Multikulturalisme
Konstruktif
William Chang ; Pengampu Etika Sosial
STIE Widya Dharma, Pontianak
|
KOMPAS,
22 Januari 2014
Sejarah mengukir Indonesia termasuk salah satu bangsa yang
memiliki segudang pengalaman dalam bidang multikulturalisme. Kaum kolonialis menggunakannya
sebagai medium divide et impera dan
penguasaan anak- anak bangsa. Sementara kaum cerdik-cendekia bangsa mengolah
multikulturalisme sebagai si(e)nergi dalam proses mengakhiri penjajahan.
Lalu, bagaimanakah setelah kemerdekaan?
Sejak kemerdekaan RI, ”bola panas”
multikulturalisme acap kali dipolitisasi oleh penguasa bangsa untuk
mengawetkan kursi pemerintahan. Manipulasi politis ini diperunyam oleh
”–isme-isme asing” sektarian dan fragmentaris yang tersebar di seluruh Tanah
Air. Sejumlah anasir sosial yang terhipnotis aliran ekstrem lambat laun
melemahkan dan menghancurkan sendi-sendi kerukunan anak bangsa sebagai ahli
waris pluralisme kultural.
Politisasi manipulatif ini de
facto memperlebar jurang perbedaan sosial anak bangsa. Warna-warni
kodrati yang indah tidak merukunkan dan menyejukkan kehidupan bersama, tetapi
mencerai-beraikan anak bangsa berdasarkan jender, generasi, pekerjaan,
etnisitas, agama, dan rangkaian pengalaman berbeda.
Suasana friktif ini mengikis
budaya saling menghormati dan menghargai perbedaan sosial. Proses
interkulturalisme sedang mengalami proses erosi. Sekat pemisah antar-golongan
semakin kuat. Pergesekan dan perbenturan sosial pun tak terhindarkan.
Salah satu kepiluan nasional pada
akhir 2013 dialami oleh warga Gereja Yasmin, Bogor, yang menunaikan ibadat
Natal di depan Istana Negara, Jakarta. Padahal, republik ini menjamin
kebebasan beragama (berdasarkan Pancasila dan UUD 1945).
Gelaran ibadat ini mempertanyakan
kehadiran negara kala anak bangsa kehilangan hak terdasar mereka. Di manakah
otoritas hukum positif yang menjamin kebebasan hidup religius? Mengapa sikap
toleransi mengalami degradasi drastis di negara multikultural ini? Sangat tepat
ketika Menteri Agama RI mengusulkan setiap tanggal 3 Januari sebagai Hari
Kerukunan Nasional, mengingat telah terjadi kemerosotan sikap toleran dalam
sebuah bangsa multikultural.
Pisau bermata dua
Multikultralisme ibarat sebilah
pisau bermata ganda. Dari satu sisi, kekayaan dan kesuburan rahim
multikulturalisme telah melahirkan sejumlah bangsa di Asia seperti
Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Namun, dari sisi lain instrumentalisasi
multikulturalisme telah merenggut banyak nyawa manusia di Indonesia (1967 dan
1998), Rwanda (1995), Suriah, dan Rohingya (2013). Nyawa manusia berguguran
akibat konflik sosial, etnis, dan religius. Kalau begitu, masih adakah nilai perenial di balik multikulturalisme?
Sebuah pembicaraan internasional
tentang ”Menuju Sebuah Pluralisme
Konstruktif”, yang diselenggarakan oleh UNESCO di Paris pada 1999,
menelurkan empat rekomendasi penting terkait dengan nilai-nilai humaniora.
Pertama, semua kelompok religius, etnis, bahasa, dan latar belakang lain
seharusnya didorong untuk menekankan aspek-aspek tradisi yang membuat mereka
bisa saling menghargai dan mengerti.
Kedua, dalam proses membangun
identitas mereka yang tergusur migrasi, transmigrasi, dan urbanisasi dapat
disalurkan bantuan-bantuan yang diperlukan oleh setiap individu.
Ketiga, proses pendidikan
seharusnya dikembangkan untuk mendukung interaksi dan mendorong sikap saling
menghargai antarkomunitas.
Keempat, melibatkan semua pihak
dalam proses berdialog dengan yang lain supaya dapat diadakan sosialisasi
tentang makna multikulturalisme.
Multikulturalisme konstruktif ini
dimulai dari tingkat dasar, yaitu internalisasi dan sosialisasi sikap saling
pemahaman dan pengertian tentang ”yang lain” dalam kaca mata positif. Sikap
apriori dan prejudis termasuk penghalang dalam proses mewujudkan
multikulturalisme konstruktif ini.
Reformasi pandangan positif
tentang yang lain juga termasuk reformasi penting dalam membangun bangsa yang
multikulturalisme karena politisasi dan manipulasi multikulturalisme ini akan
melahirkan keadaan sosial yang tidak aman, destruktif, dan tragis. Kekacauan
dan kegalauan nasional akan terjadi kalau iklim hidup sosial, ekonomi, dan
politik berada dalam ranah konfliktual yang berkepanjangan.
Dimensi konstruktif
multikulturalisme ini disebarluaskan lewat ruang publik, terutama zona
pemerintahan pusat dan daerah, sekolah, tempat kerja, dan lingkungan pasar.
Seorang kepala daerah yang terpilih tidak cukup hanya mengembalikan modal
pilkada, tetapi ia sungguh bertanggung jawab atas terwujudnya kerukunan yang
jujur dalam multikulturalisme.
Merajut manajemen konflik
Perbenturan atau pergesekan
individual atau sosial akibat multikulturalisme sulit dienyahkan. Keunikan
pribadi manusia sebagai makhluk dinamis bisa menimbulkan suasana hidup yang
acap kali tidak searah atau sejalan.
Setiap individu cenderung
mengaktualisasi diri dalam pembicaraan atau tingkah laku sehari-hari. Tidak
setiap individu memiliki kesepakatan bersama dalam menjalani roda kehidupan
masing-masing. Perbedaan pandangan, pembicaraan, dan tindakan ini terkadang
mengundang perbenturan dan pergesekan individual atau sosial.
Sebuah manajemen konflik yang
kontekstual diperlukan untuk mengantisipasi konflik-konflik laten dan
terbuka. Rangkaian usaha untuk menyelesaikan pertikaian di antara dua belah
pihak perlu lebih digalakkan supaya normalisasi dan harmonisasi hidup bisa
terwujud.
Sebagai sebuah proses, manajemen
konflik sebaiknya mengadakan pendekatan-pendekatan, pertemuan, dan dialog
dari hati ke hati yang menyejukkan suasana batin. Roh persaudaraan sebagai sebuah
bangsa sudah waktunya ditingkatkan terus.
Dalam manajemen ini nilai- nilai
dasar kemanusiaan, keadilan, kerukunan, dan persaudaraan dijunjung tinggi.
Aneka agenda terselubung dalam penyelesaian konflik perlu segera
disingkirkan. Peluang untuk ”memproyekkan” konflik sosial tetap diwaspadai.
Manajer utama dalam penyelesaian konflik adalah semua orang yang berkehendak
baik dan tanpa kepentingan terselubung di balik penanganan konflik sosial.
Sebuah pemetaan masalah yang benar
berdasarkan informasi yang utuh sangat penting. Penegakan keadilan secepatnya
akan segera mengakhiri sebuah konflik. Sebuah jembatan komunikasi yang
kooperatif segera dibangun untuk mewujudkan multikulturalisme konstruktif.
Bagaimanakah anak bangsa sanggup merawat kerukunan sosial di tengah arus
multikulturalisme yang koeksistensial ini?
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar