Psikologi Naratif
Kristi Poerwandari ;
Kolumnis “Konsultasi Psikologi”
Kompas
|
KOMPAS,
26 Januari 2014
Bandingkan simpulan dua cerita diri ini: ”Sejak kecil saya
terus menghadapi masalah dan sampai sekarang saya terus jadi korban”. Atau
dengan, ”Saya mengalami banyak kesulitan dan belajar berjuang mencontoh
perjuangan orangtua saya. Yang menentukan nasib kita adalah diri kita
sendiri”.
Sepanjang waktu, manusia memaknai
hidupnya dengan mengembangkan cerita atau narasi diri. McAdams (2008)
mengatakan bahwa kita mengembangkan identitas naratif, yakni cerita mengenai
diri yang terinternalisasi (memantap, kita yakini) dan terintegrasi.
Sebenarnya, cerita yang kita
bangun bicara mengenai perjuangan kita mengintegrasikan pemahaman mengenai
diri sendiri di masa lalu, sekarang, dan yang kita bayangkan atau harapkan di
masa datang. Narasi diri tidak muncul dari awang-awang, melainkan bertumbuh
dalam konteks sosial yang melingkupi kita.
Apa tema utama cerita diri Anda?
Apabila dipadatkan sepadat mungkin, setiap orang bisa punya tema berbeda
sebagai akibat pemaknaan akan perjalanan hidup. Ada yang bertema ”aku marah
karena aku korban”, ”aku tak berdaya”, ”aku harus bekerja keras”, ”ayahku
adalah sahabatku”, ”aku harus berkuasa agar dihargai”, ”saya tidak percaya
orang lain”, ”saya cantik”, ”saya menghindari konflik”, dan lain sebagainya.
McAdams dan teman-temannya melihat
cerita diri sebagai proyek otobiografi, berfungsi membantu kita memahami
kehidupan dan peristiwa-peristiwa di dalamnya (mengapa aku jarang belajar kok
terus jadi juara kelas, mengapa ayahku memaki dan memukulku, mengapa saya
lahir di keluarga ini, mengapa aku berbadan pendek gemuk). Bagaimana
pemahaman utuh dibangun? Dengan mengorganisasi berbagai peristiwa dan peran
berbeda, sekaligus mengembangkan penjelasan mengenai keseluruhannya menuju
suatu pemaknaan utuh.
Apakah manusia seratus persen sama
dengan pengalaman hidupnya? Tentu tidak. Manusia lahir membawa disposisi pribadi
juga. Ada orang yang lahir dengan inteligensi sangat tinggi, yang lain
dititipi kerentanan fisik tertentu, satunya lagi baik hati tetapi
bertemperamen cepat marah.
Jadi, menggabungkan teori narasi
personal dengan teori-teori psikologi arus utama, McAdams dan Pals (2006)
menyimpulkan bahwa kepribadian itu adalah keunikan individu dalam proses
perkembangannya, yang tertampilkan dalam pola yang terus berkembang dari
gabungan (a) sifat-sifat bawaan; (b) budaya dan konteks sosial; (c)
karakteristik pola adaptasi; serta (d) cerita diri yang dibangun.
Orang yang berbeda dapat
mengembangkan pemaknaan atau cerita berbeda mengenai peristiwa yang sama.
Misal, sama-sama lahir dalam keluarga sangat miskin, si abang jadi preman dan
mengembangkan tema ”aku harus menggunakan kekerasan”. Si adik yang penurut
dan tidak berani banyak bermimpi mengambil tema ”ya, sudah terima nasib,
moga-moga ada yang bersikap baik kepada saya”, dan memilih bekerja di bagian
layanan kebersihan.
Berubah ke arah lebih baik
Di antara beberapa prinsip teori
narasi personal, ada dua prinsip yang ingin saya sampaikan secara lebih
khusus, yaitu bahwa cerita itu (bisa) berubah sepanjang waktu dan bahwa ada
cerita-cerita yang lebih baik daripada cerita yang lain.
Cerita dapat berubah karena
sejalan dengan waktu, kita lupa bagian-bagian tertentu dari pengalaman kita,
atau mengembangkan penghayatan berbeda terhadap peristiwa yang sama.
Misalnya, di hari-H saat saya mengalami banjir bandang, ada ingatan dan
penghayatan yang sangat jelas dan intens. Setahun setelah itu, penghayatannya
berbeda.
Sepanjang waktu, pengalaman kita
berubah atau bertambah. Mungkin itu juga mengubah pemaknaan akan hidup di
masa lalu. Hari baru menyediakan peristiwa baru yang mungkin kita hayati jauh
lebih penting, yang akan mengubah persepsi akan hidup. Misal, Ani pada masa
kanak-kanak merasa sangat tidak berdaya karena sikap ibunya. Di masa kini
setelah dewasa, Ani masih ingat pukulan dan makian ibunya, tetapi sekarang ia
dapat melihat ibunya sebagai teman. Ini terjadi karena sepanjang hidupnya Ani
berhadapan dengan banyak peristiwa lain selain sikap ibunya yang buruk,
bertemu dengan orang-orang lain selain ibunya, yang memberikan refleksi
berbeda tentang hidupnya.
Ada cerita yang lebih buruk, ada
cerita yang lebih baik. Menarik bahwa para tokoh psikologi humanistik,
berbeda dengan aliran arus utama di psikologi yang melihat teori harus
”netral”, melihat teori psikologi tidak dapat dilepaskan dari etika. McAdams
mengatakan bahwa cerita hidup selalu membawa perspektif moral tertentu,
mengingat manusia, berbeda dengan makhluk hidup lain, membawa
intensionalitas, atau keberarahan diri.
Cerita dapat dinilai ”baik” atau
”buruk” dari sisi norma-norma atau keyakinan umum masyarakat di mana individu
tinggal. Misal ”kerja kok cuma di lembaga seperti itu”, ”mantan napi ya akan
selamanya kriminal”. Penilaian normatif demikian tidak membantu, malah dapat
membangun cerita masa depan yang lebih buruk lagi.
Dari perspektif psikologi
konseling, cerita yang baik adalah cerita yang memberikan penguatan, cerita
yang meningkatkan kualitas hidup, cerita yang meningkatkan kesehatan mental
individu. Jadi, psikolog dapat menggunakan pendekatan naratif untuk membantu
klien mentransformasi cerita diri yang kacau dan melemahkan semangat, menjadi
cerita diri baru yang lebih positif.
Peristiwa-peristiwa yang sama
dapat dimaknai berbeda untuk memfasilitasi pertumbuhan dan keterarahan menuju
hal-hal yang lebih positif. Demikian pulalah kita dapat dan perlu
mengusahakannya, terkait cerita diri sendiri, maupun narasi besar bangsa
kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar