Rabu, 15 Januari 2014

Perdamaian Setelah Sharon

Perdamaian Setelah Sharon

Amanda Adiwijaya  ;   Alumnus International Biblical College, Jerusalem
KORAN JAKARTA,  15 Januari 2014
                                                                                                                        


Ariel Sharon (bahasa Ibrani: אֲרִיאֵל שָׁרוֹן ), meninggal pada 11 Januari 2014 di usianya yang ke-85 tahun. Lahir dengan nama Ariel Scheinermann (Shinerman) di Kfar Malal, Palestina, 26 Februari 1928, dia memiliki karier militer sejak 17 tahun. Selama 30 tahun Sharon menjadi anggota Angkatan Bersenjata Israel dengan pangkat tertinggi mayor jenderal. 

Namanya mencuat dan menjadi jenderal besar karena terlibat perang enam hari tahun 1967 dan perang Yom Kippur 1973. Karier politiknya berpuncak pada posisi perdana menteri Israel dari 7 Maret 2001 hingga 14 April 2006. Dia diganti Ehud Olmert karena stroke pada Januari 2006.

Dunia lebih mengenalnya sebagai sosok yang brutal dan kejam, khususnya pada bangsa Palestina. Ariel Sharon bertanggung jawab pada tragedi pembantaian Qibya, 13 Oktober 1953, ketika 96 orang Palestina tewas oleh Unit 101 yang dipimpinnya.
Tanggung jawab lain pada pembantaian di kamp pengungsi Palestina di Sabra dan Shatila, Beirut Selatan, pada 1982 yang menewaskan 3.000–3.500 orang. Tak heran jika kematiannya disambut suka cita sebagian warga Palestina, khususnya penghuni kedua kamp itu.

Sebagian orang Yahudi pun jengah atas ulahnya karena tindakan Sharon justru menyuburkan semangat antisemitisme (antiorang Yahudi) di seluruh dunia. Perbuatan Sharon telah menodai ajaran Yudaisme. 

Antisemitisme memiliki jejak panjang. Suasana kebencian sempat terbawa setiap Jumat Agung dalam Gereja Katolik Eropa untuk "menjewer" kuping orang Yahudi sebagai balasan atas penghinaan mereka yang menyebabkan Yesus disalib (PG Aring, Christlichen Judenmission, Neukirchen, 1980, hal 20 dan 21). Tradisi itu sudah tidak ada.

Banyak negara Eropa barat memberi sanksi sosial terhadap Yahudi pada era Perang Salib. Sentimen itu semakin buruk pada abad ke-14 dan ke-15. Kebencian pada Yahudi terus berlanjut dan memuncak ketika Adlof Hitler dengan Nazi-nya membantai 6,5 juta warga Yahudi menjelang Perang Dunia II. 

Dalam perkembangan, warga Yahudi menuntut sebuah negara yang dimaklumkan di Basel, Swiss, tahun 1897, dilanjutkan Deklarasi Balfour 1917. Deklarasi Balfour adalah surat dari James Arthur Balfour, menlu Inggris ketika itu, kepada seorang Yahudi Amerika bernama Baron Rothchild. 

Isi deklarasi berupa jaminan Pemerintah Inggris akan berdirinya negara Yahudi di bumi Palestina. Negara Israel akhirnya berdiri pada 15 Mei 1948.

Resolusi

Tidak setiap orang Yahudi setuju dengan pendirian negara atau pemerintah Israel. Ketika Sharon berkuasa, banyak dikecam para aktivis perdamaian Yahudi. Februari 2002, tentara Israel meratakan 60 rumah di kamp pengungsi Rafah.

Aksi itu dikecam Gila Svirsky. Veteran aktivis HAM dari Women’s Coalition For a Just Peace itu menyatakan tindakan itu sebagai dusta terhadap publik dan media massa Israel. Koran Ha’aretz juga mengecam tindakan tentara Israel tersebut.

Kelompok religius Yahudi pun ada yang membenci kebijakan para pemimpin Israel, seperti Neturei Karta. Kelompok Yahudi Orthodoks antizionisme yang bermarkas di New York ini sering kali memasang iklan di New York Times mengkritik Pemerintah Israel sebab melukai martabat Palestina dan mengorbankan nilai-nilai luhur Yudaisme, warisan Nabi Musa. 

Dalam Torah atau Taurat, digariskan bahwa warga Yahudi pemeluk Yudaisme tidak boleh menumpahkan darah, merendahkan, atau menjajah bangsa lain. Jadi, menurut kelompok ini, menjadi Yahudi harus tunduk pada hukum Taurat, ketentuan Yahwe.
Selain aktif di bidang keagamaan, Neturei Karta giat menggalang demo-demo anti-Israel. Bukan cuma kelompok religius, para pemikir besar Yahudi pun banyak yang jengah dengan langkah serta kebijakan pemerintah sejak kemerdekaan Israel pada 1948. Albert Einstein, misalnya, pernah menulis bahwa dia lebih setuju dengan prinsip saling menghormati dengan bangsa-bangsa Arab daripada terus memperluas negara Israel. 

Ilmuwan terbesar abad ke-20 versi majalah Time (27/12/99) ini menolak dicalonkan menjadi presiden Israel pada 1952. Dia menganut Yudaisme yang luas melampaui batas-batas negara.

Semoga meninggalnya Sharon bisa menjadi momentum untuk berbela rasa dengan nasib bangsa Palestina. Pada 29 November 1947, PBB menerapkan resolusi 181 atau yang dikenal dengan nama Partition Resolution yang mengatur pembagian dua negara: Israel dan Palestina. Resolusi itu sebenarnya bisa menjadi solusi adil untuk keduanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar