Minggu, 05 Januari 2014

Biaya Politik yang Menjebak

                                     Biaya Politik yang Menjebak

Tim Kompas  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  02 Januari 2014
                                                                                                                        


BIAYA politik tinggi dianggap menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan menurunnya kualitas lembaga DPR. Hal tersebut membuat mereka tidak lagi berjuang untuk rakyat, tetapi hanya berkantor di Senayan untuk mengeruk uang negara guna mengembalikan miliaran rupiah yang telah dikeluarkan untuk berkampanye. Rekor tertinggi, konon, ada yang menyentuh angka Rp 22 miliar.

Biaya politik yang luar biasa jorjoran. Bayangkan, dengan modal dana Rp 22 miliar itu, setidaknya bisa menjalankan 44 unit usaha minimarket. Uang sebesar itu juga bisa digunakan untuk membeli kebun kelapa sawit di Kalimantan hingga 2.200 hektar.
Setelah ada keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah sistem pemilihan umum legislatif dari proporsional tertutup menjadi proporsional terbuka, persaingan antarcalon anggota legislatif (caleg) memang menjadi sangat keras. Para caleg tidak hanya bertarung dengan caleg dari lain partai, tetapi juga bertarung dengan caleg separtai. Ini yang membuat para caleg pun akhirnya jorjoran mengeluarkan biaya politik untuk meraih kemenangan.

Seorang aktivis pun ada yang sampai mengeluarkan uang Rp 500 juta hingga Rp 1,2 miliar, sedangkan yang berasal dari birokrat, TNI/Polri, dalam kisaran Rp 1 miliar hingga Rp 1,5 miliar. Sementara kalangan pengusaha umumnya menghabiskan Rp 1,5 miliar hingga Rp 6 miliar.

Biaya politik pada Pemilu 2014 bahkan bisa lebih tinggi lagi. Banyak anggota DPR yang kembali maju sebagai calon anggota legislatif pun mengeluhkan besarnya biaya politik ini. Menurut mereka, biaya itu sudah hampir tidak masuk akal. Dari Juni sampai November 2013 saja sudah ada yang habis Rp 800 juta. Itu sudah 75 persen biaya kampanye pada tahun 2009 yang sekitar Rp 1,25 miliar. Banyak malah yang sudah habis lebih besar lagi, Rp 1 miliar lebih.

Saat ini, ”tarif” kampanye memang telah banyak berubah. Di Jawa Tengah saja, untuk membuat dan memasang sebuah baliho dibutuhkan setidaknya Rp 1 juta. Padahal, pada tahun 2009 hanya sekitar Rp 600.000. Pada tahun 2009, caleg yang memanfaatkan kaca belakang angkutan kota untuk kampanye cukup memberi pemilik angkutan kota Rp 300.000 tiap kendaraan untuk tiga bulan pemasangan. Namun, sekarang tarifnya sudah menjadi Rp 500.000. Terakhir, bahkan ada caleg yang sudah bersedia membayar Rp 800.000 tiap angkutan kota untuk tiga bulan.

Biaya mengumpulkan kader partai juga mahal. Satu kali pertemuan dengan 400 orang dibutuhkan sekitar Rp 30 juta. Selain untuk menyewa tempat dan konsumsi, uang itu juga untuk bekal transportasi peserta pertemuan.

Biaya itu belum termasuk uang untuk ongkos saksi di hari pencoblosan dan mengawal suara hingga ke Komisi Pemilihan Umum. Untuk mengamankan suara di hari-H, ada yang menawarkan Rp 200 juta untuk tiap kecamatan. Padahal, satu daerah pemilihan ada yang mencakup lebih dari 50 kecamatan, artinya Rp 10 miliar tidak akan cukup.

Pragmatisme juga seakan sudah menjadi keseharian. Pada saat pemilihan kepala desa Oktober lalu, untuk biaya transportasi datang dan pulang saja sudah Rp 100.000, belum uang saku Rp 50.000 sehingga total sudah Rp 150.000.

Kondisi ini pula yang akhirnya mendorong partai hanya merekrut orang-orang berduit sebagai caleg karena bisa membiayai partai, bukan orang-orang yang dipilih karena keahliannya dan kontribusinya bagi partai. Akibatnya, orang-orang ini pun akan mengambil banyak juga dari partai atau saat menduduki posisi-posisi strategis dalam jabatan pemerintahan ataupun DPR. Yang terjadi adalah sangat transaksional. Ada pola money, power, more money, more power.

Kondisi ini sangat mengerikan bagi bangsa karena jabatan publik akhirnya diisi orang-orang yang kompetensinya diragukan, apalagi integritasnya. Bangsa ini pun hanya menjadi korporasi semata.

Memang masih ada caleg yang berusaha idealis, tidak terpancing menggunakan politik uang. Mereka mengandalkan kedekatan hubungan serta program-program. Namun, cerita semacam ini semakin jarang terdengar.

Perubahan sistem pemilu

Keluhan tentang makin mahalnya biaya politik sebenarnya sudah muncul sejak Pemilu 2009. Persisnya, ketika sistem proporsional terbuka yang mensyaratkan keterpilihan dengan suara terbanyak mulai diterapkan.

Di satu sisi, sistem suara terbanyak, yang merupakan antitesis dari sistem nomor urut, menjadi satu cara mengatasi oligarki partai. Seorang politisi dituntut turun ke bawah menyapa konstituennya jika ingin terpilih. Ruang untuk ”kader jenggot”, yaitu politisi yang menempel pada elite partai dan mengabaikan rakyat, jadi semakin sempit.

Namun, sistem suara terbanyak juga membuat biaya politik semakin mahal. Persaingan tidak hanya antarpartai, tetapi juga di antara kader dalam satu partai. Kaderisasi di partai juga terancam karena popularitas dan modal lebih penting untuk memenangi pertarungan dibandingkan kompetensi.

Sayangnya, meski sudah disadari dan dirasakan pada Pemilu 2009, tidak ada upaya serius di DPR dan pemerintah untuk mengatasi dampak negatif dari pemilihan dengan suara terbanyak. Saat membahas Perubahan Undang-Undang Pemilu pada 2011 dan 2012, waktu lebih dihabiskan untuk membahas ambang batas parlemen, cara penghitungan suara, hingga syarat partai mengikuti pemilu.

Usulan tentang pemilu dengan menggabungkan sistem nomor urut dan suara terbanyak yang telah dipakai di beberapa negara Eropa dan Korea Selatan untuk mencari sisi baik dari kedua sistem itu tidak disambut mayoritas fraksi.

Wacana pembatasan biaya kampanye juga hanya jadi isu pinggiran yang akhirnya dilupakan. Usaha untuk memperkuat transparansi penggunaan dana kampanye dan mendesain sanksi yang berat dan menjerakan bagi pelaku politik uang juga tidak serius dilakukan.

Bahkan, saat Komisi Pemilihan Umum mengeluarkan Peraturan Nomor 15 Tahun 2013, sejumlah caleg sempat menyampaikan keberatan karena dinilai mengganggu sosialisasi. Padahal, aturan yang mulai berlaku 27 September 2013 itu untuk menekan biaya kampanye. Lewat aturan itu, baliho atau papan reklame hanya untuk partai dan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah. Sementara calon anggota DPR dan DPRD hanya diperbolehkan memasang spanduk berukuran 1,5 meter x 7 meter. 
Setiap kandidat hanya dapat memasang satu spanduk untuk setiap zona.

Jangan-jangan, mayoritas dari 90 persen anggota DPR yang kini maju lagi di Pemilu 2014 memang menikmati biaya politik yang bukan main mahal ini karena sistem itu lebih memudahkan mereka untuk mempertahankan kekuasaan. Sebab, bukankah dengan pernah duduk di DPR bekal ”logistik” menjadi lebih memadai?

Dengan melihat sinyalemen itu dan kinerja DPR 2009-2014, wajar jika muncul pesimisme terhadap hasil Pemilu Legislatif 2014. Wajah DPR periode mendatang diperkirakan tidak banyak berubah.

Namun, harapan tetap perlu diusung. Pasalnya, masih ada caleg yang mencoba tetap bertahan pada keyakinan dan idealismenya. Meski mungkin tak banyak, mereka layak dipilih dalam pemilu mendatang. Sebagian rakyat juga semakin cerdas dalam pemilih wakilnya.

Para caleg ini pun tidak perlu terlalu percaya pada tawaran-tawaran lembaga-lembaga konsultan politik. Misalnya, ada yang menawarkan jasa Rp 1,5 miliar untuk menggalang 150.000 suara. Tawaran-tawaran ini sungguh tak masuk akal dan menipu.

Sejarah menunjukkan, lokomotif perubahan sering kali memang hanya diawaki oleh sebagian kecil orang. Di sebagian kecil orang ini, harapan layak diberikan. Jadi, caleg idealis tidak perlu pesimistis. Para pemilih pasti tahu memilih orang yang tepat. Jangan putus asa....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar