Kamis, 09 Januari 2014

Menafsir Stagnasi PDI Perjuangan

             

                                                            SURVEI KOMPAS (2)

Menafsir Stagnasi PDI Perjuangan
Bambang Setiawan  ;   Litbang Kompas
KOMPAS,  09 Januari 2014
                                                                                                                        


KECENDERUNGAN pemilih rasional untuk menjatuhkan pilihan kepada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dalam Pemilu 2014 seakan berhenti. Kalau enam bulan lalu gerakan bola salju terasa membesar, hampir-hampir mendekati euforia Pemilu 1999, kini seolah mati angin.

Hasil survei Litbang Kompas setahun lalu menunjukkan, masyarakat yang akan memilih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) hanya 13,3 persen, lalu melonjak drastis menjadi 23,6 persen pada enam bulan lalu.

Apabila partai konsisten menjaga ritme kenaikan, meskipun sedikit demi sedikit, sesungguhnya cukup untuk mencapai kemenangan gemilang pada saat hari pemilu karena masyarakat yang masih ragu biasanya cenderung melimpahkan suara mereka kepada partai yang memiliki tren positif.

Kenaikan sebesar 10 persen selama enam bulan untuk popularitas PDI-P terbilang luar biasa. Sudah bisa dibayangkan, dengan lonjakan tren yang demikian pesat, mungkin partai ini akan mengulang kesuksesan Pemilu 1999.

Namun, kecenderungan yang terjadi pada hari-hari belakangan ini tidak seperti tren sebelumnya. Stagnan, bahkan ada gejala menurun. Hasil survei terakhir pada Desember 2013 menunjukkan, popularitas PDI-P untuk dipilih sebesar 21,8 persen.
Memang, posisinya masih teratas dari semua partai peserta pemilu lainnya. Namun, stagnasi ini sudah cukup untuk memberi peringatan adanya ketidakselarasan yang dapat berujung pada riak penolakan. Belum begitu signifikan untuk menggoyah posisi puncak partai, tetapi gejala ini dapat menjadi sinyal bagi penurunan berikutnya. Jika tidak ada upaya pemulihan, sangat mungkin popularitas partai akan kembali ke posisi awal.

Membaca peta persaingan

Sekarang adalah saat yang sangat menentukan bagi partai-partai papan atas untuk menjadi pemenang atau pecundang. Jika PDI-P salah memilih strategi, atau mudah disetir oleh lawan politik, bisa diperkirakan hasilnya tidak akan secemerlang prediksi sebelumnya.

Untuk melihat apakah strategi yang dipilih PDI-P dalam pencalonan presiden cukup bernilai atau tidak, setidaknya bisa dibaca dari tiga sentrum kepentingan. Sentrum pertama adalah lingkaran dalam PDI-P, kedua adalah masyarakat, dan ketiga adalah lawan politik.

Seandainya kepentingan sentrum pertama linier dengan masyarakat luas, kekuatan partai kemungkinan akan membesar. Jika kepentingan sentrum pertama lebih dekat dengan lawan politik, partai akan lebih mudah disetir lawan politik dan masyarakat yang melihat tidak ada keistimewaan akan mencari figur lain. Dalam situasi tersebut, sangat mungkin akan muncul figur yang sama sekali belum diperhitungkan.
Dalam percaturan politik saat ini, cukup mudah bagi partai-partai pesaingnya menggoyang kedudukan PDI-P mengingat adanya dualisme ”matahari” di tubuh partai. Megawati Soekarnoputri dan Joko Widodo.

Melihat konstelasi kekuatan politik saat ini, kesempatan bagi partai-partai lawan untuk bisa bergerak naik hanya terjadi jika Jokowi tidak dicalonkan oleh PDI-P. Namun, jika Jokowi dicalonkan partai ini, bisa diprediksi, gerbong PDI-P akan penuh muatan. Tipis bagi partai besar lain untuk mempertahankan penurunan, alih-alih naik. Tren popularitas Jokowi yang terus menanjak akan menguntungkan partai pengusungnya.

Menghadapi kemungkinan seperti ini, bagi partai-partai lawan, pilihan untuk mengganjal pencalonan Jokowi dan mendorong Megawati menjadi presiden adalah tindakan rasional. Cara saat ini yang sangat mungkin dilakukan partai-partai pesaing PDI-P adalah membuka ruang bagi pencalonan Megawati karena lebih efektif untuk mendongkrak suara partai mereka daripada harus menghadapi Jokowi.

Jika Megawati maju tanpa menggandeng Jokowi sebagai calon wakilnya, hampir mustahil akan menang di pilpres. Penerimaan publik terhadap Megawati tidak sebanding dengan besarnya penolakan yang disuarakan masyarakat. Yang ingin mencalonkannya hanya 6,1 persen, sedangkan yang menolak 10,6 persen responden survei.

Ketidakjelasan Jokowi

Menurunnya popularitas PDI-P dalam beberapa bulan terakhir ini bisa jadi terkait dengan dua hal. Pertama, ketidakjelasan apakah PDI-P akan mengajukan Jokowi sebagai calon presiden atau tidak, mengakibatkan timbulnya jarak antara Jokowi dan PDI-P yang semula bergerak linier kini tidak lagi. Akibatnya, popularitas Jokowi terus melesat, sementara partainya stagnan.

Kedua, kecenderungan menurun itu terjadi karena penolakan masyarakat yang makin besar setelah membaca tanda- tanda bahwa Megawati tampaknya ”tergiring” untuk mencalonkan diri lagi.

Sementara itu, jika Megawati mencalonkan diri dengan menggandeng Jokowi sebagai calon wakilnya, mungkin hasilnya tidak seburuk kalau tanpa Jokowi. Bukan mustahil bisa memenangi pemilu presiden. Namun, juga tidak mustahil terjadi yang sebaliknya karena PDI-P akan menjadi partai eksklusif.

Kalau akhirnya hanya mengandalkan massa tradisional, sulit bagi PDI-P untuk menang dalam pemilihan umum presiden.

Selain itu, gerakan untuk menarik Jokowi dari pencalonan dan mendorongnya tetap fokus sebagai Gubernur DKI Jakarta, jika tidak diantisipasi, akan merugikan partai. Seandainya dalam pilpres kalah, tidak hanya Megawati yang terpukul tiga kali berturut-turut dalam pemilu presiden, tetapi ketokohan Jokowi juga akan memudar.

Nasdem dan Hanura

Jika pada partai-partai papan atas mulai terjadi titik jenuh dukungan dari masyarakat, tidak demikian dengan dinamika yang terjadi pada partai papan tengah atau partai baru.

Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) cenderung mengalami peningkatan dibandingkan dengan partai-partai papan menengah dan kecil lainnya.

Posisi kedua partai ini sekarang bahkan diprediksi mengungguli partai-partai papan menengah pendahulunya, seperti Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Keadilan Sejahtera.

Perkembangan paling signifikan terjadi pada Hanura, dari 0,5 persen pada tahun lalu, sekarang 6,6 persen. Penetrasi media, sejak masuknya pemilik media dan pengusaha Hary Tanoesoedibjo pada Februari 2013 ke Hanura, diduga turut menyumbang kenaikan popularitas partai ini.

Terlebih setelah Wiranto dan Hary mendeklarasikan pencalonannya, gambaran sebagai pasangan yang pluralis mampu menyedot cukup banyak pemilih. Hanura mampu menarik simpatisan yang sebelumnya memilih Partai Demokrat, Partai Golkar, PDI-P, PKS, dan partai-partai kecil lainnya, juga dari sebagian pemilih baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar