Konsolidasi
Usaha Tani
Udi H Pungut ; Peneliti pada Indonesia Research
and Strategic Analysis
|
KOMPAS,
31 Desember 2013
Sensus Pertanian 2013 mengirim
kabar penting tentang rasionalisasi usaha tani. Selama 10 tahun terakhir telah
terjadi pengurangan 5,1 juta rumah tangga pertanian. Pengurangan terjadi pada
jumlah petani tunalahan (buruh tani) dan petani berlahan sempit (petani
gurem). Buruh tani dan petani gurem itu—terpaksa atau sukarela—telah beralih
ke sektor lain, meninggalkan sektor pertanian.
Kabar menarik lain dari Sensus
Pertanian 2013 adalah adanya petani gurem yang ”naik kelas”, menggarap lahan
lebih luas. Hal ini ditunjukkan oleh peningkatan jumlah petani dengan penguasaan
lahan lebih dari setengah hektar. Selain itu, kita jadi makin yakin betapa
penting pertanian padi bagi petani. Jumlah rumah tangga yang mengusahakan
pertanian padi relatif tidak berubah. Sementara itu, usaha pertanian lain,
seperti menangkap ikan, beternak, dan menanam hortikultura, semakin
ditinggalkan.
Penurunan peran sektor pertanian
dalam penciptaan nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja adalah proses
lumrah dalam perekonomian yang berkembang. Karena itu, kabar di atas
sebenarnya tak terlalu mengejutkan. Tidak perlu membuat kita terlalu khawatir
atau berbesar hati. Yang membuat kita sedikit miris: pergeseran komposisi
pekerja yang diperoleh dari survei angkatan kerja nasional.
Limpahan pekerja dari sektor
pertanian idealnya terserap sektor industri. Sayangnya, peningkatan peran
sektor industri relatif kecil, hanya menyerap sebagian kecil pekerja baru.
Kenaikan pesat terjadi pada peran sektor jasa, terutama perdagangan dan jasa
perorangan. Pekerja yang keluar dari sektor pertanian, boleh jadi, masuk ke
sektor tersebut.
Pergeseran pekerja dari sektor
pertanian ke sektor jasa memang bukan pola normal dalam perubahan struktur
ekonomi. Meski demikian, perubahan dari buruh tani atau petani gurem menjadi
buruh atau pengusaha jasa informal tidak selalu berarti menjadi lebih buruk.
Informasi yang tersedia kelihatannya tidak cukup untuk membuktikan terjadinya
proses pemiskinan pada mantan petani.
Skala usaha tani
Penurunan jumlah rumah tangga
petani adalah akibat langsung dari proses konsolidasi untuk mencapai skala
usaha tani yang ekonomis. Peningkatan rata-rata penguasaan lahan oleh rumah
tangga petani membuktikan adanya proses konsolidasi tersebut. Rata-rata
penguasaan lahan sawah, misalnya, naik dua kali lipat. Rata-rata penguasaan
lahan pertanian bukan sawah juga naik dengan tingkat kenaikan lebih tinggi.
Rata-rata skala usaha tani semakin membesar.
Rumah tangga petani tampaknya
makin fokus pada usaha pertanian. Pada tiap rumah tangga petani, jumlah
anggota rumah tangga (ART) yang terlibat pada usaha pertanian makin
bertambah. Keterlibatan ART petani pada kegiatan usaha nonpertanian
berkurang. Rumah tangga petani jadi semakin bergantung pada usaha tani.
Kegagalan usaha tani makin berdampak besar pada penurunan pendapatan petani.
Hasil sensus itu kian menegaskan
pentingnya industrialisasi di pedesaan. Idealnya, kegiatan industri dapat
memberi tambahan nilai pada komoditas pertanian dan menyerap limpahan pekerja
dari sektor pertanian. Agar industri dapat tumbuh, peran pemerintah tentu
tidak cukup hanya menyediakan infrastruktur fisik. Kapasitas dan kualitas
petani perlu disesuaikan dengan kegiatan ekonomi yang berubah.
Perlindungan bagi petani semakin
diperlukan: bukan hanya dari dampak volatilitas harga komoditas pertanian,
melainkan juga dari risiko gagal panen. Soal perlindungan petani memang belum
banyak mendapat perhatian. Namun, perlindungan bukan berarti mengalihkan
semua risiko kegagalan kepada pihak lain, termasuk pemerintah. Pemerintah
perlu menyediakan skema perlindungan berbiaya rendah dan mendorong petani
untuk mengelola risiko berbasis pasar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar