Memercayai
Samuel Mulia ; Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi”
di Kompas
|
KOMPAS,
26 Januari 2014
Kalau di hari Minggu ini Anda
punya sedikit waktu luang, cobalah menjawab pertanyaan berikut ini. Seberapa
dalamkah kepercayaan yang Anda berikan selama ini kepada teman, sahabat,
pasangan, anak, dan diri Anda sendiri?
Pertanyaan
Sebegitu dalamnyakah kepercayaan
yang Anda berikan, sehingga Anda percaya bahwa teman dekat yang makan dengan
Anda dalam satu meja bahkan dalam satu piring tak akan mengkhianati Anda? Tak
akan melakukan perselingkuhan dengan pasangan yang Anda cintai?
Sekali waktu, saya dinasihati oleh
seorang ibu untuk tidak sekali-kali memperkenalkan sahabat atau teman dekat
dengan pasangan saya. Ia bahkan menambahkan, untuk tidak bercerita soal
masalah rumah tangga kepada mereka yang dikategorikan teman dekat dan atau
sahabat.
Sebegitu dalamnyakah kepercayaan
yang Anda berikan kepada rekan bisnis Anda, sehingga tak Anda sadari bahwa
mereka sedang mengatur strategi untuk menyingkirkan Anda dari usaha yang
sedang dirintis?
Bahkan mungkin saja mereka saling
menjatuhkan dengan bercerita kejelekan masing-masing kepada Anda, yang
membuat Anda menjadi bingung karenanya, dan kemudian berpikir: ”Jangan-jangan
mereka berdua, juga sering menjelekkan saya tanpa saya ketahui.”
Dan, ketakutan itu yang membuat
Anda kemudian memutuskan untuk mengundurkan diri dari menjadi rekan dalam
usaha itu. Sehingga mereka bisa dengan lega melepas Anda, tanpa -mereka
dipersalahkan, tanpa mereka harus menyandang predikat bad
boys, karena inisiatif pengunduran diri itu datang dari mulut Anda.
Sebegitu dalamnyakah kepercayaan
yang Anda berikan kepada anak-anak Anda, sehingga Anda percaya bahwa mereka
adalah pelajar atau mahasiswa yang budiman, dan bukan pengedar narkoba di
sekolah, bukan seorang tukang bully, bukan seorang pelacur, bukan
sedang berselingkuh dengan suami atau istri teman Anda?
Dalam kasus ini, saya jadi
teringat seorang bapak yang bertanya kepada saya, bagaimana cara menjaga agar
anak-anak kita selalu dalam jalur yang benar, supaya mereka tak tergoda untuk
melakukan hal-hal yang tak seharusnya mereka lakukan.
Saya tak bisa memberi nasihat
karena saya tak punya anak. Tetapi saya tetap berusaha dengan jawaban sok
bijak seperti biasanya. ”Sulit sih Pak. Bapak harus berani memberi
kepercayaan kepada mereka, karena sangat mustahil untuk memonitor atau
menemani mereka dua puluh empat jam, bukan?”
Saya yakin Anda sendiri tahu, kalau
memberi nasihat itu lebih mudah dari membalikkan tangan, bukan? Berbeda
sekali kalau kemudian harus menjalani nasihat itu.
Jawaban
Pertanyaan berikutnya. Sebegitu
dalamnyakah kepercayaan yang Anda berikan kepada pasangan Anda, sehingga
ketika ia menjadi koruptor dan berselingkuh saja, Anda tak tahu. Dan, Anda
percaya bahwa Anda adalah satu-satunya manusia yang dicintainya dan apa yang
Anda kenakan di tubuh dan rumah yang Anda tinggali adalah bukan barang haram.
Saya jadi teringat akan cerita
seorang teman wanita. Ia mendatangi beberapa cenayang untuk menceritakan
perjalanan perselingkuhannya. Dari beberapa cenayang yang berbeda itu, mereka
memberi nasihat yang sama, kalau laki-laki yang berselingkuh dengannya, juga
berselingkuh di tempat lain.
Teman saya tak memercayai
pernyataan itu. Ia malah mengatakan kalau hal itu tak mungkin terjadi, karena
laki-laki itu selalu ada bersamanya. Kata selalu menurut teman saya itu
adalah, bahwa laki-laki itu selalu mengantar ia ke kantor, dan menjemput ia
di kantor.
Selalu pulang ke kediamannya dan
makan malam bersamanya. Tetapi teman saya lupa, bagaimana ia bisa tahu kalau
habis mengantarnya ke kantor, laki-laki itu menjemput selingkuhan lainnya dan
juga mengantarnya ke kantor, macam antar jemput anak sekolah?
Pertanyaan terakhir untuk Anda di
hari libur ini. Sebegitu dalamnyakah kepercayaan yang Anda berikan kepada
diri Anda sendiri, sehingga saking besarnya semua contoh kejadian di atas tak
Anda sadari sudah dan sedang terjadi, dan Anda merasa semua dalam keadaan
baik-baik saja?
Sejujurnya, saya juga sedang dalam
kondisi menanyakan diri sendiri dengan pertanyaan yang sama. Di masa muda
dulu, saya percaya saja. Bahkan sudah terjadi beberapa kali saya dikhianati,
saya tetap percaya. Saya bahkan mudah sekali memberi kepala saya untuk
dipancung, dan tak pernah kapok karenanya.
Sekarang, di masa menjelang menua,
saya curiga saja pembawaannya. Saya itu tak pernah percaya bahwa orang yang
saya cintai, mencintai saya. Dulu saya tak perlu bukti, sekarang saya perlu
bukti.
Beberapa hari lalu saya dinasihati
seorang sahabat. Begini nasihatnya. ”Mas
harus bisa melepaskan keakuan. Artinya, masuk dalam rencana Tuhan dan bukan
Tuhan yang masuk dalam rencana Mas. Nanti, Mas akan bisa melihat dengan
bijak, sehingga Mas tak perlu bukti untuk bisa memercayai.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar