Jumat, 24 Januari 2014

Menyambut 2014

Menyambut 2014

Iqra Anugrah   ;    Mahasiswa Doktoral Ilmu Politik, Northern Illinois University, AS 
INDOPROGRESS,  22 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
BAIKLAH, saya mengakui bahwa judul tulisan kali ini terdengar sangat klise dan tidak menarik. Tetapi, saya berharap anda sedikit bersabar, untuk meluangkan waktu sejenak, sekitar seperminuman teh, untuk membaca lamunan saya kali ini.

Mari memulai dengan sebuah pertanyaan: mengapa 2014 perlu disambut? Karena, ada dua peristiwa penting yang segera datang tahun ini. Pertama, Piala Dunia di Brazil, dan kedua, pemilihan umum (Pemilu) di tanah air. Yang pertama memang terdengar lebih menarik, namun yang kedua tidaklah kalah penting. Karena saya bukan komentator sepakbola yang baik, saya hanya akan sedikit mengomentari, atau lebih tepatnya menggerutu, mengenai konstelasi politik menjelang pemilu – meskipun tidak secanggih para pengamat politik di televisi.

Perdebatan teoretik kontemporer mengenai politik Indonesia

Di jurnal Indonesia terbitan Universitas Cornell edisi Oktober 2013, sejumlah pengkaji Asia Tenggara berpartisipasi dalam debat mengenai karakter politik dan kontestasi kuasa di Indonesia. Setidaknya ada tiga pembacaan mengenai politik Indonesia dewasa ini: liberal-pluralis, struktural-elitis dan agensi popular – dua pembacaan yang terakhir sedikit banyak dipengaruhi oleh Marxisme. Secara singkat, saya akan menguraikan posisi dari masing-masing interpretasi tersebut.

Pembacaan liberal-pluralis, yang diwakili oleh William Liddle (2013) dan Thomas Pepinsky (2013), sedikit banyak berangkat dari tradisi Dahlian, yang melihat bahwa meskipun ranah politik, lebih spesifiknya lagi demokrasi elektoral dan institusi negara, tidak selalu menjadi ruang politik yang netral dan setara, ranah tersebut telah mampu memberikan peluang bagi berbagai kelompok masyarakat dan kepentingan yang berbeda untuk mempengaruhi negara dan berbagai kebijakan politik. Kubu liberal-pluralis, yang berangkat dari asumsi individualisme metodologis, juga berargumen bahwa setiap analisa politik haruslah menaruh perhatian pada peranan agensi secara serius. Oleh karenanya, secara agak karikatural, kubu liberal-pluralis mengritik pembacaan Marxis atas politik, terutama varian struktural-elitisnya, karena kecenderungannya untuk mengabaikan agensi atas nama ‘determinisme ekonomi.’

Dari perspektif Marxis, kita bisa menyebut sejumlah kritik atas pembacaan liberal-pluralis mengenai politik Indonesia. Saya tidak akan mengulang sejumlah kritik tersebut secara detail di sini, kecuali sebagian yang saya anggap menarik. Pertama, pembacaan liberal-pluralis abai terhadap konteks struktural di mana politik bekerja. Kedua, tuduhan kubu liberal-pluralis dalam melihat analisis Marxis sebagai sekedar ‘determinisme ekonomi’ sesungguhnya kurang tepat, mengabaikan berbagai tradisi dalam pemikiran Marxis itu sendiri. Ketiga,  akibatnya dalam pembelaan kubu liberal-pluralis mengenai peranan agensi dalam politik, kubu liberal-pluralis akhirnya tergiring untuk melakukan dua hal yang problematis: pertama, mereduksi politik hanya sebagai aksi-aksi dari sejumlah agensiyang dianggap penting dan berpengaruh; dan kedua, dengan demikian kubu liberal-pluralis, baik secara langsung maupun tidak langsung, telah memberi justifikasi atas sebuah narasi dan teori ‘orang-orang besar’ (great men) atas sejarah dan politik. Dalam hal ini, kubu liberal-pluralis sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan seorang teoretikus kajian elit dari Italia, Gaetano Mosca (1939), yang justifikasinya atas demokrasi elektoral dirumuskannya dari pembacaan elitisnya atas politik: bahwa secara natural atau alamiah, sejarah menunjukkan bahwa setiap sistem politik selalu dikuasai oleh segelintir elit yang ekslusif secara numerikal, yang selalu mengalami siklus sirkulasi dari waktu ke waktu, zaman ke zaman.

Menanggapi kubu tersebut, sejumlah pengamat yang berangkat atau terinspirasi dari medan problematika Marxisme, yaitu duet Vedi Hadiz dan Richard Robison (2013), Jeffrey Winters (2013) dan Edward Aspinall (2013), menawarkan sejumlah pembacaan lain mengenai politik Indonesia. Hadiz, Robison dan Winters, menawarkan dua varian pembacaann strukturalis-elitis mengenai politik Indonesia. Hadiz dan Robison, yang berangkat dari pembacaan ekonomi-politik Marxian atas politik Indonesia, berargumen bahwa apa yang disebut sebagai perubahan politik Indonesia pasca transisi ke demokrasi sesungguhnya tidak lepas dari koordinat kapitalisme neoliberal. Dengan kata lain, transisi menuju demokrasi elektoral tidak serta merta menjamin pemenuhan sejumlah aspirasi yang tertanam dalam imajinasi teknokratis mengenai transisi demokrasi: pemerintahan yang bersih, efisien dan bebas korupsi serta sejumlah turunannya. Winters, dalam pendekatan eklektiknya yang menggabungkan sejumlah perspektif, terutama Marxian, Weberian dan Aristotelian, berargumen bahwa dalam setiap bentuk rejim politik, baik otokratik maupun demokratik, kaum oligark, yang didefinisikan sebagai lapisan super-kaya di masyarakat, selalu eksis dan mempengaruhi politik demi kepentingan pembelaan atas kekayaannya (politics of wealth defense). Terlepas dari sejumlah perbedaannya, baik duet Robison-Hadiz maupun Winters sama-sama menyodorkan sebuah pembacaan strukturalis-elitis mengenai politik Indonesia: bahwa, secara struktural, tidak banyak yang berubah dari konstelasi politik di Indonesia yang masih didominasi oleh sejumlah elit yang, baik langsung maupun tidak langsung, melanggengkan teknokrasi kapital di dalam ranah demokrasi elektoral.

Argumen yang sedikit berbeda dilontarkan oleh Aspinall. Aspinal, meskipun menyetujui pembacaan strukturalis-elitis atas politik Indonesia kontemporer, ingin memberikan sedikit nuansa terhadap pembacaan tersebut dengan mengakui peranan agensi popular dalam perubahan politik. Perlu dicatat bahwa konsepsi agensi popular Aspinall berbeda dengan konsepsi agensi ala tradisi liberal-pluralis. 

Bagi Aspinall, agensi popular merupakan aspirasi subaltern yang memiliki sejarah danmenubuh didalamnya. Agensi popular – dengan kata lain massa – bukanlah agensi atomistik dan ahistoris yang secara voluntaris dapat mengakumulasi ‘kelihaian’ dalam berpolitik ala tradisi liberal pluralis. Dalam hal ini, konsepsi agensi popular Aspinall sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan konsepsi à la sejarawan Marxis Inggris terkemuka, E. P. Thompson (1966) – di dalam setiap dominasi struktural, di dalam setiap konfrontasi dengan struktur, dengan kapitalisme, ada sejarah di sana, adamassa di sana.

Dengan demikian, terdapat ketegangan dari dua pembacaan Kiri atas politik Indonesia, yaitu antara pembacaan strukturalis-elitis dan narasi-narasi mengenai agensi popular. Tetapi, justru dengan berangkat dari ketegangan itulah, kita bisa melihat kondisi politik Indonesia secara lebih jernih.

Konstelasi politik menjelang pemilu 2014

Satu pertanyaan besar untuk Pemilu tahun ini adalah siapa yang akan menjadi pengganti Babeh Beye? Dari jauh-jauh hari, berbagai spekulasi dan kalkulasi dari publik maupun berbagai lembaga survey telah menyodorkan sejumlah nama, mulai dari Ketua Partai Beringin Layu hingga Jenderal Garuda Kesiangan. Lagi-lagi, musti saya tegaskan bahwa saya tidak akan mengulangi hasil survey dan analisis dari sejumlah hasil tersebut – apalagi, saya gak ada potongan ngomong gituan. Yang ingin saya jabarkan adalah sejumlah amatan saya mengenai konstelasi politik Indonesia, terutama dari perspektif strukturalis-elitis.

Pertama, kita bisa melihat dari dimensi sistem kepartaian. Studi Kuskridho Ambardi (2009) secara komprehensif membahas dan menunjukkan bahwa sistem kepartaian kita yang relatif lemah merupakan ekses dari kartelisasi dari sistem kepartaian itu sendiri. Perlu dicatat bahwa dalam rumusannya, Ambardi menekankan pada proses kartelisasi di tingkat sistem. Dengan kata lain, alih-alih kejadian yang bersifat partikularistik, maupun sekedar persoalan mengenai ‘kebejatan moral’ para pengurus partai politik di Indonesia, ada permasalahan yang sesungguhny bersifat sistemik di dalam politik Indonesia, di mana kartelisasi sistem kepartaian adalah satu dari sejumlah gejalanya.

Kedua, fragmentasi yang menjamah segenap bentuk-bentuk politik di Indonesia – termasuk fragmentasi di tingkat masyarakat sipil – sesungguhnya dapat dibaca sebagai implikasi yang lebih besar dari penetrasi kapitalisme neoliberal ke dalam politik Indonesia.

Artikel baru Edward Aspinall (2013) membahas secara detail mengenai bagaimana kapitalisme neoliberal, yang mewujud dalam satu hal yang jamak kita temui di Indonesia, yaitu mentalitas proyek dan hubungan patron-klien, menjalar sebagai tren di empat dimensi politik Indonesia, yaitu struktur negara, partai politik, lembaga swadaya masyarakat dan Islam politik. Argumen Aspinell secara singkat adalah bahwa kapitalisme neoliberal membentuk mentalitas  proyek atau ngobyek dalam dua aspek, yaitu 1) tren liberalisasi ekonomi terutama lewat privatisasi telah memaksa sejumlah jaringan patronase yang sudah mapan untuk ‘melebarkan’ jangkauannya yang justru menjadi mungkin karena proses pelelangan terbuka, dan 2) penetrasi mode kultural neoliberal yang mewujud dalam ide pasar dan kompetisi sebagai panglima dan segenap bentuk politik transaksional lainnya dari ranah ekonomi ke ranah sosial (hlm. 31). Yang menarik dari analisis Aspinall adalah uraiannya yang menunjukkan koneksi antara politik patronase dan penetrasi neoliberalisme pasca reformasi.

Pengamat liberal-pluralis dan kulturalis cenderung tidak melihat, jikalau tidak abai sama sekali, hubungan antara dua hal tersebut, dengan argumen bahwa praktek-praktek patron-klientelisme tidaklah sesuai dengan ‘nilai-nilai’ dari ‘tata kelola pemerintahan yang baik’ (good governance). Implikasinya, jikalau kita memutlakkan atau membawa argumen tersebut ke titik ekstrim adalah, sebagai berikut: 1) kubu liberal-pluralis dan kulturalis melakukan pembacaan normatif  alih-alih kajian yang realistis mengenai politik negara berkembang, termasuk politik Indonesia, 2) pembacaan normatif tersebut didasarkan oleh sejumlah asumsi yang menjustifikasi mode pemerintahan teknokratis yang ‘apolitis’ ­– yang juga disebut Marx sebagai ‘pemerintahan teknikal’ (Musto, 2011), 3) dengan demikian, baik secara langsung maupun tidak langsung, pembacaan liberal-pluralis dan kulturalis turut menjustifikasi penetrasi neoliberalisme sebagai solusi alih-alih membacanya sebagai persoalan dalam politik Indonesia.

Analisis Aspinall juga melampaui sejumlah analisis strukturalis-elitis atas politik Indonesia, sebagaimana yang dirumuskan oleh Robison dan Hadiz misalnya, yang menyatakan bahwa segenap bentuk ‘politik busuk,’ termasuk hubungan patron-klien, adalah seiring sejalan dengan visi politik teknokratis-neoliberal. Aspinall berargumen lebih jauh dengan menyatakan bahwa dua hal tersebut bukan hanya seiring sejalan, melainkan berkaitan satu sama lain. Bahkan, masih dalam kerangka pemikiran Aspinall, tidaklah berlebihan untuk berargumen bahwa kapitalisme neoliberal merupakan salah satu penyebab utama dari sejumlah masalah ‘politik busuk’ di Indonesia.

Ketiga, persoalan ‘politik busuk’ ini juga memiliki akar historisnya dalam  pembantaian gerakan Kiri terutama dalam peristiwa 1965 dan konsolidasi kapitalisme di tanah air. Hedman (2001) menunjukkan bahwa dalam konteks Asia Tenggara, ‘warisan’ upaya mobilisasi yang dilakukan oleh gerakan Kiri berimplikasi kepada trajektori mobilisasi masyarakat sipil kedepannya. Dalam perspektif inilah kita bisa lebih mengerti mengapa mobilisasi masyarakat sipil di Indonesia misalnya tidak semasif Thailand atau Filipina dalam beberapa dimensi (Heryanto & Hadiz, 2005).

Mengapa kita lagi-lagi perlu menyinggung mengenai persoalan ini? Tentu ini bukan hanya karena The Act of Killing masuk nominasi Oscar, maupun tahun depan menandai 50 tahun pembantaian 1965 – meskipun kedua hal tersebut sangatlah penting – tetapi juga karena diskusi yang serius mengenai warisan peristiwa 1965 akan menentukan arah politik Indonesia kedepannya – apalagi mengingat bahwa mereka yang baik secara langsung maupun tidak langsung berpartisipasi dalam pembantaian 1965 dan konsolidasi kapitalisme sesudahnya, masih berkeliaran dan mendapat dukungan sejumlah ‘aktivis’ dan ‘intelektual’ karbitan.

Dengan demikian, maka sesungguhnya permasalahan ‘politik busuk’ di Indonesia bukanlah sekedar masalah moralitas belaka, yang akan selesai apabila sejumlah elit yang beraksi bak pahlawan kesiangan dan sejumlah faksi kelas menengah yang gumun dan kagum terhadapnya ‘membenahi’ persoalan ‘moral’ tersebut. Mereduksi problematika politik Indonesia, dalam slogan-slogan kabur, mulai dari ‘orang baik versus orang jahat,’ ‘kebobrokan moral,’ ‘krisis kebangsaan,’ hingga yang baru-baru ini mulai ngetren, ‘menolak lupa,’ justru mengalihkan perhatian kita dari permasalahan yang sesungguhnya jauh lebih sistemik dan struktural. Lagi pula, jikalau kita berangkat dari titik tersebut, maka apa bedanya analisis politik dengan jualan obat atau kecap? Akar permasalahan politik di Indonesia sesungguhnya jauh lebih dalam dan kompleks dari sekedar lamunan abstrak tersebut, yang untuk mengatasinya dibutuhkan analisis dan upaya yang jauh lebih serius.

Melampaui cakrawala politik elektoral, atau bagaimana agar tidak menjadi ngehek

Berdasarkan analisis di atas, upaya untuk memulai pembicaraan yang serius mengenai politik di tanah air dan solusi potensial atas segenap permasalahannya dapat dimulai dari dua medan problematika, yaitu: 1) bagaimana caranya untuk melampaui cakrawala politik elektoral; dan 2) bagaimana agar tidak menjadi ngehek. Kali ini, perlu saya ingatkan bahwa saya tidak akan bermanis-manis seperti biasanya. Jadi, untuk anda yang kupingnya gampang panas, mohon bersabar dan silahkan tanggung sendiri akibatnya.

Persoalan pertama, yaitu bagaimana untuk melampaui imajinasi politik elektoral, bukanlah persoalan yang mudah. Saya teringat uraian Przeworski dan Sprague (1986) mengenai partai-partai Kiri di Eropa Barat, yang menempuh strategi elektoral-parlementer dan mobilisasi massa untuk berpartisipasi dalam pemilu. Ada dua dilema dari strategi tersebut. Pertama, kelas pekerja di Eropa Barat, yang didefinisikan oleh kedua penulis tersebut dalam kerangka hubungan industrial, meskipun terus berkembang, namun tidak mampu mendominasi keseluruhan komposisi kependudukan atau demografis secara numerikal.  Akibatnya, pada satu titik, dilema kedua muncul: kelas pekerja Eropa Barat tidak memilih sebagai blok kelas yang padu atau solid, melainkan hanya sebagai  segerombolan individu belaka. Tantangannya, bagaimana kemudian melampaui cakrawala imajinasi politik elektoral di masa ketika orang berbondong-bondong mengikuti pemilu. Tentu saja, tidak ada jawaban yang definitif – jikalau ada, maka politik tidak ada gunanya – namun mungkin pengalaman Amerika Latin bisa menjadi referensi yang bagus bagi kita, hitung-hitung sebagai pelajaran.

Studi James Petras dan Henry Veltmeyer (2013) tentang gerakan sosial di Amerika Latin menunjukkan bagaimana gerakan sosial berbasis kelas, baik di negara dengan rejim partai dominan yang baru mengalami transisi demokrasi seperti Meksiko maupun di negara seperti Brazil di mana partai Kiri berhasil merebut kekuasaan negara namun kemudian harus berkompromi dengan logika neoliberal, bukan hanya mampu memobilisasi massa namun juga mempengaruhi proses perumusan dan perubahan kebijakan, mulai dari transisi rejim hingga reformasi agraria. Pengalaman Amerika Latin, sebagaimana dijelaskan Petras dan Veltmeyer, juga menunjukkan bagaimana rakyat pekerja terutama dalam hal ini kelas petani bukan hanya mampu melakukan aksi-aksi langsung (direct actions) secara independen, seperti pendudukan lahan pertanian dan lain sebagainya, namun jugamemobilisasi diri sebagai gerakan sosial yang efektif dengan struktur kepemimpinan yang jelasnamun berakar ke massa. Dengan kata lain, politik kelas, dan bukannya konsepsi pascamodernis semacam gerakan sosial baru (New Social Movements) maupun liberal-pluralis dalam bentuk ‘masyarakat sipil’ berbasis donor, merupakan solusi yang masih layak untuk diperhitungkan.

Persoalan kedua, bagaimana untuk tidak menjadi ngehek, juga tidak kalah menantangnya. Terlampau sering kita dicekoki oleh segenap mitos ‘kelas menengah demokratik,’ yang sebagian faksinya padahal tidak kalah  ngeheknya dengan borjuis kelas kakap maupun para jenderal yang mengidap post-power syndrome. Sebagai ilustrasi, agaknya boleh kembali kita uraikan sejumlah karakteristik faksi kelas menengah ngehek perkotaan di Indonesia masa kini: merasa berpendidikan, dengan hobi nongkrong, sesekali mengikuti diskusi atau perkembangan isu-isu terkini – meskipun lebih tertarik untuk gosip sana sini.

Dalam sesi-sesi nongkrongnya, alias seni duduk-duduk dan ngedumel namun merasa sudah melakukan perubahan, faksi kelas menengah ngehek kerap kali menggerutu, apalagi kalau sudah ada demo buruh. ‘Bikin macet!’ katanya. Politik harus identik dengan stabilitas, pemerintahan yang ‘bersih’ dan ‘bebas dari korupsi,’ supaya mereka bisa enjoydengan snobisme masa kini. Itu versi hedonnya. Versi religius-nya juga sebelas dua belas, gak beda jauh. Ganti saja istilah ‘sesi-sesi nongkrong’ dan ‘diskusi’ dengan istilah lain yang lebih religius – atau bahkan yang berbau fundamentalisme agama. Apakah mereka mau menyempatkan diri membaca sejarah sedikit saja atau sekedar merefleksikan diri? Saya tidak tahu. Yang pasti, saya tidak heran apabila sebagian dari mereka bahkan ikut-ikutan membela Bos Lumpur maupun Jenderal Penungggang Garuda Loyo, atau bahkan segenap elit yang bergelayutan pada Dinasti Istana – toh, mimpi-mimpi mereka semua sama: stabilitas, pertumbuhan ekonomi, ‘pendidikan berkualitas,’ ‘keamanan,’ dan gaya hidup paling trendi – tidak ada tempat buat massa di dalam kerangka politik seperti itu, kecuali politik elektoral yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga tak jauh beda dengan pasar yang kekurangan stok – pilihannya itu-itu saja. 

Singkat kata, faksi ngehek ini gagal melihat faktor-faktor struktural dan  mekanisme kausalitas dasar (the underlying cause) yang menyebabkan ‘politik busuk’ di Indonesia. Akibatnya, sikap politik mereka alih-alih progresif justru jadi sangat reaksioner, tidak jauh beda dengan Edi Tansil: ejakulasi dini tanpa hasil.
Sepertinya, tebakan sosiolog progresif kenamaan dari Amerika, C. Wright Mills (1951) dalam bukunya mengenai kelas menengah The White Collar, masih terdengar relevan untuk zaman kita. Mills berkata bahwa kelas menengah

‘Karena mereka tidak memiliki posisi publik, posisi privat mereka sebagai individu menentukan ke arah mana mereka melangkah (secara politik-red); tetapi, sebagai individu, mereka tidak tahu kemana mereka akan pergi. Sehingga mereka terombang-ambing. Mereka ragu, bingung dan tidak menetap dalam menentukan opini mereka, tidak fokus dan tidak berkesinambungan dalam perilaku mereka. Mereka khawatir dan penuh ketidakpercayaan, tetapi sebagaimana banyak orang lain, mereka tidak memiliki target untuk menyalurkan kekhawatiran dan ketidakpercayaan tersebut. Mereka mungkin gampang terusik mengenai politik, tetapi mereka tidak memiliki hasrat untuk berpolitik…’ (hlm. 353).

Mills memang menulis mengenai negerinya, Amerika. Namun, bagi saya, gambaran Mills juga menggambarkan bagaimana kondisi dan preferensi politik kelas menengah di banyak tempat lain – termasuk di Indonesia. Tentu, kita menyadari problematika yang dihadapi oleh rata-rata kelas menengah Indonesia – di mana saya sepertinya masuk didalamnya. Tetapi, dari pemaparan mengenai kondisi politik Indonesia menjelang Pemilu 2014, agaknya tidak berlebihan untuk berargumen bahwa sesungguhnya hanya terdapat dua pilihan bagi kelas menengah – dan publik pada umumya: antara memilih untuk tetap ngehek atau memulai mengidentifikasi diri denganperlawanan rakyat yang terus bergejolak.

Penutup: menghidupkan repertoir perjuangan sebagai ‘obat’ atas ‘wabah 
elitisme’

Kembali ke dalam medan problematika yang diajukan oleh sejumlah pengamat politik Indonesia baru-baru ini, saya sampai pada kesimpulan berikut: konfigurasi struktural politik elitis di Indonesia adalah sebuah fakta yang tak terelakkan, namun, kita juga musti mengakui fakta bahwa repertoir perjuangan yang dimotori oleh agensi popular di Indonesia tetap hidup bahkan di tengan dominasi struktural-elitis tersebut.

Saya teringat kata-kata James C. Scott, pakar kajian petani yang terkenal itu. Terinspirasi Thompson, Scott mengritik konsepsi hegemoni Gramscian, menunjukkan bahwa segala bentuk dominasi maupun hegemoni tidaklah mutlak. Selalu ada perlawanan, bahkan dalam bentuknya yang subtil dan tersembunyi. Transisi demokrasi pasca reformasi, seberapapun cacatnya, membuka ruang dan kesempatan yang lebih luas bagi segenap perlawanan keseharian (everyday forms of resistance) tersebut untuk mewujud dalam bentuk-bentuk yang lebih terorganisir.

Barangkali akan ada yang menuduh saya romantik. Atau bahkan tidak kalah ‘moralis’nya dengan sejumlah kubu yang saya tuduh sebagai moralis. Dengan senang hati, saya terima tuduhan tersebut – toh, memang saya pada dasarnya seorang romantik. Namun, paparan saya justru menunjukkan hal sebaliknya. Boleh jadi, ada basis moralitas, ada dimensi moral dari pembacaan saya mengenai politik Indonesia menjelang Pemilu 2014, namun, tesis utama dari analisis saya tetaplah jelas: bahwa upaya untuk berpartisipasi di dalam politik, untuk berhimpun, untuk memperjuangkan politik kelas adalah konsekuensi dari dan solusi logis bagi segenap problematika politik di Indonesia. Karena sejarah memang menunjukkan begitulah adanya. Dalam bahasa Polanyian, fenomena ini disebut double movement: setiap upaya intrusi dan penetrasi kapitalisme akan disambut dengan gerakan dan aksi-aksi kolektif yang menghadang upaya tersebut (Polanyi, 1957).

Akhirnya, untuk menyambut 2014, harapan saya sungguh sederhana: semoga politik tidak terkerdilkan menjadi pesta pora elektoral belaka. Pilihannya jelas: antara mengabsolutkan politik transaksional, bibit-bibit otoritarianisme dan fundametalisme pasar dengan segenap turunannya atau menempuh jalan baru menuju perjuangan kelas.

Kepustakaan:

Ambardi, K., 2009. Mengungkap Politik Kartel. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Aspinall, E., 2013. A Nation in Fragments: Patronage and Neoliberalism in Contemporary Indonesia.Critical Asian Studies, 45(1), pp. 27-54.
Aspinall, E., 2013. Popular Agency and Interests in Indonesia’s Democratic Transition and Consolidation. Indonesia, Volume 96, pp. 101-121.
Hadiz, V. R. & Robison, R., 2013. The Political Economy of Oligarchy and the Reorganization of Power in Indonesia. Indonesia, Volume 96, pp. 35-57.
Hedman, E. E., 2001. Contesting State and Civil Society: Southeast Asian Trajectories. Modern Asian Studies, 35(4), pp. 921-951.
Heryanto, A. & Hadiz, V., 2005. Post-Authoritarian Indonesia: A Comparative Southeast Asian Perspective. Critical Asian Studies, 37(2), pp. 251-276.
Liddle, R. W., 2013. Improving the Quality of Democracy in Indonesia: Toward a Theory of Action.Indonesia, 96, pp. 59-80.
Mills, C. W., 1951. White Collar. New York: Oxford University Press.
Mosca, G., 1939. The Ruling Class. New York: McGraw Hill Book Company.                                        
Musto, M., 2011. Political Crisis in Italy and Greece: Marx on ‘Technical Government.’. [Online]
Dapat diakses di:
 http://mrzine.monthlyreview.org/2011/musto171111.html
[Diakses 21 January 2014].
Pepinsky, T. B., 2013. Pluralism and Political Conflict in Indonesia. Indonesia, Volume 96, pp. 81-100.
Petras, J. & Veltmeyer, H., 2013. Social Movements in Latin America: Neoliberalism and Popular Resistance. 1st ed. New York : Palgrave Macmillan.
Polanyi, K., 1957. The Great Transformation. Boston: Beacon Press.
Przeworski, A. & Sprague, J. D., 1986. Paper Stones: A History of Electoral Socialism. Chicago: University of Chicago Press.
Thompson, E. P., 1966. The Making of the English Working Class. New York: Vintage Books.
Winters, J. A., 2013. Oligarchy and Democracy in Indonesia. Indonesia, Volume 96, pp. 11-33.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar