Rabu, 22 Januari 2014

“Quo Vadis” Kasus Hambalang

“Quo Vadis” Kasus Hambalang

Eddy OS Hiariej   ;   Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM
KOMPAS,  22 Januari 2014
                                                                                                                        


MESKIPUN langit runtuh, hukum harus ditegakkan. Demikian petuah lama yang mengandung kedalaman makna bahwa hukum adalah panglima  dalam menyelesaikan setiap perkara tanpa pandang bulu dan tidak boleh terpengaruh oleh faktor-faktor non-yuridis seperti politik, kekuasaan, ekonomi, dan seterusnya.

Dalam konteks  kasus megakorupsi Hambalang, setelah penahanan Anas Urbaningrum, pertanyaan lebih lanjut: apakah terminal akhir kasus a quo hanya berhenti pada Anas atau akan dibawa ke mana kasus ini? Sejak bergulir kasus a quo, saya melihat proyek Hambalang adalah kasus megakorupsi yang paripurna. Paling tidak ada empat pihak yang terlibat.

Pertama, pihak eksekutif. Dengan ditetapkan sejumlah pejabat di Kementerian Pemuda dan Olahraga–termasuk mantan menterinya–tidaklah dapat dimungkiri bahwa pemerintah terlibat dalam kasus ini. Namun, tidaklah adil jika tanggung jawab itu hanya dibebankan kepada Kementerian Pemuda dan Olahraga semata. Adanya modus operandi penggunaan anggaran multiyears tak akan mungkin terjadi tanpa keterlibatan Kementerian Keuangan. Demikian pula keterlibatan pejabat Badan Pertanahan Nasional dalam penerbitan sertifikat tanah Hambalang yang relatif sangat singkat. Bukankah bukti permulaan keterlibatan pejabat di instansi-instansi itu telah ada dari kesaksian dalam kasus yang sedang disidangkan?

Kedua, pihak legislatif. Dalam hal ini adalah Badan Anggaran DPR dan komisi-komisi di DPR yang berkaitan langsung dengan urusan kepemudaan dan olahraga. Sudah jadi rahasia umum dan terbukti di pengadilan, pencairan mata anggaran dalam APBN oleh DPR selalu diikuti dengan praktik suap-menyuap.

Ketiga, pihak swasta yang dalam hal ini adalah kontraktor yang memenangi tender. Salah satu modus operandi korupsi yang dilakukan kontraktor adalah menyubkontrakkan pekerjaan kepada perusahaan-perusahaan tertentu yang baru berdiri sebelum atau sesaat setelah tender proyek tersebut dimenangi. Kegiatan menyubkontrakkan pekerjaan adalah kickbacks yang dilakukan kontraktor pemenang tender terhadap orang-orang yang berjasa dalam pemenangan tender itu.    

Keempat, partai politik. Sejak pelariannya, Nazaruddin tak tanggung-tanggung dalam ”nyanyiannya” menunjuk hidung para petinggi partai tempat ia bernaung dalam kasus Hambalang dan saat ini ‘”nyanyian” itu tak hanya isapan jempol belaka. Ironisnya, dalam iklan layanan masyarakat, partai itu menyerukan ”Katakan ’tidak’ pada korupsi”. Namun sayang,  tiga dari lima bintang iklan kini mendekam dalam tahanan karena kasus korupsi. Jika tiga dari lima petinggi partai yang terjerat kasus korupsi, apakah layak dikatakan perbuatan ”oknum” atau perbuatan partai secara sistematis dan terstruktur?

Babak baru

Megakorupsi Hambalang saat ini memasuki babak baru. Ucapan terima kasih Anas kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai memiliki makna yang berbeda. Ucapan terima kasih kepada SBY mengandung makna ancaman halus bahwa Anas akan membuka kasus Hambalang secara terang benderang dan sangat mungkin melibatkan Cikeas. Ucapan terima kasih kepada KPK berarti tantangan bagi KPK untuk bertindak adil dalam mengusut tuntas korupsi Hambalang kendatipun melibatkan Cikeas.

Dalam konteks demikian, alangkah baik jika Anas memilih peran sebagai justice collaborator. Peter Bal dalam Homo ludens en humaan strafrecht (2011) menyatakan, dalam konteks hukum pidana,  ada beberapa hal terkait justice collaborator.

Pertama, harus sesegera mungkin justice collaborator mendapat perlindungan. Hal ini dimaksud agar ia tidak dibunuh oleh komplotannya. Kedua, informasi dari justice collaborator dapat dijadikan bukti permulaan yang cukup untuk mengungkap sindikat kejahatan itu. Ketiga, jika si justice collaborator memberi informasi sehingga bisa membongkar sindikat kejahatan sampai ke akar-akarnya, ini dipakai sebagai hal yang meringankan hukumannya. Bahkan, dalam kasus-kasus tertentu, si justice collaborator dapat dibebaskan dari penjatuhan pidana.

Merugikan diri sendiri

Selanjutnya terkait tindakan nonkooperatif Anas yang tak mau diperiksa dalam kasus lain lantaran surat panggilan KPK yang bertuliskan frasa ”...dan atau proyek-proyek lainnya....” Terhadap hal ini, ada beberapa catatan. Pertama, banyak ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kita yang bersifat lex imperfecta. Artinya, ketentuan itu berisi perintah atau kewajiban, tetapi tak disertai sanksi atau konsekuensi jika perintah atau kewajiban itu tak dipenuhi. Berdasarkan Pasal 112 KUHAP, terkait panggilan oleh penyidik KPK, tidak ada konsekuensi hukum apa pun jika surat panggilan itu berisi uraian yang tak jelas.

Kedua, haruslah dipahami, jika dikaitkan doktrin sistem nilai dalam peradilan pidana, sesungguhnya KUHAP yang kita miliki lebih cenderung pada crime control model dan bukan due process model. Sistem nilai crime control model lebih mengutamakan kecepatan, efisiensi, dan keefektifan, serta prinsip praduga bersalah dalam penanganan perkara kendatipun tersangka atau terdakwa tetap dianggap tak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang punya kekuatan hukum tetap (Herbert L Packer dalam The Limits of Criminal Sanction, 1968, Oxford University Press, hal 56). Konsekuensi lebih lanjut, tersangka atau terdakwa hanya dijadikan obyek dalam sistem peradilan pidana.

Ketiga atau yang terakhir, tindakan Anas yang menggunakan hak diam untuk tidak berbicara terkait proyek lainnya dapat dibenarkan dalam konteks due process yang lebih mengutamakan perlindungan terhadap individu dari kesewenang-wenangan negara. Kendati tindakan tersebut hanya akan merugikan Anas sendiri yang diharapkan menjadi justice collaborator, tindakan KPK untuk terus melakukan proses hukum terhadap kasus proyek lain yang melibatkan Anas tidaklah bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dianut dalam KUHAP kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar