Sabtu, 04 Januari 2014

Merindukan Sang Pemimpin

                                     Merindukan Sang Pemimpin

Bambang Widodo Umar   ;   Guru Besar Sosiologi Hukum Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia; Pengamat Kepolisian
KOMPAS,  31 Desember 2013
                            



DAHULU, Erich von DÄniken, seorang ahli kosmologi, menganggap kesatria-kesatria Nazca dan Palenque merupakan astronot-astronot dunia luar yang tersesat ke Bumi dan lama-lama berkurang serta akhirnya musnah.

DÄniken tampaknya hendak memberi tahu kita, pada zaman dahulu saja jumlah kesatria atau pemimpin di dunia ini sudah berkurang, apalagi masa kini. Sayangnya kita kurang menyadari hal itu, hingga pada akhirnya kita sadar tiba-tiba kesatria atau pemimpin itu sudah tidak ada lagi.

Di negeri ini, pemimpin mungkin masih ada, tetapi yang muncul tampaknya mengalami krisis karena erosi ”tanggung jawab”. Figur yang semula tampak seperti pemimpin penuh tanggung jawab ternyata setelah menduduki jabatan malah jadi ”pelempar tanggung jawab”. Penyakit kepemimpinan yang sangat berbahaya karena ia bukannya menjadi trouble solver, melainkan justru trouble maker.

Misalnya, kita belum pernah mendengar ada pemimpin yang berani meletakkan jabatan karena salah mengambil kebijakan atau salah dalam memberikan perintah sehingga berakibat fatal dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, benar yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer: ”Bagaimana pemimpinnya, begitulah suatu bangsa.” Dan, bangsa ini ternyata surplus pembesar, tetapi defisit pemimpin.

Saya kira itulah yang membuat masyarakat merasa tak berdaya, bahkan sebagian frustrasi. Setiap malam banyak saudara kita yang menangisi ketidakadilan yang menimpa dirinya. Mereka berlari ke berbagai arah, berjalan menurut jejak kaki, mungkin seraya berurai air mata, tetapi keadilan tetap saja tak tersua. Di mana pemimpin itu?

Sementara sejumlah masalah (sosial, politik, hukum, budaya, dan ekonomi) bersilang sengkarut mencipta konflik. Perilaku busuk dan kotor makin biasa dan umum, korupsi kian sistemik. Mafia terselubung kian berjaya menggerogoti pembangunan dan merecoki pengambilan kebijakan. Di luar itu, batas negara seolah tak terjaga. Negara tetangga, yang dulu sungkan, segan, dan penuh hormat, kini tanpa takut dan gegabah memindahkan patok-patok batas negara dan menyadap kerahasiaan kita. Kedaulatan seperti kusen kayu lapuk oleh rayap kekuasaan yang menggerogoti bangsanya sendiri.

Semua masalah itu, mau tak mau mengikis rasa percaya masyarakat atas kapasitas dan kapabilitas negara serta pemimpinnya. Peringatan yang dilontarkan rakyat tidak digubris, malah dicurigai, dicemooh, dan disepelekan. Bencana sebagai azab tak dihiraukan atau dijadikan peringatan. Bebalkah mereka?

Masalah yang timbul saat ini makin kompleks dan rumit. Oleh karena itu, cara-cara tradisional yang digunakan untuk mengatasi tidak sesuai lagi. Realitas kontemporer bangsa ini kian runyam, tradisi dan kegotongroyongan sebagai salah satu nilai utamanya berantakan.

Di sinilah sesungguhnya masyarakat atau satu bangsa memerlukan kehadiran seorang yang berani, akrab, lekat dengan emosi, bertanggung jawab, mau berkorban, melindungi, mau berbagi susah dan senang, punya keteladanan paripurna, serta bisa membangkitkan semangat untuk bersama-sama memperbaiki nasib bangsanya. Seseorang yang pantas menjadi ”pemimpin”.

Sang pemimpin

Hampir setiap bangsa di dunia ini memiliki seseorang sebagai pemimpin bangsanya. Mahatma Gandhi merupakan seseorang buat India, pemimpin yang lahir di tengah kesengsaraan bangsanya. Ketajaman hati dan pikirannya mampu menerjemahkan arti-arti tak terbatas sebagai Juru Selamat. Winston Churchill merupakan seseorang buat bangsa Inggris. Ia bangsawan brilian, mudah naik darah, tetapi selalu melindungi bangsanya selama Perang Dunia Kedua. Demikian pula George Washington bagi Amerika Serikat, Charles de Gaulle bagi Perancis, Deng Xiaoping bagi rakyat China, atau Ho Chi Minh bagi bangsa Vietnam, dan tentu Nelson Mandela bagi rakyat Afrika Selatan, Afrika, bahkan dunia.

Kita pun, dulu, memiliki seseorang itu: Soekarno namanya. Orator ulung, pembangkit semangat yang andal buat bangsanya untuk melawan kolonialisme dan imperialisme. Kedudukan mereka tentu tidak sama dengan rasul dan nabi yang dimuliakan. Para rasul dan nabi menguasai wilayah iman, sedangkan dia menguasai wilayah fisik dan perilaku. Para nabi dan rasul majikan dari semangat teologis-religius, sedangkan pemimpin bangsa adalah majikan dari semangat geometris-historis dan kultural.

Apabila dalam diri kita muncul rasa hormat sewaktu menyebut namanya, tentu bukan lantaran takut, tetapi terdorong kualitas kepemimpinannya yang memiliki karisma sebagai refleksi logos pancaran energi bening dari alam semesta. Demikian pula tanggung jawabnya tidak sekadar lahir dari niat, tetapi terlatih melalui rintangan, gemblengan, cobaan yang dialami sejak muda. Dia berani menghadapi ”sendiri” risiko-risiko berat atas tindakannya serta berani ”mengakui” dengan jantan kata-kata atau perbuatan yang pernah dilakukan.

Tinjauan ke depan, kita merindukan pemimpin yang berani bergerak pada tiga bidang yang berkaitan. Pertama, reformasi institusi. Membuat keseimbangan kekuatan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif melalui bandul kekuasaan yang bergerak antara pembagian kekuasaan dan pemisahan kekuasaan. Beragam kasus yang saling menyandera antarpartai politik merefleksikan bahwa eksekutif dan legislatif cenderung lebih kuasa daripada yudikatif.

Kedua, filosofi politik. Memulihkan konsensus nasional. Nilai-nilai Pancasila perlu dijabarkan dalam paradigma ekonomi, hukum, politik, dan sosial budaya. Hal ini dilandasi kesadaran bahwa kontradiksi-kontradiksi dari bidang-bidang yang ada kini telah menimbulkan karut-marut dalam kehidupan masyarakat.

Ketiga, membangun kepercayaan. Pemimpin harus menjadikan teman bagi rakyatnya dan harus membangun kepercayaan untuk tidak curiga atau menentang setiap tindakannya. Di sinilah terutama diperlukan kejujuran, tanggung jawab, dan pengorbanan.

Problem-problem masa kini memang sangat mudah menyeret kita ke jurang keputusasaan. Namun, hal itu justru menuntut dilakukannya suatu penyelesaian. Penyelesaian tidak dengan melakukan perombakan hal-hal yang sudah jenuh atau hal-hal yang dipandang basi atau lama, juga bukan menjungkirbalikkan kondisi yang ada dengan mengganti yang baru. Namun, lebih baik memelihara dan memperbaiki kelembagaan yang telah ada, yang dimiliki bangsa ini sepanjang sejarahnya, yang terbukti sukses melahirkan pemimpin-pemimpin (besar).  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar