Biaya
Politik yang Menjebak
Tim Kompas ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
02 Januari 2014
BIAYA politik tinggi dianggap menjadi salah satu faktor utama yang
menyebabkan menurunnya kualitas lembaga DPR. Hal tersebut membuat mereka
tidak lagi berjuang untuk rakyat, tetapi hanya berkantor di Senayan untuk
mengeruk uang negara guna mengembalikan miliaran rupiah yang telah
dikeluarkan untuk berkampanye. Rekor tertinggi, konon, ada yang menyentuh
angka Rp 22 miliar.
Biaya politik yang
luar biasa jorjoran. Bayangkan, dengan modal dana Rp 22 miliar itu,
setidaknya bisa menjalankan 44 unit usaha minimarket. Uang sebesar itu juga
bisa digunakan untuk membeli kebun kelapa sawit di Kalimantan hingga 2.200
hektar.
Setelah ada keputusan
Mahkamah Konstitusi yang mengubah sistem pemilihan umum legislatif dari
proporsional tertutup menjadi proporsional terbuka, persaingan antarcalon
anggota legislatif (caleg) memang menjadi sangat keras. Para caleg tidak
hanya bertarung dengan caleg dari lain partai, tetapi juga bertarung dengan
caleg separtai. Ini yang membuat para caleg pun akhirnya jorjoran
mengeluarkan biaya politik untuk meraih kemenangan.
Seorang aktivis pun
ada yang sampai mengeluarkan uang Rp 500 juta hingga Rp 1,2 miliar, sedangkan
yang berasal dari birokrat, TNI/Polri, dalam kisaran Rp 1 miliar hingga Rp
1,5 miliar. Sementara kalangan pengusaha umumnya menghabiskan Rp 1,5 miliar
hingga Rp 6 miliar.
Biaya politik pada
Pemilu 2014 bahkan bisa lebih tinggi lagi. Banyak anggota DPR yang kembali
maju sebagai calon anggota legislatif pun mengeluhkan besarnya biaya politik
ini. Menurut mereka, biaya itu sudah hampir tidak masuk akal. Dari Juni
sampai November 2013 saja sudah ada yang habis Rp 800 juta. Itu sudah 75
persen biaya kampanye pada tahun 2009 yang sekitar Rp 1,25 miliar. Banyak
malah yang sudah habis lebih besar lagi, Rp 1 miliar lebih.
Saat ini, ”tarif”
kampanye memang telah banyak berubah. Di Jawa Tengah saja, untuk membuat dan
memasang sebuah baliho dibutuhkan setidaknya Rp 1 juta. Padahal, pada tahun
2009 hanya sekitar Rp 600.000. Pada tahun 2009, caleg yang memanfaatkan kaca
belakang angkutan kota untuk kampanye cukup memberi pemilik angkutan kota Rp
300.000 tiap kendaraan untuk tiga bulan pemasangan. Namun, sekarang tarifnya
sudah menjadi Rp 500.000. Terakhir, bahkan ada caleg yang sudah bersedia
membayar Rp 800.000 tiap angkutan kota untuk tiga bulan.
Biaya mengumpulkan
kader partai juga mahal. Satu kali pertemuan dengan 400 orang dibutuhkan
sekitar Rp 30 juta. Selain untuk menyewa tempat dan konsumsi, uang itu juga
untuk bekal transportasi peserta pertemuan.
Biaya itu belum
termasuk uang untuk ongkos saksi di hari pencoblosan dan mengawal suara
hingga ke Komisi Pemilihan Umum. Untuk mengamankan suara di hari-H, ada yang
menawarkan Rp 200 juta untuk tiap kecamatan. Padahal, satu daerah pemilihan
ada yang mencakup lebih dari 50 kecamatan, artinya Rp 10 miliar tidak akan
cukup.
Pragmatisme juga
seakan sudah menjadi keseharian. Pada saat pemilihan kepala desa Oktober
lalu, untuk biaya transportasi datang dan pulang saja sudah Rp 100.000, belum
uang saku Rp 50.000 sehingga total sudah Rp 150.000.
Kondisi ini pula yang
akhirnya mendorong partai hanya merekrut orang-orang berduit sebagai caleg karena
bisa membiayai partai, bukan orang-orang yang dipilih karena keahliannya dan
kontribusinya bagi partai. Akibatnya, orang-orang ini pun akan mengambil
banyak juga dari partai atau saat menduduki posisi-posisi strategis dalam
jabatan pemerintahan ataupun DPR. Yang terjadi adalah sangat transaksional.
Ada pola money, power, more money, more power.
Kondisi ini sangat
mengerikan bagi bangsa karena jabatan publik akhirnya diisi orang-orang yang
kompetensinya diragukan, apalagi integritasnya. Bangsa ini pun hanya menjadi
korporasi semata.
Memang masih ada caleg
yang berusaha idealis, tidak terpancing menggunakan politik uang. Mereka
mengandalkan kedekatan hubungan serta program-program. Namun, cerita semacam
ini semakin jarang terdengar.
Perubahan sistem pemilu
Keluhan tentang makin
mahalnya biaya politik sebenarnya sudah muncul sejak Pemilu 2009. Persisnya,
ketika sistem proporsional terbuka yang mensyaratkan keterpilihan dengan
suara terbanyak mulai diterapkan.
Di satu sisi, sistem
suara terbanyak, yang merupakan antitesis dari sistem nomor urut, menjadi
satu cara mengatasi oligarki partai. Seorang politisi dituntut turun ke bawah
menyapa konstituennya jika ingin terpilih. Ruang untuk ”kader jenggot”, yaitu
politisi yang menempel pada elite partai dan mengabaikan rakyat, jadi semakin
sempit.
Namun, sistem suara
terbanyak juga membuat biaya politik semakin mahal. Persaingan tidak hanya
antarpartai, tetapi juga di antara kader dalam satu partai. Kaderisasi di
partai juga terancam karena popularitas dan modal lebih penting untuk
memenangi pertarungan dibandingkan kompetensi.
Sayangnya, meski sudah
disadari dan dirasakan pada Pemilu 2009, tidak ada upaya serius di DPR dan
pemerintah untuk mengatasi dampak negatif dari pemilihan dengan suara
terbanyak. Saat membahas Perubahan Undang-Undang Pemilu pada 2011 dan 2012,
waktu lebih dihabiskan untuk membahas ambang batas parlemen, cara
penghitungan suara, hingga syarat partai mengikuti pemilu.
Usulan tentang pemilu
dengan menggabungkan sistem nomor urut dan suara terbanyak yang telah dipakai
di beberapa negara Eropa dan Korea Selatan untuk mencari sisi baik dari kedua
sistem itu tidak disambut mayoritas fraksi.
Wacana pembatasan
biaya kampanye juga hanya jadi isu pinggiran yang akhirnya dilupakan. Usaha
untuk memperkuat transparansi penggunaan dana kampanye dan mendesain sanksi
yang berat dan menjerakan bagi pelaku politik uang juga tidak serius
dilakukan.
Bahkan, saat Komisi
Pemilihan Umum mengeluarkan Peraturan Nomor 15 Tahun 2013, sejumlah caleg
sempat menyampaikan keberatan karena dinilai mengganggu sosialisasi. Padahal,
aturan yang mulai berlaku 27 September 2013 itu untuk menekan biaya kampanye.
Lewat aturan itu, baliho atau papan reklame hanya untuk partai dan calon
anggota Dewan Perwakilan Daerah. Sementara calon anggota DPR dan DPRD hanya
diperbolehkan memasang spanduk berukuran 1,5 meter x 7 meter.
Setiap kandidat
hanya dapat memasang satu spanduk untuk setiap zona.
Jangan-jangan,
mayoritas dari 90 persen anggota DPR yang kini maju lagi di Pemilu 2014
memang menikmati biaya politik yang bukan main mahal ini karena sistem itu
lebih memudahkan mereka untuk mempertahankan kekuasaan. Sebab, bukankah
dengan pernah duduk di DPR bekal ”logistik” menjadi lebih memadai?
Dengan melihat
sinyalemen itu dan kinerja DPR 2009-2014, wajar jika muncul pesimisme
terhadap hasil Pemilu Legislatif 2014. Wajah DPR periode mendatang
diperkirakan tidak banyak berubah.
Namun, harapan tetap
perlu diusung. Pasalnya, masih ada caleg yang mencoba tetap bertahan pada
keyakinan dan idealismenya. Meski mungkin tak banyak, mereka layak dipilih
dalam pemilu mendatang. Sebagian rakyat juga semakin cerdas dalam pemilih
wakilnya.
Para caleg ini pun
tidak perlu terlalu percaya pada tawaran-tawaran lembaga-lembaga konsultan
politik. Misalnya, ada yang menawarkan jasa Rp 1,5 miliar untuk menggalang
150.000 suara. Tawaran-tawaran ini sungguh tak masuk akal dan menipu.
Sejarah menunjukkan,
lokomotif perubahan sering kali memang hanya diawaki oleh sebagian kecil
orang. Di sebagian kecil orang ini, harapan layak diberikan. Jadi, caleg
idealis tidak perlu pesimistis. Para pemilih pasti tahu memilih orang yang
tepat. Jangan putus asa.... ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar