Rabu, 22 Januari 2014

Mencegah Politisasi BUMN Jelang Pemilu 2014

Mencegah Politisasi BUMN Jelang Pemilu 2014

Agust Riewanto   ;   Doktor Ilmu Hukum dan Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Surakarta
SINAR HARAPAN,  22 Januari 2014
                                                                                                                        


Tak lama lagi pemilihan umum legislatif (pileg) digelar, 9 April 2004. Sistem yang diadopsi dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 ini tak berbeda jauh dengan Pemilu 2009, yaitu sistem proporsional berbasis suara terbanyak.

Sistem ini memaksa kompetisi dalam dua pemilu ini menjadi liberal. Kompetisi dalam pemilu ini amat bebas menggunakan cara dan stategi ekonomi politik. Kompetisinya bahkan tidak hanya antarpartai politik (parpol), tetapi juga antarcalon anggota legislatif (caleg) dalam satu parpol.

Akibatnya, pemilu ini berbiaya mahal dan boros. Hanya parpol dan caleg cerdas dalam berkampanye ditambah sokongan amunisi dana keuangan segar berlimpahlah yang dapat meraih kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Untuk meraup dana politik ini, terbuka kemungkinan parpol dan caleg memanfaatkan dana-dana haram, salah satunya dari dana Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Itu guna pembiayaan kampanye pemilu.

Apalagi, jika para petinggi BUMN kerap berhubungan dengan para komisaris BUMN yang biasanya dijabat elite parpol. Implikasinya, terjadi saling berbagi keuntungan ekonomi politik yang berujung pada rente ekonomi dan barter kepentingan politik.

Menjelang Pemilu 2014, penting bagi publik mencegah BUMN tidak larut ke kepentingan politik dan melupakan hakikat BUMN yang berpihak pada rakyat. Di titik ini, politisasi dana BUMN untuk pemilu menjadi haram dan harus terus diawasi.

Pentingnya pengawasan mencegah BUMN tidak dipolitisasi elite politik untuk kepentingan pendanaan pemilu karena dana BUMN relatif banyak. Jika dimanfaatkan untuk subsidi pembangunan, dana itu jauh lebih bermanfaat bagi publik.

Lihatlah faktanya, perputaran uang dari 141 BUMN pada 2012 saja sebanyak Rp 1.616,8 triliun. Laba yang diperoleh selama 2012 sebesar Rp 141,4 triliun. Kini, aset BUMN Rp 3.534,3 triliun. Namun, sepanjang 2011-2012, berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), telah terjadi 24 kasus korupsi yang berpotensi merugikan keuangan negara Rp 4,9 triliun dan US$ 305 juta.

Pada semester I 2013, BPK menemukan kasus korupsi dengan potensi kerugian negara Rp 2,6 triliun.

Modus Penyimpangan

Berdasarkan laporan audit BPK, paling tidak sejumlah modus penyimpangan penggunaan dana segar BUMN yang berpotensi korupsi, pertama, pengucuran dana kredit kepada rakyat yang membutuhkan, tetapi kemudian dianggap fiktif.

Kedua, penggunaan dana untuk Corporate Social Responsibility (CSR) dan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Ketiga, pendapatan fee dalam menjalankan proyek-proyek BUMN dengan rekanan pengusaha hitam.

Ketiga modus ini amat mungkin terus dipraktikkan elite BUMN dengan elite parpol dan caleg yang memiliki akses ke manajemen BUMN untuk kepentingan pendanaan kampanye Pemilu 2014.

Kemungkinan yang marak terjadi adalah penggunaan dana BUMN untuk CSR yang dioperasionalisasikan dalam kegiatan bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat, namun ditunganggi kepentingan kampanye parpol atau caleg.

Apalagi kenyataan sosial kita akhir-akhir ini, rakyat banyak menderita akibat bencana, seperti banjir, gunung meletus, dan tanah longsor. Saat ini, rakyat memang memerlukan uluran tangan untuk menopang penderitaannya.

Dalam kondisi seperti ini, bukan tidak mungkin parpol dan para caleg memanfaatkan dana-dana BUMN untuk membantu rakyat. Penderitaan rakyat menjadi lahan keuntungan politik bagi parpol dan caleg.

Kini saatnya dirancang model pengawasan BUMN yang efektif. Jadi, BUMN akan lebih berhati-hati terlibat dalam Pemilu 2014. Model pengawasan itu, di antaranya pertama, terus memantau pergerakan aliran dana BUMN, apakah tersimpan dalam neraca keuangan negara atau mengalir ke aktor-aktor yang terlibat dalam pemilu, mulai pengurus parpol, caleg, orang dekat parpol, atau organisasi masyarakat (ormas) yang berafiliasi dengan parpol dan caleg tertentu. Tugas berat ini mesti dilakukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tanpa harus diminta.

Kedua, segera menerbitkan peraturan pembatasan transaksi keuangan tunai maksimal Rp 100 juta. Lebih dari itu, transaksi harus dilakukan dengan memanfaatkan jasa perbankan.

Dengan cara ini, para aktor politik, pejabat negara, pengusaha hitam, ormas, dan individu akan berhati-hati dalam menggunakan uangnya. Itu karena transaksi akan mudah dilacak dan diawasi. PPATK cukup melacak lalu lintas transaksinya di bank-bank tempat transaki yang melebihi batas minimal transaksi tunai.

Ketiga, pelaporan dana kampanye parpol dan caleg untuk Pemilu 2014 melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU) nasional, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota, baik sebelum masa kampanye maupun pascakampanye.

KPU perlu melibatkan auditor atau akuntan yang profesional, tidak memihak, serta berani melacak dan mengungkap kebenaran penggunaan dana kampanye, baik dalam bentuk barang, uang, maupun jasa.

Jika terjadi penyimpangana dan ketidakwajaran, KPU harus melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Akan lebih baik jika KPU sejak awal bekerja sama dengan PPATK. Itu untuk melacak rekening sumber pendapatan dan pengeluaran parpol maupun caleg dalam Pemilu 2014.

Hanya dengan cara inilah Pemilu 2014 dapat berlangsung transparan, akuntabel, dan bersih dari upaya parpol dan caleg memanfaatkan dana-dana BUMN. Dengan begitu pula, Pemilu 2014 dapat dikategorikan adil dan demokratis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar