“Qua
Vadis” DPR Bersih dan Prorakyat
Tim Kompas ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
02 Januari 2014
Pengantar Redaksi:
Dalam sebuah negara demokrasi, kehadiran lembaga legislatif yang dipercaya
adalah keniscayaan. Hal itu juga yang diharapkan rakyat saat menggulirkan
reformasi. Sayangnya, setelah 15 tahun berjalan dan tiga pemilu dilewati,
yang terjadi justru sebaliknya. DPR yang seharusnya menjadi tumpuan rakyat
dalam mengawasi pemerintahan justru tidak sedikit yang bersekongkol
”merampok” uang rakyat. Kepercayaan rakyat kepada lembaga DPR pun pupus.
Pemilu 2014 ini merupakan momentum untuk memperbaikinya. Untuk itu, harian
”Kompas” menggelar diskusi terbatas bertema ”Qua Vadis DPR Bersih dan
Prorakyat”. Sebagai panelis: Wakil Ketua DPR Pramono Anung, Wakil Ketua KPK
Bambang Widjojanto, anggota Komisi I Ahmad Muzani, anggota Komisi II Nurul
Arifin, serta Direktur Eksekutif Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia
Sebastian Salang, dan sejumlah peserta aktif. Laporan hasil diskusi disajikan
di rubrik ”Indonesia Satu” halaman 25, 26, 27, dan 28, ditulis Sutta
Dharmasaputra, M Hernowo, Khaeruddin, dan Haryo Damardono.
SUATU
hari, di tahun 1998, seorang ibu tua berpakaian lusuh dan tanpa alas kaki
mendatangi posko logistik pergerakan mahasiswa di Gedung DPR. Ia menyerahkan
satu set rantang berisi makanan sederhana: nasi putih dan sayur labu. Sebagai
buruh cuci harian, ia hanya berpesan singkat, ”Ini sumbangan kecil saya untuk
anak mahasiswa. Kalau berhasil, mudah-mudahan hidup saya lebih baik.”
Itulah kenangan ketika mencoba
mengingat bagaimana awal era Reformasi bergulir. Kini, ibu itu entah masih
hidup atau sudah tiada. Yang pasti, harapan itu belum bisa dipenuhi lembaga
DPR.
Jajak pendapat Kompas sejak
tahun 2007 hingga 2010 menunjukkan, 54,7 persen hingga 65,9 persen responden
menilai kinerja DPR buruk. Jajak pendapat Kompas awal Maret 2013
juga menunjukkan, 58 persen responden menyatakan wakil rakyat saat ini lebih banyak
membela kepentingan diri sendiri dan partai masing-masing daripada
kepentingan rakyat dan bangsa.
Hasil penelitian sejumlah lembaga
survei bahkan menyimpulkan, DPR adalah lembaga yang dipersepsikan paling
korup. Indonesia Corruption Watch merilis, tercatat sudah 81 anggota DPR yang
terjerat korupsi. Sementara itu, Kementerian Dalam Negeri mencatat, jumlah
anggota DPRD provinsi yang terjerat kasus hukum sudah 431 orang dan 83,7
persen di antaranya kasus korupsi.
Kinerja DPR, diakui, kian tahun
memang kian memprihatinkan. Dari tiga periode DPR di era Reformasi, DPR
periode 1999-2004 dirasakan merupakan yang terbaik karena masih diisi banyak
aktivis yang sebelumnya banyak memperjuangkan nasib rakyat meski juga sempat
diterpa kasus dana nonbudgeter Bulog.
Motivasi anggota DPR periode-periode
berikutnya lebih bergeser lagi. DPR periode 2009-2014 bahkan dirasa yang
paling menyedihkan. Motivasi untuk menjadi anggota DPR bukan lagi karena
adanya cita-cita politik yang diperjuangkan, melainkan hanya untuk meraih
kekuasaan atau uang. Bahkan, ada yang menganggap lembaga DPR bak badan usaha
untuk mendapatkan keuntungan ekonomi semata.
Padahal, semestinya ideologi atau
cita-cita politiklah yang mendorong seorang wakil rakyat untuk duduk di DPR.
Sebab, cita-cita politiklah yang menyatukan rakyat dan wakil rakyat. Pada
saat rakyat tidak mempunyai keyakinan terhadap suatu partai politik,
sebetulnya rakyat itu hanyalah segerombolan orang yang memuja anarkisme.
Begitu juga wakil rakyat tanpa ideologi hanyalah segerombolan orang yang
mencari nafkah dengan berlindung di bawah jargon demokrasi.
Kekuasaan tanpa kontrol
DPR yang semakin berkuasa di
pasca-Reformasi juga mendorong orang-orang tertentu untuk masuk ke lembaga
DPR. Sekarang ini tidak ada satu pun jabatan politik yang tidak melibatkan
DPR dalam proses seleksinya. Mulai dari pemilihan pemimpin Komisi Pemilihan
Umum, Komisi Pemberantasan Korupsi, Panglima TNI, Kepala Kepolisian RI,
hingga Deputi dan Gubernur Bank Indonesia, semuanya melibatkan campur tangan
partai politik melalui wakilnya di DPR. Studi KPK pun memperlihatkan,
sebagian undang-undang justru terus memperluas kewenangan DPR.
Namun, kekuasaan yang sangat besar
ini tidak diimbangi dengan mekanisme kontrol yang juga besar. Tidak ada
aturan yang mengatur secara tegas soal konflik kepentingan. Akhirnya, kondisi
ini mendorong terjadinya penyalahgunaan kewenangan. Seperti halnya teori
korupsi, kewenangan yang meningkat dan meluas tanpa disertai mekanisme
kontrol akhirnya mendorong terjadinya korupsi.
Di Komisi III DPR yang membidangi
masalah hukum, misalnya, sejumlah anggotanya ada yang berprofesi sebagai
penasihat hukum atau memiliki asosiasi terkait. Akhirnya, dalam rapat kerja
lebih banyak menanyakan kasus-kasus yang ditanganinya ketimbang mengawasi
kebijakan pemerintah dalam penegakan hukum.
Komisi energi pun dipenuhi
orang-orang yang memiliki kepentingan pribadi karena punya saham di
perusahaan energi. Tak heran, ketika pemerintah memberi tahu DPR soal rencana
kenaikan tarif gas, ada yang berkeras menyatakan ketidaksetujuannya. Akan tetapi,
motifnya hanya untuk mengulur waktu semata. Setelah berhasil membeli
perusahaan-perusahaan gas yang hampir sekarat atau menikmati keuntungan dari
kenaikan harga gas, langsung berbalik menyetujui rencana pemerintah.
Pemilihan Gubernur atau Deputi Bank
Indonesia pun ternyata memiliki agenda tersembunyi yang terkait dengan
transaksi valuta asing. Tujuannya adalah mendapatkan akses informasi lebih
awal agar bisa mencari keuntungan dari selisih nilai tukar mata uang. Hal ini
sudah terlacak otoritas Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.
Kondisi itu pula yang terjadi saat
DPR bersama pemerintah membahas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN). Begitu DPR periode 2004-2009 memasukkan kewenangannya untuk membahas
APBN sampai satuan 3 (mata anggaran proyek), peluang penyalahgunaan pun
terjadi di lembaga legislatif, selain di eksekutif.
Pada satu sisi, pengawasan APBN
oleh DPR ini sangat penting. Sebab, sampai saat ini kewenangan Kementerian
Keuangan dirasa sangat besar dan tidak bisa disentuh. Kementerian Keuangan,
misalnya, bisa mencegah atau menyetujui pelepasan anggaran dalam jumlah besar
hingga ratusan miliar rupiah untuk suatu kementerian tertentu dalam waktu
sangat singkat. DPR pun hampir tidak pernah diberi tahu anggaran sebenarnya
yang diajukan oleh kementerian teknis. Kalaupun ada, waktunya sangat pendek
sehingga pembahasan keuangan atau APBN di DPR selalu terbentur waktu.
Belum lagi memantau akuntabilitas
penggunaan uang negara oleh ratusan badan usaha milik negara (BUMN). Ada
sekitar Rp 650 triliun lebih modal negara yang digunakan untuk BUMN. Akan
tetapi, hanya ada 12 dari 148 BUMN yang mampu memberikan dividen kepada
negara, yaitu di sektor perbankan atau tambang. Artinya, masih ada segudang
problem dalam pengelolaan keuangan negara.
Pada sisi lain, DPR juga tidak
dilengkapi alat kelengkapan pendukung untuk mengawasi penggunaan anggaran
sampai detail. Akhirnya, setiap anggota DPR hanya memperhatikan anggaran yang
terkait dengan proyek-proyek untuk kepentingan sendiri di daerah pemilihanl,
bukan mendorong lembaga-lembaga negara untuk menggunakan anggaran secara
efisien dan efektif. Konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan pun
lagi-lagi tak terhindarkan.
Pada akhirnya, APBN yang besarnya
mencapai lebih dari Rp 1.800 triliun tidak maksimal digunakan untuk
menyejahterakan rakyat. Harapan sang ibu tua kepada DPR agar segera mengubah
nasibnya menjadi lebih baik tampaknya masih menjadi harapan semata. DPR yang
dipilih rakyat dan diberi mandat oleh rakyat melalui partai politiknya untuk mewujudkan
cita-cita bersama ternyata lebih banyak memperjuangkan cita-cita dirinya
semata.
Ke manakah perginya DPR bersih dan
prorakyat…? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar