Jumat, 24 Januari 2014

Ranjau-ranjau OJK

CATATAN EKONOMI AKHIR TAHUN

Ranjau-ranjau OJK

Eben Ezer Siadari   ;    Wartawan dan Anggota Dewan Redaksi Jaringnews.com 
JARINGNEWS,  22 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Salah satu lembaga ikonik yang akan mewarnai horizon ekonomi Indonesia pada tahun 2014 yang sudah dekat adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Lembaga ini akan menjadi satu-satunya institusi pengawas sektor keuangan di Tanah Air, yang menurut perkiraan memiliki kapitalisasi sekitar Rp10.000 triliun. Dia benar-benar sebuah lembaga superbodi.

Secara juridis formal, OJK hadir dengan pijakan yang kuat, yaitu  Undang-undang OJK nomor 21 yang diterbitkan pada November tahun 2011. RUU OJK sebetulnya sudah bercikal-bakal sejak tahun 1999. Itu berarti menghabiskan 12 tahun dalam masa kawah candradimuka. Waktu yang panjang, tetapi apakah semua soal sudah diselesaikan dalam kurun waktu itu? Bukan pertanyaan mudah untuk menjawabnya.

Patut diacungi jempol, setelah resmi beroperasi pada 1 Januari 2012, kehadiran OJK tak banyak memicu kontroversi. Sebagai sebuah lembaga baru yang mengawasi sektor strategis, lembaga ini mampu menempatkan diri untuk tidak terlalu menonjol sebagai sasaran kritik namun pada saat yang sama dapat menyampaikan pesan bahwa dirinya ‘ada’ dan eksis (antara lain dalam kasus investasi Yusuf Mansyur).

Barangkali sumbangan terbesar dalam hal ini datang dari masa transisi pengawasan sektor keuangan yang dilangsungkan secara bertahap. Pengawasan yang pertama kali beralih per 1 Januari 2012 ke OJK adalah pengawasan pasar modal dan lembaga keuangan nonbank. Masa transisi ini relatif mulus, antara lain karena bentuk peralihannya yang ‘bedol desa.’ Berpindahnya pengawasan sektor pasar modal ke OJK dapat dikatakan hanya memindahkan apa yang dahulu dikenal sebagai Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) ke OJK. Bahkan yang menjadi komisioner untuk pengawasan pasar modal di OJK pun tetap dipercayakan kepada figur yang sebelumnya menjadi Kepala Bapepam.

Mulusnya masa transisi ini dapat dipahami karena  resistensi terhadap kehadiran OJK dari kalangan sektor keuangan nonbank, termasuk dari lingkungan Bapepam sendiri, boleh dikatakan minim kalau bukan nil. Bagi mereka, dengan bergabung dan bermetamorfosa menjadi OJK justru sebuah proses naik kelas baik dari sisi presitise pun powerfulness. Ini berbeda dengan resistensi yang muncul dari kalangan perbankan terutama Bank Indonesia, yang walaupun bara-nya tak terlihat seberapa, tetapi asapnya cukup tercium sayup-sayup.

Masa transisi OJK dengan demikian memiliki sekuens dari bagian yang mudah dulu, baru yang tersulit. Dari yang resistensinya lebih lemah dahulu baru kepada yang resistensinya berat. Ada yang menganalogikannya dengan makan bubur. Dari bagian yang hangat kuku dulu baru ke bagian tengah yang paling panas. Ini tentu pilihan masuk akal dan pragmatis. Namun tidak berarti selalu mulus.

Menurut UU OJK, mulai 31 Desember 2013 ( bukan mulai 1 Januari 2014) pengawasan perbankan akan beralih sepenuhnya ke OJK.  Sejak hari itu, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke OJK (pasal 55 ayat dua UU OJK . Pada pasal 68 UU OJK, bahkan ditekankan bahwa,  “sejak beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, pemeriksaan dan/atau penyidikan yang sedang dilakukan oleh Bank Indonesia, Kementerian Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, penyelesaiannya dilanjutkan oleh OJK.”

Transisi pengawasan perbankan ini dapat dikatakan merupakan titik krusial mengingat adanya berbagai ranjau yang mungkin saja dapat melumpuhkan atau setidaknya mengganggu jalannya OJK. Dikatakan sebagai ranjau karena ia bisa saja tidak terlihat dan  berada di ‘bawah tanah’  namun eksistensinya sangat riel dan apabila tersulut dapat membuat rusuh dan rusak.

Sebagaimana dikemukakan di awal, sektor yang paling resisten atas kehadiran OJK sebetulnya adalah sektor perbankan dan khususnya kalangan Bank Indonesia sendiri.  Walau resistensi itu oleh beberapa kalangan hanya dipandang berlandaskan alasan persaingan prestise  karena tercerabutnya kekuasaan pengawasan perbankan yang selama beberapa dekade telah menjadi wewenang BI, alasan-alasan lain yang lebih serius sebetulnya tidak boleh dipandang sepele.

Sejumlah tokoh, termasuk mantan Gubernur BI, Burhanuddin Abdullah, termasuk yang secara serius menolak kehadiran OJK. Menurut dia, keberadaan OJK tidak akan menjamin sistem pengawasan lembaga keuangan menjadi lebih baik. Apalagi, sekarang justru banyak negara membubarkan OJK dan mengembalikan pengawasan perbankan kepada bank sentral. "Kalau kita tidak butuh, kenapa harus dibentuk," kata Burhanuddin sebagaimana dikutip oleh berbagai media. Bagi Burhanuddin, satu-satunya alasan mendirikan OJK adalah letter of intent dengan IMF yang ditandatangani pada era Soeharto. Dan sejak itu, menurut dia, keadaan perekonomian di dalam negeri maupun dunia, sudah berubah. Ini adalah argumen yang valid.

Burhanuddin tentu bukan menyuarakan dirinya belaka. Di balik pernyataan yang tanpa tedeng aling-aling itu (ketika tahun 2012 Jaringnews.com mewawancarai dia secara doorstop, Burhanuddin tetap pada pendiriannya bahwa OJK tidak perlu) dapat kita selami bahwa ratusan, bahkan mungkin ribuan orang berpikiran serupa, di dalam ataupun di luar BI.

Argumen lain yang lebih serius dikemukakan oleh Darmin Nasution, mantan Gubernur BI melalui buku memoirnya, Bank Sentral Itu Harus Membumi (Penerbit Galang Pustaka, Yogyakarta, 2013). Dalam buku itu, Darmin mengemukakan testimoni yang harus disimak secara cermat bukan terutama oleh apa yang dia katakan melainkan karena ‘siapa’ yang mengatakan. Darmin Nasution adalah salah seorang perancang awal RUU OJK sejak mulai digulirkan tahun 1999. Darmin Nasution menjabat Gubernur BI pada saat proses UU OJK ini dibahas secara intensif. Dan, last but not least, Darmin Nasution menjadi salah satu anggota tim panitia seleksi  Dewan Komisioner OJK. Artinya, Darmin merupakan salah satu tokoh yang mengerti dari A hingga Z tentang OJK di Tanah Air.

Dalam buku ini, Darmin Nasution bahkan berani mempertaruhkan sikap dengan menyatakan  tidak malu ‘menjilat ludah sendiri’ demi menunjukkan tidak perlunya kehadiran OJK. Dari yang awalnya merupakan tokoh yang getol menganjurkan berdirinya OJK, Darmin berbalik 180 derajat menjadi yang  tidak menganggap penting kehadiran OJK.

Menurut dia, setelah ia masuk ke dalam BI (menjadi Gubernur),  cakrawala berpikirnya semakin terbuka.  “Ternyata kebijakan moneter yang bersifat makro harus didukung informasi yang akurat dan realtime dari sisi mikro, yakn perbankan. Apa jadinya kalau pengawasan perbankan dipisahkan dari BI?”

Darmin menunjuk contoh pengalaman  Inggris dalama kasus Northern Rock Bank. Justru setelah kekuasaan pengawasan bank sentral-nya disunat dan diserahkan kepada lembaga sejenis OJK, kesulitan likuiditas bank itu tak segera bisa dianggulangi dan menimbulkan masalah sistemik di Inggris. “Saya tidak berkeberatan dikatakan menjilat ludah sendiri ketika mengatakan lebih baik merancang ulang sistem dan kelembagaan pengawasan perbankan ketimbang membentuk OJK,” tulis Darmin pada bukunya yang terbit beberapa saat menjelang ia lengser dari BI.

Lagi-lagi catatan-catatan ini perlu dipertimbangkan dan disimak dengan seksama. Tidak seperti kalangan politisi yang dengan lugas dapat menyampaikan keberatannya di depan publik, atau seperti kalangan aktivis LSM yang sangat responsif terhadap hal yang tidak segaris dengan pemahamannya, para bankir seringkali memilih sikap berhati-hati dalam mengemukakan ketidaksetujuannya. Acapkali sikap yang terlalu berhati-hati di permukaan, oleh para bankir dikompensasi dengan langkah-langkah antisipatif yang terukur tetapi di luar dugaan para regulator di kemudian hari yang bila tidak dideteksi jauh-jauh hari dapat memunculkan masalah yang tidak kecil.

Apa yang disuarakan oleh dua mantan gubernur BI tentu tidak berdiri sendiri. Ia merupakan bagian dari dinamika tarik ulur pengawasan perbankan antara OJK dan BI. Bakal adanya ketegangan dalam pengawasan perbankan antara BI dan OJK kelak tidak dapat ditutup-tutupi. Dan ini bukan hal yang patut dianggap remeh. Kalangan Komisi XI DPR RI dalam rapat kerja dengan Gubernur BI, Agus Martowardojo dan Ketua DK OJK, Muliaman D. Hadad pada pertengahan Desember 2013, seakan mencium hal ini, sehingga dalam raker tersebut berkali-kali meminta agar baik Gubernur BI maupun Ketua OJK berterus terang untuk mengemukakan hal-hal apa saja yang belum benar-benar siap dalam peralihan pengawasan perbankan dari BI ke OJK.

Dalam rapat itu kemudian terungkap bahwa sekitar 1200 pegawai BI yang nantinya akan ‘bedol desa’ masuk ke OJK per 31 Desember, masih dapat memutuskan untuk kembali ke BI setelah tiga tahun berkarier di lembaga baru itu. Ini perlu menjadi perhatian serius karena implikasinya tidak ringan. Adanya klausul itu memberikan gambaran bahwa pegawai BI tersebut hanya berstatus ‘pinjaman’ oleh OJK. Bahkan lebih jauh, sangat mungkin terdapat kesan bahwa sesungguhnya pengawasan perbankan belum sepenuhnya beralih ke OJK. Jangan-jangan yang terjadi ialah memindahkan departemen pengawasan perbankan dari BI ke OJK, sehingga OJK tidak lain hanya merupakan cabang baru atau departemen baru dari BI.

Kalangan perbankan, walaupun tak bisa disebut satu per satu, sesungguhnya belum memberikan jaminan 100 persen dapat menerima kehadiran OJK. Salah satu yang kemudian mengemuka adalah mengenai iuran bagi dana operasional OJK, yang menurut UU OJK diperbolehkan dipungut dari kalangan perbankan. Hal ini sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Sejumlah bankir menyatakan ketidaksetujuannya terhadap pungutan tersebut.

Di luar dari isu tarik-ulur pengawasan perbankan, hal lain yang juga patut dicatat ialah kekhawatiran yang pernah dilontarkan oleh Ketua Umum Perbanas, Sigit Pramono tentang Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) yang diatur dalam pasal 44 dalam UU OJK. Disebutkan bahwa untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, dibentuk Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan dengan komposisi  terdiri atas, Menteri Keuangan selaku anggota merangkap  koordinator, Gubernur Bank Indonesia selaku anggota; Ketua Dewan Komisioner  OJK selaku anggota; dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan selaku anggota. Disebutkan pula, dalam pengambilan keputusan, FKKSK berkerja secara musyawarah dan mufakat. Namun manakala hal itu tidak tercapai, dilangsungkan pemungutan suara untuk mendapatkan suara terbanyak.

Dalam kaitan ini, Sigit Pramono mengemukakan dua hal yang  sangat penting. Pertama, personil FKSSK yang hanya terdiri dari empat orang berpotensi deadlock manakala dalam pemungutan suara yang terjadi adalah 2:2. UU OJK tidak mengatur apa yang harus dilakukan dalam keadaan semacam ini. Dalam UU tersebut memang disebutkan bahwa FKSSK dibantu oleh kesekretariatan yang dipimpin oleh pejabat Kemenkeu setingkat eselon I. Tetapi apakah pimpinan kesekretariatan ini dihitung satu suara atau tidak, tidak diatur dalam UU.

Catatan kedua dari Sigit Pramono ialah mengenai absennya representasi sektor keuangan, perbankan maupun nonperbankan dalam FKSSK tersebut. Ketua Perbanas tersebut menganggap sangat penting untuk menghadirkan perwakilan dari pelaku sektor keuangan pada forum yang sangat penting tersebut.

Sejumlah catatan di atas merupakan ranjau-ranjau yang harus ditangani OJK dalam tahap awal beroperasinya lembaga itu secara penuh. Tahun 2014 merupakan tahun politik dimana perhatian banyak tercurah kepada faktor-faktor nonekonomi. Namun pengalaman sejarah Indonesia menunjukkan justru di tahun-tahun politik tersebut pula berbagai kasus dan skandal keuangan merebak. Itu berarti OJK dihadapkan pada dua hal sekaligus pada masa awal beroperasinya secara penuh, yaitu tantangan dari eksternal yang semakin berat dan tantangan internal yang juga mendesak untuk dibereskan.

Memang tidak mungkin lagi memutar ulang jarum jam, sebab OJK kini telah menjadi realitas yang harus diterima. Patut dikutip apa yang dikatakan oleh Darmin Nasution, bahwa “OJK sudah terbentuk, saya berpendapat bahwa keputusan itu harus didukung penuh agar sistem pengawasan yang dibentuk, bisa bekerja dengan baik.” Namun, sesungguhnya dukungan ini justru harus menjadi titik penting bagi OJK untuk waspada. Sebab, ujian yang paling berat sesungguhnya baru dimulai. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar