Zaman “Omdo”
Reza AA Wattimena ; Dosen Filsafat Politik di Fakultas Filsafat Universitas
Katolik Widya Mandala Surabaya; Sedang di München, Jerman
|
KOMPAS,
25 Januari 2014
"OMDO" itu bahasa sehari-hari orang
Jakarta. Kepanjangan dari omong doang, yang berarti orang hanya bicara tetapi
tidak ada kerjanya. Suka mengumbar janji, tetapi tidak pernah ditepati.
Ketika ”omdo” menjadi kebiasaan, maka berbagai kesepakatan politik pun goyah.
Politik adalah seni untuk
mewujudkan berbagai kemungkinan. Namun, kemungkinan akan menjadi kenyataan
hanya jika orang bisa duduk bersama, membuat kesepakatan untuk menyelesaikan
masalah, lalu mulai bekerja sama. Maka ”omdo” menjadi musuh utama.
Di dalam politik, kita banyak
sekali menemukan orang ”omdo” yang suka mengumbar janji-janji palsu. Oleh
karena itu, dalam Pemilu 2014 kita harus mewaspadai para politisi macam ini.
Hukum juga adalah hasil
kesepakatan. Hukum dibuat supaya orang mematuhinya. Hukum menjadi kumpulan
kata-kata tanpa makna ketika orang begitu mudah melanggar hukum, walaupun
sudah janji menepatinya.
Di Indonesia, ketika Ketua
Mahkamah Konstitusi yang seharusnya menjaga hukum terlibat korupsi, kita bisa
mengatakan, hukum kita di Indonesia pun terkena penyakit ”omdo” ini.
Bentuk lain dari kesepakatan
adalah kebijakan politik. Pemerintah daerah sampai pusat sepakat mengentaskan
rakyat dari kemiskinan dan kebodohan di Indonesia.
Namun, sampai sekarang janji itu
tidak ditepati dan justru pemerintah memiskinkan rakyatnya. Inilah pemerintah
yang ”omdo”.
Ironisnya, pendidikan kita pun
pendidikan ”omdo”. Guru mengajarkan nilai-nilai moral di kelas, tetapi
sekaligus mengajarkan menyontek kepada anak didiknya ketika ujian nasional
tiba.
Guru mengutip kata-kata bijak dari
agama, tetapi kemudian memukul peserta didiknya. Ketika pendidikan terkena
penyakit ”omdo”, maka lahirlah generasi ”omdo” yang janji dan kata tidaklah
berarti. Mereka dengan mudah bilang ”iya” kemudian begitu mudah melupakannya.
Sumber ”omdo”
Ada banyak penyebab mengapa orang
bisa terkena penyakit ”omdo”. Salah satunya adalah yang disebut para filsuf
moral sebagai kelemahan kehendak (willensschwach). Artinya, orang tahu bahwa
ia mesti menepati janji.
Namun, karena kehendaknya lemah,
mungkin karena prinsip hidup kurang kuat dan kurangnya teladan moral di
sekitarnya, ia tidak menepati janjinya.
Penyebab lain adalah kehendak
jahat yang memang ingin menipu sejak awal. Manusia adalah makhluk yang
ambivalen. Di satu sisi, ia bisa berbuat begitu baik dan mulia layaknya
malaikat.
Di sisi lain, ia bisa menjadi
begitu kejam dan ganas, baik dalam pikiran maupun dalam tindakan. Kehendak
menipu salah satunya terwujud dalam ”omdo”.
Orang bisa terkena gejala ”omdo”
karena tidak menganggap penting kata-kata dan janji.
Ia melihat lawan bicaranya lebih
rendah, merasa lebih terhormat, sehingga tidak menganggap penting janji dan
kata-katanya kepada seseorang atau sekumpulan orang. Inilah salah satu bentuk
rasisme dan kesombongan terpendam, yang efeknya terasa sehari-hari.
Penyebab ini berakar pada cara
berpikir kita tentang manusia lain. Apakah kita melihat manusia lain sebagai
makhluk yang setara dan bermartabat?
Jika ya, maka kita akan menepati
kata-kata dan janji kita kepada manusia lain, sama seperti kita ingin janji
dan kata-kata orang lain kepada kita juga ditepati.
Pola belajar dan pola asuh juga
berpengaruh besar pada terciptanya kepribadian ”omdo”.
Di dalam sistem pendidikan yang
amat menekankan kemampuan intelektual, orang melihat dunia selalu dari buku,
dari kertas, dan dari teks.
Ia tidak melihat atau menyentuh
manusia langsung. Akhirnya, ia tidak paham pada gerak perasaan dan cara hidup
manusia lainnya, karena mata dan pikirannya terpaku pada teks.
Dampak lebih luas
Di balik gejala ”omdo”, kita bisa
melihat gerak dan cara berpikir yang begitu ganas, yang menjadi akar dari
segala bentuk kekerasan.
Cara berpikir ini adalah juga akar
dari politik dehumanisasi, di mana orang lain, terutama orang asing yang
berbeda agama, ras, dan pola pikir, dilihat sebagai benda yang bisa diperas
dan diperjualbelikan.
Di dalam diskusi-diskusi di Jerman
terkait dengan isu imigrasi, saya benar-benar merasakan bagaimana imigran
tidak dilihat sebagai manusia.
Imigran berpendidikan tinggi akan
segera diajak bekerja sama. Imigran bodoh akan diusir dengan segala cara.
Prinsip sebagai bangsa beradab dan
berbagai kesepakatan internasional tentang imigrasi tidak lagi dianggap
penting. Itu semua hanya ”omdo”.
Janji-janji negara Eropa dan
Amerika Serikat untuk bekerja sama mendirikan peradaban manusia yang luhur di
seluruh dunia pun seringkali hanya ”omdo”. Semua itu sering hanya untuk
menutupi tindakan mengeruk kekayaan alam negara lainnya.
Saya tidak mau terdengar
pesimistis. Akan tetapi itulah yang kini menjadi semangat zaman kita, yakni
zaman ”omdo”, di mana pengkhianatan dan pelanggaran janji adalah hal biasa.
Tentu, ini tidak mutlak.
Masih ada orang-orang yang
menghargai kata dan janji dengan sepenuh hati mereka. Saya hanya berharap,
orang-orang ini mau bekerja sama, lalu mengampanyekan gerakan anti-”omdo”.
Saya dengan senang hati berpartisipasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar