Menghidupkan
Kebinekaan
Doni Koesoema A ; Pemerhati Pendidikan
|
KOMPAS,
21 Januari 2014
KEPRIHATINAN pendidikan tahun
2013 bisa dirangkum dalam satu ungkapan, matinya keragaman. Diabaikannya prinsip keragaman
dalam pendidikan melahirkan berbagai macam perilaku kekerasan yang melecehkan
kemartabatan manusia. Jika kemartabatan manusia adalah fokus pendidikan,
menghidupkan kembali kebinekaan adalah tantangan besar pendidikan 2014.
Keragaman adalah ciri kodrati
manusia yang dasarnya pengakuan akan keunikan individu. Karena itu,
pendidikan tanpa keragaman bertentangan dengan daya-daya kodrati manusia itu
sendiri. Fakta bahwa tak ada satu manusia pun yang sama di dunia ini membuat
manusia makhluk yang unik. Jika pendidikan merupakan bantuan sosial bagi
setiap individu, menghargai keunikan berarti mengukuhkan dan memperkaya
keunikan individu sebagai berbeda satu sama lain merupakan sebuah imperatif
dalam pendidikan. Pendidikan akan bersifat personal. Pandangan ini akan
mengubah pedagogi, cara mengajar, dan cara mengevaluasi. Anak akan menjadi
pusat, pengajaran akan mempertimbangkan perbedaan cara belajar, dan evaluasi
lebih bersifat personal dan individual, bukan standar. Inilah yang hilang
dalam diskursus pendidikan sepanjang tahun 2013.
Bukan penyeragaman
Sebaliknya, tahun 2013 banyak
diwarnai penyeragaman, penyamaan, pemusatan, dan kontrol yang tampil dalam
hiruk pikuk Kurikulum 2013. Kurikulum 2013 menjadi tanda direnggutnya roh
pendidikan yang memerdekakan dan menumbuhkan kreativitas. Desain besar
Kurikulum 2013 lebih mendasarkan diri pada mekanisme pemusatan dan kontrol
dari negara atas pendidikan, mulai dari desain awal, pembuatan buku, sampai
mekanisme evaluasi dan penilaian.
Karut-marut pelaksanaan Kurikulum
2013 terjadi karena abainya pengambil kebijakan terhadap kritik dan masukan
publik sebagai tanda keragaman dan perbedaan dalam berpikir. Konvensi
Nasional Pendidikan versi pemerintah sebagian besar dihadiri orang-orang
bersuara sama. Munculnya Konvensi Rakyat tandingan untuk menggemakan kembali
pentingnya evaluasi kebijakan UN tak bisa dianggap suara pinggiran. Jumlah
besar orang yang memiliki suara sama tak jadi alasan untuk pembenaran sebuah
kebijakan pendidikan yang secara pedagogis prinsipal tak dapat dibenarkan.
Kebenaran itu akan tetap menjadi kebenaran meski banyak orang mengatakan
sebaliknya, demikian ujar Antonio Machado, penyair Spanyol terkenal itu.
Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) 2006 sesungguhnya telah berada di jalur pendidikan yang
benar karena memberi ruang tumbuhnya genius lokal dalam pendidikan.
Sayangnya, pemberian kewenangan pada pendidik tanpa disertai pengembangan
keterampilan yang dibutuhkan untuk melaksanakan KTSP membuat kinerja
pendidikan kembali mundur ke belakang. KTSP hanya jatuh pada formalitas dan
penyesuaian administratif tanpa ada dampak signifikan pada perubahan pedagogi
pengajaran di kelas. KTSP gagal karena semangat pendidikan baru tak ditangkap
dengan baik oleh para pendidik.
Pemaksaan Kurikulum 2013
yang digegas tanpa persiapan memadai bukan hanya mematikan kreativitas yang
sudah coba ditumbuhkan melalui KTSP, melainkan akan jatuh terpuruk pada
kesalahan sama: gagal memahami roh pendidikan baru dan jatuh pada sekadar
formalitas karena absennya keterampilan pendidik. Gejala kembalinya pada
formalitas sudah terlihat saat guru mengisi kolom rapor penilaian semester
gasal Kurikulum 2013 dalam Sistem Informasi Penilaian (SIP) yang didesain
tanpa memahami realitas dan kondisi para guru. Kerumitan penilaian dan
banyaknya item yang perlu diobservasi membuat guru akhirnya
mempergunakan metode lama dalam menilai siswa.
Kurikulum 2013 adalah representasi
kekerasan struktural sistemik yang dilakukan penguasa terhadap guru, siswa,
dan orangtua melalui sebuah kebijakan yang wajib diterima oleh mereka tanpa
ada ruang bertanya. Dibuatnya buku tunggal untuk siswa dan guru tak lagi
menyisakan ruang bagi kreasi dan inovasi dalam pembelajaran.
Sentralisme
seperti ini bertentangan dengan keragaman dan kebinekaan. Realitas kehidupan
bangsa Indonesia yang bineka tak mungkin diatasi dengan sistem sentralisasi
dan penyeragaman pendidikan. Tak dihargainya keragaman melahirkan perilaku
kekerasan fisik yang merenggut jiwa-jiwa masa depan bangsa ini secara
sia-sia. Kematian siswa karena ospek dan MOS tetap terjadi. Perkelahian,
tawuran, pelecehan seksual, dan tindak amoral di lingkungan pendidikan tetap
terjadi. Kekerasan fisik seperti ini pada hakikatnya terjadi karena
pendidikan kita gagal mengajarkan rasa penghargaan terhadap martabat
individu. Dalam sebuah sistem yang terpusat, individu lebur dalam sistem.
Puncak kekerasan dalam pendidikan
ini adalah ketika para siswa dibagi-bagi dan dinilai berdasarkan kadar
otentisitas dan keaslian kualitasnya. Siswa yang lulus tanpa remedial adalah
siswa asli atau ori. Siswa yang lulus melalui remedial dianggap siswa kualitas 1 (KW-1) atau kualitas 2
(KW-2). Penggolongan seperti ini bentuk kekerasan simbolis. Siswa disimbolkan
barang produksi tiruan yang punya kualitas berbeda meski memiliki fungsi
sama. Ironisnya, hadiah akhir tahun berupa
kekerasan simbolis ini justru diberikan Mendikbud bangsa Indonesia, M Nuh!
Visi kebinekaan
Pendidikan kita perlu dikembalikan
pada visi kebinekaan yang menghargai individu sebagai pribadi yang unik.
Penghargaan atas keunikan individu mesti diterjemahkan dalam kebijakan
pendidikan yang mengutamakan kreativitas dan inovasi dari para guru untuk
mengembangkan metode dan materi ajarnya secara relevan dan kontekstual sesuai
dengan kultur dan budaya setempat. Pedagogi kontekstual disertai pendekatan
individual dalam proses belajar dan evaluasi mesti menjadi cara bertindak
bagi setiap pendidikan.
Pendidikan berjiwa kebinekaan
menghargai pengalaman, pengetahuan, dan latar belakang individu siswa sebagai
pembelajar. Individu, apa pun keberadaan mereka, harus dihargai sebagai
bernilai, berharga, dan bermartabat dalam dirinya sendiri. Pendidikan yang
bermartabat tak mengotak-ngotakkan siswa atau menggolong-golongkan siswa
berdasarkan kecerdasannya, tetapi menumbuhkembangkan individu sesuai
potensinya secara maksimal. Individu bukan benda. Pendidikan tak pantas
memperlakukan siswa sebagai benda.
Mestinya 2014 menjadi tahun
harapan. Tahun di mana kebinekaan jadi pijakan pendidikan. Kita belajar dari
kesalahan masa lalu dan bangkit melawan perilaku kekerasan akibat kebijakan
pendidikan yang abai pada kekayaan dan keunikan individu. Menghidupkan visi
kebinekaan kemendesakan demi sebuah pendidikan yang bermartabat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar