Merindukan
Sang Pemimpin
Bambang Widodo Umar ; Guru Besar Sosiologi Hukum
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia; Pengamat
Kepolisian
|
KOMPAS,
31 Desember 2013
DAHULU, Erich von DÄniken,
seorang ahli kosmologi, menganggap kesatria-kesatria Nazca dan Palenque
merupakan astronot-astronot dunia luar yang tersesat ke Bumi dan lama-lama
berkurang serta akhirnya musnah.
DÄniken tampaknya hendak memberi
tahu kita, pada zaman dahulu saja jumlah kesatria atau pemimpin di dunia ini
sudah berkurang, apalagi masa kini. Sayangnya kita kurang menyadari hal itu,
hingga pada akhirnya kita sadar tiba-tiba kesatria atau pemimpin itu sudah
tidak ada lagi.
Di negeri ini, pemimpin mungkin
masih ada, tetapi yang muncul tampaknya mengalami krisis karena erosi
”tanggung jawab”. Figur yang semula tampak seperti pemimpin penuh tanggung
jawab ternyata setelah menduduki jabatan malah jadi ”pelempar tanggung
jawab”. Penyakit kepemimpinan yang sangat berbahaya karena ia bukannya
menjadi trouble solver, melainkan justru trouble maker.
Misalnya, kita belum pernah
mendengar ada pemimpin yang berani meletakkan jabatan karena salah mengambil
kebijakan atau salah dalam memberikan perintah sehingga berakibat fatal dalam
kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, benar yang dikatakan Pramoedya Ananta
Toer: ”Bagaimana pemimpinnya, begitulah suatu bangsa.” Dan, bangsa ini
ternyata surplus pembesar, tetapi defisit pemimpin.
Saya kira itulah yang membuat masyarakat
merasa tak berdaya, bahkan sebagian frustrasi. Setiap malam banyak saudara
kita yang menangisi ketidakadilan yang menimpa dirinya. Mereka berlari ke
berbagai arah, berjalan menurut jejak kaki, mungkin seraya berurai air mata,
tetapi keadilan tetap saja tak tersua. Di mana pemimpin itu?
Sementara sejumlah masalah
(sosial, politik, hukum, budaya, dan ekonomi) bersilang sengkarut mencipta
konflik. Perilaku busuk dan kotor makin biasa dan umum, korupsi kian
sistemik. Mafia terselubung kian berjaya menggerogoti pembangunan dan
merecoki pengambilan kebijakan. Di luar itu, batas negara seolah tak terjaga.
Negara tetangga, yang dulu sungkan, segan, dan penuh hormat, kini tanpa takut
dan gegabah memindahkan patok-patok batas negara dan menyadap kerahasiaan kita.
Kedaulatan seperti kusen kayu lapuk oleh rayap kekuasaan yang menggerogoti
bangsanya sendiri.
Semua masalah itu, mau tak mau
mengikis rasa percaya masyarakat atas kapasitas dan kapabilitas negara serta
pemimpinnya. Peringatan yang dilontarkan rakyat tidak digubris, malah
dicurigai, dicemooh, dan disepelekan. Bencana sebagai azab tak dihiraukan
atau dijadikan peringatan. Bebalkah mereka?
Masalah yang timbul saat ini makin
kompleks dan rumit. Oleh karena itu, cara-cara tradisional yang digunakan
untuk mengatasi tidak sesuai lagi. Realitas kontemporer bangsa ini kian
runyam, tradisi dan kegotongroyongan sebagai salah satu nilai utamanya
berantakan.
Di sinilah sesungguhnya masyarakat
atau satu bangsa memerlukan kehadiran seorang yang berani, akrab, lekat dengan
emosi, bertanggung jawab, mau berkorban, melindungi, mau berbagi susah dan
senang, punya keteladanan paripurna, serta bisa membangkitkan semangat untuk
bersama-sama memperbaiki nasib bangsanya. Seseorang yang pantas menjadi
”pemimpin”.
Sang pemimpin
Hampir setiap bangsa di dunia ini
memiliki seseorang sebagai pemimpin bangsanya. Mahatma Gandhi merupakan
seseorang buat India, pemimpin yang lahir di tengah kesengsaraan bangsanya.
Ketajaman hati dan pikirannya mampu menerjemahkan arti-arti tak terbatas sebagai
Juru Selamat. Winston Churchill merupakan seseorang buat bangsa Inggris. Ia
bangsawan brilian, mudah naik darah, tetapi selalu melindungi bangsanya
selama Perang Dunia Kedua. Demikian pula George Washington bagi Amerika
Serikat, Charles de Gaulle bagi Perancis, Deng Xiaoping bagi rakyat China,
atau Ho Chi Minh bagi bangsa Vietnam, dan tentu Nelson Mandela bagi rakyat
Afrika Selatan, Afrika, bahkan dunia.
Kita pun, dulu, memiliki seseorang
itu: Soekarno namanya. Orator ulung, pembangkit semangat yang andal buat
bangsanya untuk melawan kolonialisme dan imperialisme. Kedudukan mereka tentu
tidak sama dengan rasul dan nabi yang dimuliakan. Para rasul dan nabi
menguasai wilayah iman, sedangkan dia menguasai wilayah fisik dan perilaku.
Para nabi dan rasul majikan dari semangat teologis-religius, sedangkan
pemimpin bangsa adalah majikan dari semangat geometris-historis dan kultural.
Apabila dalam diri kita muncul
rasa hormat sewaktu menyebut namanya, tentu bukan lantaran takut, tetapi
terdorong kualitas kepemimpinannya yang memiliki karisma sebagai
refleksi logos pancaran energi bening dari alam semesta. Demikian
pula tanggung jawabnya tidak sekadar lahir dari niat, tetapi terlatih melalui
rintangan, gemblengan, cobaan yang dialami sejak muda. Dia berani menghadapi
”sendiri” risiko-risiko berat atas tindakannya serta berani ”mengakui” dengan
jantan kata-kata atau perbuatan yang pernah dilakukan.
Tinjauan ke depan, kita merindukan
pemimpin yang berani bergerak pada tiga bidang yang berkaitan. Pertama,
reformasi institusi. Membuat keseimbangan kekuatan antara eksekutif,
legislatif, dan yudikatif melalui bandul kekuasaan yang bergerak antara
pembagian kekuasaan dan pemisahan kekuasaan. Beragam kasus yang saling
menyandera antarpartai politik merefleksikan bahwa eksekutif dan legislatif
cenderung lebih kuasa daripada yudikatif.
Kedua, filosofi politik.
Memulihkan konsensus nasional. Nilai-nilai Pancasila perlu dijabarkan dalam
paradigma ekonomi, hukum, politik, dan sosial budaya. Hal ini dilandasi
kesadaran bahwa kontradiksi-kontradiksi dari bidang-bidang yang ada kini
telah menimbulkan karut-marut dalam kehidupan masyarakat.
Ketiga, membangun kepercayaan.
Pemimpin harus menjadikan teman bagi rakyatnya dan harus membangun
kepercayaan untuk tidak curiga atau menentang setiap tindakannya. Di sinilah
terutama diperlukan kejujuran, tanggung jawab, dan pengorbanan.
Problem-problem masa kini memang
sangat mudah menyeret kita ke jurang keputusasaan. Namun, hal itu justru
menuntut dilakukannya suatu penyelesaian. Penyelesaian tidak dengan melakukan
perombakan hal-hal yang sudah jenuh atau hal-hal yang dipandang basi atau
lama, juga bukan menjungkirbalikkan kondisi yang ada dengan mengganti yang
baru. Namun, lebih baik memelihara dan memperbaiki kelembagaan yang telah
ada, yang dimiliki bangsa ini sepanjang sejarahnya, yang terbukti sukses
melahirkan pemimpin-pemimpin (besar). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar