Menyambut 2014
Iqra Anugrah ; Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik, Northern Illinois University,
AS
|
INDOPROGRESS,
22 Januari 2014
BAIKLAH, saya mengakui bahwa judul
tulisan kali ini terdengar sangat klise dan tidak menarik. Tetapi, saya
berharap anda sedikit bersabar, untuk meluangkan waktu sejenak, sekitar
seperminuman teh, untuk membaca lamunan saya kali ini.
Mari memulai dengan sebuah
pertanyaan: mengapa 2014 perlu disambut? Karena, ada dua peristiwa penting
yang segera datang tahun ini. Pertama, Piala
Dunia di Brazil, dan kedua, pemilihan
umum (Pemilu) di tanah air. Yang pertama memang terdengar lebih menarik,
namun yang kedua tidaklah kalah penting. Karena saya bukan komentator
sepakbola yang baik, saya hanya akan sedikit mengomentari, atau lebih
tepatnya menggerutu, mengenai
konstelasi politik menjelang pemilu – meskipun tidak secanggih para pengamat
politik di televisi.
Perdebatan teoretik
kontemporer mengenai politik Indonesia
Di jurnal Indonesia terbitan Universitas Cornell edisi
Oktober 2013, sejumlah pengkaji Asia Tenggara berpartisipasi dalam debat
mengenai karakter politik dan kontestasi kuasa di Indonesia. Setidaknya ada
tiga pembacaan mengenai politik Indonesia dewasa ini: liberal-pluralis,
struktural-elitis dan agensi popular – dua pembacaan yang terakhir sedikit
banyak dipengaruhi oleh Marxisme. Secara singkat, saya akan menguraikan
posisi dari masing-masing interpretasi tersebut.
Pembacaan liberal-pluralis, yang
diwakili oleh William Liddle (2013) dan Thomas Pepinsky (2013), sedikit
banyak berangkat dari tradisi Dahlian, yang melihat bahwa meskipun ranah
politik, lebih spesifiknya lagi demokrasi elektoral dan institusi negara,
tidak selalu menjadi ruang politik yang netral dan setara, ranah tersebut
telah mampu memberikan peluang bagi berbagai kelompok masyarakat dan
kepentingan yang berbeda untuk mempengaruhi negara dan berbagai kebijakan
politik. Kubu liberal-pluralis, yang berangkat dari asumsi individualisme metodologis,
juga berargumen bahwa setiap analisa politik haruslah menaruh perhatian pada
peranan agensi secara serius. Oleh karenanya, secara agak karikatural, kubu
liberal-pluralis mengritik pembacaan Marxis atas politik, terutama varian
struktural-elitisnya, karena kecenderungannya untuk mengabaikan agensi atas
nama ‘determinisme ekonomi.’
Dari perspektif Marxis, kita bisa
menyebut sejumlah kritik atas pembacaan liberal-pluralis mengenai politik
Indonesia. Saya tidak akan mengulang sejumlah kritik tersebut secara detail
di sini, kecuali sebagian yang saya anggap menarik. Pertama, pembacaan liberal-pluralis abai
terhadap konteks struktural di mana politik bekerja. Kedua, tuduhan kubu liberal-pluralis dalam
melihat analisis Marxis sebagai sekedar ‘determinisme ekonomi’ sesungguhnya
kurang tepat, mengabaikan berbagai tradisi dalam pemikiran Marxis itu
sendiri. Ketiga, akibatnya dalam
pembelaan kubu liberal-pluralis mengenai peranan agensi dalam politik, kubu
liberal-pluralis akhirnya tergiring untuk melakukan dua hal yang
problematis: pertama, mereduksi politik
hanya sebagai aksi-aksi dari sejumlah agensiyang dianggap penting dan
berpengaruh; dan kedua, dengan
demikian kubu liberal-pluralis, baik secara langsung maupun tidak langsung,
telah memberi justifikasi atas sebuah narasi dan teori ‘orang-orang besar’ (great men) atas sejarah dan politik. Dalam hal ini,
kubu liberal-pluralis sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan seorang
teoretikus kajian elit dari Italia, Gaetano Mosca (1939), yang justifikasinya
atas demokrasi elektoral dirumuskannya dari
pembacaan elitisnya atas politik:
bahwa secara natural atau alamiah, sejarah menunjukkan bahwa setiap sistem
politik selalu dikuasai oleh segelintir elit yang ekslusif secara numerikal,
yang selalu mengalami siklus sirkulasi dari waktu ke waktu, zaman ke zaman.
Menanggapi kubu tersebut, sejumlah
pengamat yang berangkat atau terinspirasi dari medan problematika Marxisme,
yaitu duet Vedi Hadiz dan Richard Robison (2013), Jeffrey Winters (2013) dan
Edward Aspinall (2013), menawarkan sejumlah pembacaan lain mengenai politik
Indonesia. Hadiz, Robison dan Winters, menawarkan dua varian pembacaann
strukturalis-elitis mengenai politik Indonesia. Hadiz dan Robison, yang
berangkat dari pembacaan ekonomi-politik Marxian atas politik Indonesia,
berargumen bahwa apa yang disebut sebagai perubahan politik Indonesia pasca
transisi ke demokrasi sesungguhnya tidak lepas dari koordinat kapitalisme
neoliberal. Dengan kata lain, transisi menuju demokrasi elektoral tidak serta merta menjamin pemenuhan
sejumlah aspirasi yang tertanam dalam imajinasi teknokratis mengenai
transisi demokrasi: pemerintahan yang bersih, efisien dan bebas korupsi serta
sejumlah turunannya. Winters, dalam pendekatan eklektiknya yang menggabungkan
sejumlah perspektif, terutama Marxian, Weberian dan Aristotelian, berargumen
bahwa dalam setiap bentuk rejim politik, baik
otokratik maupun demokratik, kaum oligark, yang didefinisikan sebagai lapisan
super-kaya di masyarakat, selalu eksis dan mempengaruhi politik demi kepentingan
pembelaan atas kekayaannya (politics of wealth defense).
Terlepas dari sejumlah perbedaannya, baik duet Robison-Hadiz maupun Winters
sama-sama menyodorkan sebuah pembacaan strukturalis-elitis mengenai politik
Indonesia: bahwa, secara struktural, tidak banyak yang berubah dari
konstelasi politik di Indonesia yang masih didominasi oleh sejumlah elit
yang, baik langsung maupun tidak langsung, melanggengkan teknokrasi kapital
di dalam ranah demokrasi elektoral.
Argumen yang sedikit berbeda
dilontarkan oleh Aspinall. Aspinal, meskipun menyetujui pembacaan
strukturalis-elitis atas politik Indonesia kontemporer, ingin memberikan
sedikit nuansa terhadap pembacaan tersebut dengan mengakui peranan agensi popular dalam perubahan politik. Perlu
dicatat bahwa konsepsi agensi popular Aspinall berbeda dengan konsepsi agensi
ala tradisi liberal-pluralis.
Bagi Aspinall, agensi popular merupakan
aspirasi subaltern yang memiliki sejarah danmenubuh didalamnya. Agensi popular – dengan kata
lain massa – bukanlah agensi atomistik dan ahistoris yang secara voluntaris
dapat mengakumulasi ‘kelihaian’ dalam berpolitik ala tradisi liberal
pluralis. Dalam hal ini, konsepsi agensi popular Aspinall sesungguhnya tidak
jauh berbeda dengan konsepsi à la sejarawan Marxis Inggris terkemuka, E. P.
Thompson (1966) – di dalam setiap dominasi struktural, di dalam setiap
konfrontasi dengan struktur, dengan kapitalisme, ada sejarah di sana, adamassa di sana.
Dengan demikian, terdapat
ketegangan dari dua pembacaan Kiri atas politik Indonesia, yaitu antara
pembacaan strukturalis-elitis dan narasi-narasi mengenai agensi popular.
Tetapi, justru dengan berangkat dari ketegangan itulah, kita bisa melihat
kondisi politik Indonesia secara lebih jernih.
Konstelasi politik menjelang
pemilu 2014
Satu pertanyaan besar untuk Pemilu
tahun ini adalah siapa yang akan menjadi pengganti Babeh Beye? Dari jauh-jauh
hari, berbagai spekulasi dan kalkulasi dari publik maupun berbagai lembaga
survey telah menyodorkan sejumlah nama, mulai dari Ketua Partai Beringin Layu
hingga Jenderal Garuda Kesiangan. Lagi-lagi, musti saya tegaskan bahwa saya
tidak akan mengulangi hasil survey dan analisis dari sejumlah hasil tersebut
– apalagi, saya gak ada potongan ngomong gituan. Yang
ingin saya jabarkan adalah sejumlah amatan saya mengenai konstelasi politik
Indonesia, terutama dari perspektif strukturalis-elitis.
Pertama, kita bisa melihat dari
dimensi sistem kepartaian. Studi Kuskridho Ambardi (2009) secara komprehensif
membahas dan menunjukkan bahwa sistem kepartaian kita yang relatif lemah
merupakan ekses dari kartelisasi dari sistem
kepartaian itu sendiri. Perlu dicatat bahwa dalam rumusannya,
Ambardi menekankan pada proses kartelisasi di tingkat sistem. Dengan kata
lain, alih-alih kejadian yang bersifat partikularistik, maupun sekedar
persoalan mengenai ‘kebejatan moral’ para pengurus partai politik di
Indonesia, ada permasalahan yang sesungguhny bersifat sistemik di dalam politik Indonesia, di mana
kartelisasi sistem kepartaian adalah satu dari sejumlah gejalanya.
Kedua, fragmentasi yang menjamah
segenap bentuk-bentuk politik di Indonesia – termasuk fragmentasi di tingkat
masyarakat sipil – sesungguhnya dapat dibaca sebagai implikasi yang lebih besar dari penetrasi kapitalisme neoliberal ke
dalam politik Indonesia.
Artikel baru Edward Aspinall
(2013) membahas secara detail mengenai bagaimana kapitalisme neoliberal, yang
mewujud dalam satu hal yang jamak kita temui di Indonesia, yaitu
mentalitas proyek dan hubungan
patron-klien, menjalar sebagai tren di empat dimensi politik Indonesia, yaitu
struktur negara, partai politik, lembaga swadaya masyarakat dan Islam
politik. Argumen Aspinell secara singkat adalah bahwa kapitalisme neoliberal
membentuk mentalitas proyek atau ngobyek dalam dua aspek, yaitu 1) tren
liberalisasi ekonomi terutama lewat privatisasi telah memaksa sejumlah
jaringan patronase yang sudah mapan untuk ‘melebarkan’ jangkauannya yang
justru menjadi mungkin karena proses pelelangan terbuka,
dan 2) penetrasi mode kultural neoliberal yang mewujud dalam ide pasar dan
kompetisi sebagai panglima dan segenap bentuk politik transaksional lainnya
dari ranah ekonomi ke ranah sosial (hlm. 31). Yang menarik dari analisis
Aspinall adalah uraiannya yang menunjukkan koneksi antara politik
patronase dan penetrasi neoliberalisme
pasca reformasi.
Pengamat liberal-pluralis dan
kulturalis cenderung tidak melihat, jikalau tidak abai sama sekali, hubungan
antara dua hal tersebut, dengan argumen bahwa praktek-praktek
patron-klientelisme tidaklah sesuai dengan ‘nilai-nilai’ dari ‘tata kelola
pemerintahan yang baik’ (good governance).
Implikasinya, jikalau kita memutlakkan atau membawa argumen tersebut ke titik ekstrim adalah,
sebagai berikut: 1) kubu liberal-pluralis dan kulturalis melakukan
pembacaan normatif alih-alih kajian
yang realistis mengenai politik negara berkembang,
termasuk politik Indonesia, 2) pembacaan normatif tersebut didasarkan oleh
sejumlah asumsi yang menjustifikasi mode pemerintahan teknokratis
yang ‘apolitis’ – yang juga disebut Marx sebagai
‘pemerintahan teknikal’ (Musto, 2011), 3) dengan demikian, baik secara
langsung maupun tidak langsung, pembacaan liberal-pluralis dan kulturalis
turut menjustifikasi penetrasi neoliberalisme sebagai solusi alih-alih membacanya sebagai persoalan dalam politik Indonesia.
Analisis Aspinall juga melampaui
sejumlah analisis strukturalis-elitis atas politik Indonesia, sebagaimana
yang dirumuskan oleh Robison dan Hadiz misalnya, yang menyatakan bahwa
segenap bentuk ‘politik busuk,’ termasuk hubungan patron-klien, adalah
seiring sejalan dengan visi politik teknokratis-neoliberal. Aspinall
berargumen lebih jauh dengan menyatakan bahwa dua hal tersebut bukan hanya
seiring sejalan, melainkan berkaitan satu sama lain. Bahkan,
masih dalam kerangka pemikiran Aspinall, tidaklah berlebihan untuk berargumen
bahwa kapitalisme neoliberal merupakan salah satu penyebab utama dari sejumlah masalah ‘politik
busuk’ di Indonesia.
Ketiga, persoalan ‘politik busuk’ ini
juga memiliki akar historisnya dalam pembantaian gerakan Kiri terutama
dalam peristiwa 1965 dan konsolidasi kapitalisme di
tanah air. Hedman (2001) menunjukkan bahwa dalam konteks Asia Tenggara,
‘warisan’ upaya mobilisasi yang dilakukan oleh gerakan Kiri berimplikasi
kepada trajektori mobilisasi masyarakat sipil kedepannya. Dalam perspektif
inilah kita bisa lebih mengerti mengapa mobilisasi masyarakat sipil di
Indonesia misalnya tidak semasif Thailand atau Filipina dalam beberapa
dimensi (Heryanto & Hadiz, 2005).
Mengapa kita lagi-lagi perlu
menyinggung mengenai persoalan ini? Tentu ini bukan hanya karena The Act of Killing masuk nominasi Oscar, maupun tahun
depan menandai 50 tahun pembantaian 1965 – meskipun kedua hal tersebut
sangatlah penting – tetapi juga karena diskusi yang serius mengenai warisan
peristiwa 1965 akan menentukan arah politik Indonesia kedepannya – apalagi
mengingat bahwa mereka yang baik secara langsung maupun tidak langsung
berpartisipasi dalam pembantaian 1965 dan konsolidasi kapitalisme sesudahnya,
masih berkeliaran dan mendapat dukungan sejumlah ‘aktivis’ dan ‘intelektual’
karbitan.
Dengan demikian, maka sesungguhnya
permasalahan ‘politik busuk’ di Indonesia bukanlah sekedar masalah moralitas belaka, yang akan selesai apabila
sejumlah elit yang beraksi bak pahlawan kesiangan dan
sejumlah faksi kelas menengah yang gumun dan kagum
terhadapnya ‘membenahi’ persoalan ‘moral’ tersebut. Mereduksi
problematika politik Indonesia, dalam slogan-slogan kabur, mulai dari ‘orang
baik versus orang jahat,’ ‘kebobrokan moral,’ ‘krisis kebangsaan,’ hingga
yang baru-baru ini mulai ngetren, ‘menolak
lupa,’ justru mengalihkan perhatian kita dari permasalahan yang sesungguhnya
jauh lebih sistemik dan struktural. Lagi pula, jikalau kita berangkat dari
titik tersebut, maka apa bedanya analisis politik dengan jualan obat atau
kecap? Akar permasalahan politik di Indonesia sesungguhnya jauh lebih dalam
dan kompleks dari sekedar lamunan abstrak tersebut, yang untuk mengatasinya
dibutuhkan analisis dan upaya yang jauh lebih serius.
Melampaui cakrawala politik
elektoral, atau bagaimana agar tidak menjadi ngehek
Berdasarkan analisis di atas,
upaya untuk memulai pembicaraan yang serius mengenai politik di tanah air
dan solusi potensial atas segenap permasalahannya
dapat dimulai dari dua medan problematika, yaitu: 1) bagaimana caranya untuk
melampaui cakrawala politik elektoral; dan 2) bagaimana agar tidak
menjadi ngehek. Kali ini, perlu saya
ingatkan bahwa saya tidak akan bermanis-manis seperti biasanya. Jadi, untuk
anda yang kupingnya gampang panas, mohon bersabar dan silahkan tanggung
sendiri akibatnya.
Persoalan pertama, yaitu bagaimana
untuk melampaui imajinasi politik elektoral, bukanlah persoalan yang mudah.
Saya teringat uraian Przeworski dan Sprague (1986) mengenai partai-partai
Kiri di Eropa Barat, yang menempuh strategi elektoral-parlementer dan
mobilisasi massa untuk berpartisipasi dalam pemilu. Ada dua dilema dari
strategi tersebut. Pertama, kelas
pekerja di Eropa Barat, yang didefinisikan oleh kedua penulis tersebut dalam
kerangka hubungan industrial, meskipun terus berkembang, namun tidak mampu
mendominasi keseluruhan komposisi kependudukan atau demografis secara numerikal. Akibatnya, pada satu titik,
dilema kedua muncul: kelas pekerja Eropa Barat tidak
memilih sebagai blok kelas yang padu atau solid, melainkan
hanya sebagai segerombolan individu belaka. Tantangannya,
bagaimana kemudian melampaui cakrawala imajinasi politik elektoral di masa
ketika orang berbondong-bondong mengikuti pemilu. Tentu saja, tidak ada
jawaban yang definitif – jikalau ada, maka politik tidak ada gunanya – namun
mungkin pengalaman Amerika Latin bisa menjadi referensi yang bagus bagi kita,
hitung-hitung sebagai pelajaran.
Studi James Petras dan Henry
Veltmeyer (2013) tentang gerakan sosial di Amerika Latin menunjukkan
bagaimana gerakan sosial berbasis kelas, baik
di negara dengan rejim partai dominan yang baru mengalami transisi demokrasi
seperti Meksiko maupun di negara seperti Brazil di mana partai Kiri berhasil
merebut kekuasaan negara namun kemudian harus berkompromi dengan logika
neoliberal, bukan hanya mampu memobilisasi massa namun juga mempengaruhi proses
perumusan dan perubahan kebijakan, mulai dari transisi rejim hingga reformasi
agraria. Pengalaman Amerika Latin, sebagaimana dijelaskan Petras dan
Veltmeyer, juga menunjukkan bagaimana rakyat pekerja terutama dalam hal ini
kelas petani bukan hanya mampu melakukan aksi-aksi langsung (direct actions) secara independen, seperti pendudukan
lahan pertanian dan lain sebagainya, namun jugamemobilisasi diri sebagai gerakan sosial yang efektif dengan struktur
kepemimpinan yang jelasnamun berakar ke massa. Dengan
kata lain, politik kelas, dan bukannya konsepsi pascamodernis semacam gerakan
sosial baru (New Social Movements) maupun
liberal-pluralis dalam bentuk ‘masyarakat sipil’ berbasis donor, merupakan
solusi yang masih layak untuk diperhitungkan.
Persoalan kedua, bagaimana untuk tidak menjadi ngehek, juga tidak kalah menantangnya. Terlampau
sering kita dicekoki oleh segenap mitos ‘kelas menengah demokratik,’ yang
sebagian faksinya padahal tidak kalah ngeheknya dengan
borjuis kelas kakap maupun para jenderal yang mengidap post-power syndrome. Sebagai ilustrasi, agaknya
boleh kembali kita uraikan sejumlah karakteristik faksi kelas menengah ngehek perkotaan di Indonesia masa kini: merasa
berpendidikan, dengan hobi nongkrong, sesekali
mengikuti diskusi atau perkembangan isu-isu terkini – meskipun lebih tertarik
untuk gosip sana sini.
Dalam sesi-sesi nongkrongnya,
alias seni duduk-duduk dan ngedumel namun merasa sudah melakukan perubahan,
faksi kelas menengah ngehek kerap
kali menggerutu, apalagi kalau sudah ada demo buruh. ‘Bikin macet!’ katanya.
Politik harus identik dengan stabilitas, pemerintahan yang ‘bersih’ dan
‘bebas dari korupsi,’ supaya mereka bisa enjoydengan
snobisme masa kini. Itu versi hedonnya. Versi religius-nya juga sebelas dua
belas, gak beda jauh. Ganti saja istilah ‘sesi-sesi
nongkrong’ dan ‘diskusi’ dengan istilah lain yang lebih religius – atau
bahkan yang berbau fundamentalisme agama. Apakah mereka mau menyempatkan diri
membaca sejarah sedikit saja atau sekedar merefleksikan diri? Saya tidak
tahu. Yang pasti, saya tidak heran apabila sebagian dari mereka bahkan ikut-ikutan membela Bos Lumpur maupun Jenderal
Penungggang Garuda Loyo, atau bahkan segenap elit yang bergelayutan pada
Dinasti Istana – toh, mimpi-mimpi mereka semua sama: stabilitas, pertumbuhan
ekonomi, ‘pendidikan berkualitas,’ ‘keamanan,’ dan gaya hidup paling trendi – tidak ada tempat buat massa di dalam
kerangka politik seperti itu, kecuali politik elektoral yang dimodifikasi
sedemikian rupa sehingga tak jauh beda dengan pasar yang kekurangan stok
– pilihannya itu-itu saja.
Singkat kata, faksi ngehek ini gagal melihat faktor-faktor
struktural dan mekanisme kausalitas dasar (the underlying cause) yang menyebabkan ‘politik
busuk’ di Indonesia. Akibatnya, sikap politik mereka alih-alih progresif
justru jadi sangat reaksioner, tidak jauh beda dengan Edi Tansil: ejakulasi dini tanpa hasil.
Sepertinya, tebakan sosiolog
progresif kenamaan dari Amerika, C. Wright Mills (1951) dalam bukunya
mengenai kelas menengah The White Collar, masih
terdengar relevan untuk zaman kita. Mills berkata bahwa kelas menengah
‘Karena mereka tidak memiliki
posisi publik, posisi privat mereka sebagai individu menentukan ke arah mana
mereka melangkah (secara politik-red); tetapi, sebagai individu, mereka tidak
tahu kemana mereka akan pergi. Sehingga mereka terombang-ambing. Mereka ragu,
bingung dan tidak menetap dalam menentukan opini mereka, tidak fokus dan
tidak berkesinambungan dalam perilaku mereka. Mereka khawatir dan penuh
ketidakpercayaan, tetapi sebagaimana banyak orang lain, mereka tidak memiliki
target untuk menyalurkan kekhawatiran dan ketidakpercayaan tersebut. Mereka
mungkin gampang terusik mengenai politik, tetapi mereka tidak memiliki hasrat
untuk berpolitik…’ (hlm. 353).
Mills memang menulis mengenai
negerinya, Amerika. Namun, bagi saya, gambaran Mills juga menggambarkan
bagaimana kondisi dan preferensi politik kelas menengah di banyak tempat lain
– termasuk di Indonesia. Tentu, kita menyadari problematika yang dihadapi
oleh rata-rata kelas menengah Indonesia – di mana saya sepertinya masuk
didalamnya. Tetapi, dari pemaparan mengenai kondisi politik Indonesia
menjelang Pemilu 2014, agaknya tidak berlebihan untuk berargumen bahwa
sesungguhnya hanya terdapat dua pilihan bagi kelas menengah – dan publik pada
umumya: antara memilih untuk tetap ngehek atau
memulai mengidentifikasi diri denganperlawanan rakyat yang
terus bergejolak.
Penutup: menghidupkan
repertoir perjuangan sebagai ‘obat’ atas ‘wabah
elitisme’
Kembali ke dalam medan
problematika yang diajukan oleh sejumlah pengamat politik Indonesia baru-baru
ini, saya sampai pada kesimpulan berikut: konfigurasi struktural politik
elitis di Indonesia adalah sebuah fakta yang tak terelakkan, namun, kita juga
musti mengakui fakta bahwa repertoir perjuangan yang dimotori oleh agensi
popular di Indonesia tetap hidup bahkan di tengan dominasi
struktural-elitis tersebut.
Saya teringat kata-kata James C.
Scott, pakar kajian petani yang terkenal itu. Terinspirasi Thompson, Scott
mengritik konsepsi hegemoni Gramscian, menunjukkan bahwa segala bentuk
dominasi maupun hegemoni tidaklah mutlak. Selalu
ada perlawanan, bahkan dalam bentuknya yang subtil dan
tersembunyi. Transisi demokrasi pasca reformasi, seberapapun
cacatnya, membuka ruang dan kesempatan yang lebih luas bagi segenap
perlawanan keseharian (everyday forms of resistance)
tersebut untuk mewujud dalam bentuk-bentuk yang lebih terorganisir.
Barangkali akan ada yang menuduh
saya romantik. Atau bahkan tidak kalah ‘moralis’nya dengan sejumlah kubu yang
saya tuduh sebagai moralis. Dengan senang hati, saya terima tuduhan tersebut
– toh, memang saya pada dasarnya seorang romantik. Namun, paparan saya justru
menunjukkan hal sebaliknya. Boleh jadi, ada basis moralitas, ada dimensi moral dari pembacaan saya mengenai politik
Indonesia menjelang Pemilu 2014, namun, tesis utama dari analisis saya
tetaplah jelas: bahwa upaya untuk berpartisipasi
di dalam politik, untuk berhimpun, untuk memperjuangkan politik kelas adalah konsekuensi
dari dan solusi logis bagi segenap problematika politik di
Indonesia. Karena sejarah memang menunjukkan begitulah adanya. Dalam
bahasa Polanyian, fenomena ini disebut double movement: setiap
upaya intrusi dan penetrasi kapitalisme akan disambut dengan gerakan dan
aksi-aksi kolektif yang menghadang upaya tersebut (Polanyi, 1957).
Akhirnya, untuk
menyambut 2014, harapan saya sungguh sederhana: semoga politik tidak
terkerdilkan menjadi pesta pora elektoral belaka. Pilihannya jelas: antara
mengabsolutkan politik transaksional, bibit-bibit otoritarianisme dan
fundametalisme pasar dengan segenap turunannya atau menempuh jalan baru
menuju perjuangan kelas. ●
Kepustakaan:
Ambardi, K., 2009. Mengungkap Politik Kartel. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Aspinall, E., 2013. A Nation in Fragments: Patronage and
Neoliberalism in Contemporary Indonesia.Critical Asian Studies, 45(1), pp. 27-54.
Aspinall, E., 2013. Popular Agency and Interests in
Indonesia’s Democratic Transition and Consolidation. Indonesia, Volume 96, pp. 101-121.
Hadiz, V. R. & Robison, R., 2013. The Political Economy of
Oligarchy and the Reorganization of Power in Indonesia. Indonesia, Volume 96, pp. 35-57.
Hedman, E. E., 2001. Contesting State and Civil Society:
Southeast Asian Trajectories. Modern Asian Studies, 35(4), pp. 921-951.
Heryanto, A. & Hadiz, V., 2005. Post-Authoritarian
Indonesia: A Comparative Southeast Asian Perspective. Critical Asian Studies, 37(2), pp. 251-276.
Liddle, R. W., 2013. Improving the Quality of Democracy in
Indonesia: Toward a Theory of Action.Indonesia, 96, pp. 59-80.
Mills, C. W., 1951. White Collar. New York: Oxford University Press.
Mosca, G., 1939. The Ruling Class. New York: McGraw Hill Book Company.
Musto, M., 2011. Political Crisis in Italy and Greece: Marx on ‘Technical
Government.’. [Online]
Dapat diakses di: http://mrzine.monthlyreview.org/2011/musto171111.html [Diakses 21 January 2014].
Pepinsky, T. B., 2013. Pluralism and Political Conflict in
Indonesia. Indonesia, Volume 96, pp. 81-100.
Petras, J. & Veltmeyer, H., 2013. Social Movements in Latin America:
Neoliberalism and Popular Resistance. 1st ed. New York : Palgrave Macmillan.
Polanyi, K., 1957. The Great Transformation. Boston: Beacon Press.
Przeworski, A. & Sprague, J. D., 1986. Paper Stones: A History of Electoral
Socialism. Chicago:
University of Chicago Press.
Thompson, E. P., 1966. The Making of the English Working Class. New York: Vintage Books.
Winters, J. A., 2013. Oligarchy and Democracy in Indonesia. Indonesia, Volume 96, pp. 11-33.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar