Mistisisme
Waktu
Asep Salahudin ; Esais dan Dekan Fakultas Syariah
IAILM
Pesantren Suryalaya
Tasikmalaya, Jawa Barat
|
KOMPAS,
31 Desember 2013
TAHUN 2014 segera datang. Tahun
2013 kita tinggalkan bersama kenangan dan setumpuk kekurangan.
Awal tahun kita sambut dengan
harapan bahwa tahun-tahun yang akan kita lalui adalah semburat fajar yang
akan mempercepat terwujudnya hidup menemukan adabnya. Tahun baru dengan
terhunjamkannya spirit ”kelahiran kembali”: lahir dengan kesadaran baru.
Kelahiran dan kebaruan hakikatnya
adalah khitah agama yang bukan saja diusung Al-Masih, juga digelorakan semua
nabi, termasuk Muhammad SAW. Sebuah kearifan abadi dan melintasi batas-batas
agama dan budaya (al-hikmah al-khalidah).
”Lahir” sebagai simbol terlepasnya
diri (dan bangsa) dari sekapan kegelapan, dari keyakinan menikung yang tak
membawa pencerahan dan dari gelegak nafsu yang dapat menjungkalkan marwah
kemanusiaan ke tubir kehinaan. Dan, ”baru” sebagai metafora kehidupan dengan
semangat yang berbeda dari sesuatu yang kita anggap ”lama”.
”Baru” itu interaksi simboliknya
dapat merujuk kepada situasi politik yang memuliakan akal budi, ekonomi
yang berporos pada terdistribusikannya rasa keadilan merata. Lebih luas lagi,
”baru” itu bersatu dengan kebudayaan yang berjangkar pada etos penciptaan
kebeningan batin (Cicero), keluhuran nalar (Raymond Williams), kekukuhan
menjunjung tinggi nilai universal (Kant), daya imajinasi kreatif (Schiller),
terus mengupayakan terwujudnya masyarakat sempurna (EB Taylor) melalui
gelegak daya kehidupan dengan membiarkan insting natural menemukan katupnya
yang optimal (Nietzsche).
Tahun politik
Negara orde ”baru” tempo hari
dikedepankan sebagai antitesis orde ”lama” yang dianggap serba ”mitologis”,
terlampau ”politis”, dan hanya gaduh dengan orasi yang tidak menyentuh hajat
hidup orang banyak. ”Bung Besar” harus ditumbangkan. Tragisnya, kebaruan yang
ditawarkan justru berubah jadi ”mitos baru” yang tak kalah mengerikan. Selama
32 tahun hidup dalam suasana yang seolah-olah baru, padahal sesungguhnya
dengan sempurna mewarisi mentalitas lama, mentalitas yang terpelanting jauh
pada zaman-zaman kerajaan kuno ketika ruang publik dikelola secara
turun-temurun (dinasti), antikritik, bebal, dan korup.
Tahun 2014 bukan sekadar peralihan
tahun baru, tetapi dalam konteks kebangsaan kita sedang memasuki
tahun-tahun politik. Kita akan merayakan pesta demokrasi lima tahunan
memilih secara langsung. Tahun politik bisa jadi bagi sebagian kalangan
dilihat dengan waswas ketika persoalan daftar pemilih tetap masih simpang
siur, masyarakat yang kian apatis, dan kabar tiap hari mengenai
politisi yang selalu berperilaku tak ubahnya para bandit: korup dan rakus.
Tentu semua harus tetap berjalan.
Mesin waktu tidaklah bisa dihentikan. Heraclitos menyebutnya panta rhei
kai uden menei. ”Semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang
tinggal tetap. Engkau tidak dapat turun dua kali ke sungai yang sama”.
Tentu saja tak ada yang sempurna.
Justru ketaksempurnaan ini yang jadi alasan utama pentingnya melakukan
introspeksi di tahun baru. Menjadi modus eksistensial untuk merayakan
pergantian tahun itu sendiri.
Hakikat tahun baru
Bukan sekadar perayaan kembang
api, kenduri material, pesta semalam suntuk atau hura-hura yang acap kali
menyisakan upacara jadi tak cukup bermakna. Namun, perayaan peralihan
tahun yang penuh kesungguhan, mengacu pada etos kebaktian sekaligus sebagai
ekspresi pemujaan pada Sang Pemilik Waktu.
Tahun baru jadi pintu masuk meraih
pembebasan sekaligus momen meneguhkan sikap keterbukaan dan penegasan.
Bagaimanapun, manusia meriwayatkan konsep dirinya sepenuhnya melalui waktu.
Salah satunya lewat fragmen peralihan tahun, melalui renungan tentang hari-
hari yang dianggap memiliki nilai tak ubahnya Natal dan lain sebagainya.
Ini juga barangkali yang jadi
alasan metafisis, dalam ajaran Islam, Tuhan banyak bersumpah menggunakan
diksi yang berdimensi waktu. Sebut saja: demi masa (wal ashri), demi malam (wal
laili), demi siang (wan nahari),
demi fajar (wal fajri), demi bulan
(wal qamari), demi matahari (wasy syamsi), demi waktu duha (wadh dhuha). Kata sang Nabi, ”Dua hal
yang acap kali terabaikan dalam kehidupan manusia: sehat dan peluang.”
Tidak mungkin Tuhan sampai
bersumpah segala, kecuali di seberangnya terhamparkan realitas yang dianggap
penting dan harus jadi perhatian seluruh ciptaannya. Hanya manusia (pejabat)
yang menganggap sumpah tidak penting sehingga sumpah pun berubah jadi
sampah. Kesadaran waktu mistis sekaligus fana inilah yang bikin Chairil
Anwar ingin hidup seribu tahun lagi, sekaligus menggerakkan seorang Amir
Hamzah di pengujung usianya menulis penuh kesunyian: ”Lalu waktu-bukan
giliranku… menapaki waktu, mencipta jejak sambil menunggu giliran yang
barangkali masih jauh”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar