misalnya, membantah dengan alasan baru mengetahui rencana itu.
Setali tiga uang dengan Hatta, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)
Jero Wacik juga menyatakan tidak menerima pemberitahuan Pertamina. Bahkan,
Hatta justru menuding Menteri BUMN yang sebenarnya mengetahui dan menyetujui
rencana kenaikan harga elpiji (Kompas. com, 5/1/2014).
Padahal, dalam batas penalaran
yang wajar, untuk sebuah pilihan kebijakan yang terkait langsung dengan hajat
hidup orang banyak dan akan menimbulkan beban tambahan bagi para pemakai,
sulit untuk dipahami jika menteri terkait sama sekali tidak mengetahui
rencana ini.
Dengan penalaran itu pula, tidak
mungkin Pertamina meninggalkan dengan cara tidak memberi tahu pemerintah sama
sekali. Melihat gelagat lempar batu sembunyi tangan ini, masyarakat dengan
amat mudah membaca bahwa para pemilik otoritas sedang melakoni parodi awal
tahun.
Pemerintah abai
Di tengah pusaran perdebatan
sekitar kenaikan harga elpiji 12 kilogram ini, dapat dibaca bahwa rencana
”penyesuaian” ini bukan sesuatu yang terjadi begitu saja. Paling tidak,
rencana ini berawal dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang
menemukan ada kerugian lebih dari Rp 7 triliun yang disebabkan harga elpiji
12 kilogram yang dianggap terlalu rendah. Sekiranya peduli, pemerintah pasti
sudah bisa membaca arah yang dikehendaki audit BPK tersebut. Apalagi, secara
eksplisit BPK ”merekomendasikan” Pertamina menaikkan harga elpiji 12 kilogram
untuk mengatasi atau mengurangi kerugiannya.
Kalau benar pilihan kebijakan
menaikkan harga elpiji bermula dari hasil audit BPK, secara jujur harus
dikatakan: pemerintah abai dengan tugas pokoknya untuk melindungi rakyat.
Sekalipun Pertamina adalah sebuah perusahaan dengan status perseroan
terbatas, sebagai salah satu pihak yang menjadi pemegang saham, pemerintah
pasti memiliki wakil untuk mengetahui dan menjaga semua perkembangan yang
terjadi. Dalam posisi demikian, tidak akan ada pilihan kebijakan yang sama
sekali di luar pengetahuan pemerintah.
Dengan tugas pokok yang dimiliki
pemerintah tersebut, langkah perlindungan bagi rakyat sudah harus
diperjuangkan wakil pemerintah di Pertamina. Bahkan, jikalau memang serius
untuk melindungi kepentingan rakyat, dilihat dalam skema besar pengelolaan
negara, tiga kementerian, yaitu ESDM, BUMN, dan Kesejahteraan Rakyat, harus
menjadi ”benteng” lain yang mesti dilewati Pertamina sebelum kenaikan harga
elpiji.
Bagaimanapun, meski dengan status
korporat, pemerintah tidak boleh kehilangan kuasa konstitusional untuk
melindungi posisi dan kepentingan rakyat dari logika bisnis yang lebih banyak
bertumpu pada untung-rugi.
Dalam hal ini, meski elpiji 12
kilogram merupakan komoditas nonsubsidi atau barang komersial yang penentuan
harganya merupakan wewenang Pertamina, sebagai pihak yang diberikan tugas
konstitusional melindungi rakyat, pemerintah memiliki ruang untuk ”memamah”
lebih dalam rencana ini. Misalnya, sekalipun hasil audit menyatakan rugi
karena harga yang rendah, pemerintah dapat saja menyoal: apakah memang
pilihan yang tersedia hanya dengan menaikkan harga? Kalaupun harus naik,
mengapa angka kenaikannya begitu besar?
Bagi sebagian kalangan, pertanyaan
tersebut menjadi penting karena gejala umum yang terjadi akhir-akhir ini
disebabkan ketakutan melakukan berbagai terobosan, jalan pintas yang selalu
dilakukan untuk menutup kerugian adalah menaikkan harga. Tambah lagi,
banyak bentangan empirik yang membuktikan, dalih kerugian untuk menaikkan
harga terjadi di tengah gelimangan fasilitas yang diberikan kepada para
pengelola BUMN. Apabila memang merugi, misalnya, mengapa tidak memilih
langkah penghematan sebelum menaikkan harga?
Dengan melihat fakta terabaikannya
tugas pokok pemerintah tersebut, kekhawatiran bahwa semakin dekat dengan
agenda pemilihan umum, menteri-menteri semakin kehilangan fokus kian
mendekati kenyataan. Dalam kasus ini, tiga menteri yang terkait langsung
dengan kenaikan harga elpiji adalah orang- orang yang memiliki kepentingan
langsung dengan Pemilihan Umum 2014. Misalnya, Menteri BUMN Dahlan Iskan
harus membagi waktu dengan keikutsertaannya dalam Konvensi Calon Presiden
Partai Demokrat. Begitu pula dengan Hatta Rajasa dan Jero Wacik, keduanya
harus bertungkus-lumus mendayung partai politik mereka masing-masing.
Melihat kesibukan ketiganya dan
juga menteri-menteri lain yang berasal dari partai politik, kita kehilangan
logika untuk tetap percaya bahwa mereka masih memikirkan nasib rakyat. Dari
gejala yang ada, hampir dapat dipastikan, fokus utama mereka adalah bagaimana
meraih suara sebanyak-banyaknya dalam pemilu mendatang.
Paling tidak, keluhan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar menteri tetap fokus dengan tugasnya di
pemerintahan dapat menjadi bukti lain indikasi pengabaian kepentingan rakyat.
Bahkan keluhan itu nyaris tidak memiliki makna karena Presiden pun terjebak
dalam persoalan yang sama.
Parodi tambahan
Dengan hilangnya fokus untuk
melindungi kepentingan rakyat, imbauan Presiden SBY agar Pertamina meninjau
kembali kenaikan harga elpiji 12 kilogram seperti menghadirkan parodi
tambahan yang lebih tidak lucu dibandingkan dengan cuci tangan menteri-menteri
terkait. Dikatakan demikian, imbauan Presiden SBY secara implisit membenarkan
kenaikan harga sepanjang dilakukan dengan prosedur dan mekanisme yang diatur
undang-undang. Ditambahkan SBY, prinsip yang dipilih, Pertamina dan negara
tidak terus-menerus dirugikan, apalagi dengan jumlah yang besar
(Kompas, 6/1/2014).
Melihat penjelasan tersebut,
parodi yang hadir, Presiden SBY tetap bertumpu pada logika bisnis yang lebih
mengedepankan perhitungan untung-rugi. Untuk memberikan kesan (baca:
pencitraan) tetap bertindak dalam bingkai amanat konstitusi untuk melindungi
rakyat, kenaikan tetap dilakukan, tetapi dengan pilihan persentase di bawah
68 persen. Lalu, dengan sense politik yang mati rasa itu, dengan
mudah muncul klaim: pemerintah sukses menekan Pertamina untuk menurunkan
persentase kenaikan harga elpiji 12 kilogram.
Bagi sebagian masyarakat, segala
macam reaksi yang dipertontonkan pemerintah di sekitar kenaikan harga elpiji,
benar-benar menjadi sebuah parodi awal tahun yang sama sekali jauh dari rasa
lucu. Untuk kejadian-kejadian seperti ini, orang Minang memiliki kalimat kias
yang sangat khas: ”pandia babali” (pandir
yang dibeli). Semoga kias
klasik urang awak tersebut tidak cocok menggambarkan parodi di awal
tahun 2014. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar