Demokrasi
Gerutu
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
15 Januari 2014
MENDIANG PM
Inggris Margareth Thatcher mungkin benar ketika mengatakan, ”
Di Thailand mungkin menjadi
berbeda ketika kelompok oposisi menjadi keras kepala menolak semua tawaran
politik yang diajukan pemerintah berkuasa. Berbagai tuduhan saling dilempar
oleh Partai Demokrat yang menguasai jalan-jalan di Bangkok, dan Thailand mengalami
fase ketidakpuasan demokrasi dan mulai kehilangan kepercayaan atas demokrasi
yang membentuk berbagai pemerintahan berkuasa.
Yang menarik, kericuhan politik
Thailand yang sudah dimulai sejak tahun 2008 mencerminkan pertikaian serius
dalam lingkup lebih luas bukan hanya antara PM Yingluck dari Partai Pheu Thai
berhadapan dengan Sekjen Partai Demokratik Suthep Thaugsuban yang menjadi
pemimpin para pengunjuk rasa melumpuhkan kota Bangkok, tetapi menjadi
persoalan kericuhan politik kelas menengah kaum urban berhadapan dengan kelas
bawah di pedesaan.
Dalam pengamatan secara
Ada kekhawatiran tersembunyi
para demonstran yang menuntut membatalkan pemilu bulan depan dan menunjuk
anggota parlemen tanpa proses demokrasi. Demokrasi di Thailand ”menggerutu” karena tidak mampu
berhadapan dengan PM Yingluck didukung kakaknya, mantan PM Thaksin
Shinawatra.
Ada beberapa faktor dalam
politik Thailand berdampak luas, pertama, terkait politik uang yang memang
menjadi bagian tidak terpisahkan dalam politik Asia Tenggara. Kalau saja PM
Yingluck bukan adik kandung Thaksin dan bukan berasal dari keluarga kaya yang
sangat populis di pedesaan, mungkin politik Thailand tidak serumit ini.
Tujuan oposisi adalah menyingkirkan Yingluck tanpa pemilu.
Kedua, pertikaian politik
Thailand tidak memiliki jalan tengah, Yingluck harus mencari alternatif
menggunakan perilaku populisnya di kalangan rakyat melalui pilihan menguasai
pemerintahan daerah atau minta restu Raja Bhumibol Adulyadej menyelenggarakan
pemilu. Atau biarkan militer Thailand kudeta yang sudah dilakukan sebanyak 18
kali sejak 1932 pada saat berdirinya monarki absolut, dan membiarkan tekanan
internasional untuk segera mengadakan pemilu.
Persoalan akan menjadi semakin
rumit bagi Thailand pasca-Raja Bhumibol Adulyadej yang sangat dihormati
berbagai pihak. Bagi Yingluck, ternyata menjadi wanita pertama di Thailand
adalah pekerjaan tidak mudah di tengah demokrasi yang menggerutu
terus-menerus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar