Meluruskan
Demokrasi
Yudi Latif ; Pemikir Kebangsaan
dan Kenegaraan
|
KOMPAS,
21 Januari 2014
DEMOKRASI sudah
gagal bahkan sebelum dijalankan. Akar dari segala akar kegagalan demokrasi
adalah kekeliruan pemahaman. Berpuluh-puluh tahun lalu ratusan buku dan dunia
akademik mengajarkan bahwa demokrasi berasal dari akar kata demos (rakyat)
dan kratos/cratein (pemerintahan),
dengan menunjuk Athena sebagai pangkal tradisi demokrasi.
Adalah John Keane,
mahaguru jempolan dalam sejarah demokrasi dari Universitas Westminster
(Inggris), yang melihat kesalahpahaman umum ini dan mengoreksinya dalam The
Life and Death of Democracy (2009).
Dalam pandangannya, akar istilah demokrasi masih merupakan sesuatu yang
misterius. Namun, ia memastikan bahwa istilah démokratia tidaklah berasal dari Athena.
Kalaupun masih dalam lingkungan kebahasaan sekitar Yunani, istilah itu
mungkin berasal dari periode Mycenaean dan Phoenician, tujuh hingga sepuluh
abad lebih dini dari Athena (1500-1200 SM).
Dalam bahasa Mycenaean
dikenal kata dámos yang merujuk pada kelompok
orang-orang lemah yang menghuni tanah yang sama. Namun, menurut dia, istilah démokratia boleh jadi berakar lebih jauh di
Timur dalam tradisi Sumeria. Di sini dikenal kata dumu yang berarti ’penduduk’ atau
’anak-anak’ dari suatu lokasi geografis.
Keane juga memastikan
bahwa praktik demokratis dari majelis permusyawaratan orang-orang setara
tidaklah berasal dari Yunani. Tradisi majelis dari pemerintahan rakyat
pertama-tama muncul di kawasan Timur Tengah, di sekitar negara yang kini
disebut sebagai Iran, Irak, dan Suriah, atau yang dulu merupakan kawasan
peradaban Sumeria dan Babilonia, yang mulai berkembang sekitar 2500 SM. Dari
sana, tradisi majelis rakyat itu menyebar ke anak benua India sekitar 1500 SM
dan akhirnya diadopsi oleh kota-kota di sekitar Yunani: pertama oleh
Phoenician dan akhirnya oleh Athena sekitar 5 abad SM. Fase pertama sejarah
difusi demokrasi ini berakhir di era awal Islam sebelum abad ke-10.
Dengan penjelasan ini,
Keane ingin meluruskan demokrasi dari bias prasangka Barat. Ia mencontohkan
bias ini dengan menunjuk pemahaman umum bahwa periode setelah kejatuhan
imperium Romawi sering dipandang sebagai zaman gelap kemerosotan demokrasi.
Padahal, menurut dia, ketika di Eropa Selatan demokrasi mengalami pasang
surut, di belahan dunia lainnya—seperti di dunia Islam—demokrasi justru mengalami pasang naik.
Keane ingin menegaskan
bahwa nilai-nilai demokrasi yang bermula dari tradisi ”musyawarah majelis
rakyat” itu sesungguhnya tidak hanya bersumber dari Barat, tetapi juga bisa
ditemukan di belahan dunia lainnya. Bahkan, awalnya muncul di Timur.
Selain itu, Keane juga
menyimpulkan bahwa makna demokrasi pun terus berubah sepanjang waktu. Apa yang
disebut ”rakyat” dalam demokrasi Athena, misalnya, tidak termasuk perempuan,
budak, dan orang-orang di luar polis (kota). Bahkan, ”rakyat” dalam demokrasi
Amerika Serikat tidak termasuk perempuan hingga seusai Perang Dunia II.
”Rakyat” setelah revolusi Perancis lebih berasosiasi pada orang-orang
borjuis, sementara rakyat biasa ditepikan. Bahkan, dalam pemilu di banyak
negara demokratis hari ini, meski secara teoretis melibatkan seluruh rakyat,
partisipasi ”rakyat” dalam pemilu pada umumnya di bawah 50 persen.
Alhasil, tidak ada model
tunggal demokrasi. Suatu model demokrasi yang dijalankan di suatu masyarakat
belum tentu bisa ditiru sepenuhnya oleh masyarakat lain. Gagasan ”demokrasi
permusyawaratan” merupakan usaha sadar dari para pendiri bangsa untuk membuat—dalam
istilah Robert Putnam (1993)—”demokrasi berjalan” (making democracy work), atau apa yang disebut Michael Saward
(2002) ”mengakar” (to take root),
dalam konteks keindonesiaan. Suatu model demokrasi dengan cita-cita
kebudayaan berdasarkan daya cipta, rasa, dan karsa bangsa Indonesia sendiri,
sesuai sifat-sifat ”tanah air”, kondisi sosial, dan perjalanan sejarah
bangsa.
Yang esensial dalam
demokrasi bukanlah langsung atau tidaknya pemilihan atau seberapa banyak
rakyat terlibat, melainkan bagaimana orang-orang yang mewakili rakyat itu
sungguh-sungguh menjunjung daulat rakyat dengan menjadikan rakyat sebagai
subyek yang harus dihormati, bukan obyek tindasan tirani militeristik atau
tirani modal. Daulat rakyat dijunjung dengan mengedepankan permusyawaratan demi kebajikan seluruh rakyat, menjalankan
kepemimpinan hikmat-kebijaksanaan dengan kesiapan mendengar dan menerima
argumen bermutu secara inklusif, serta menunaikan pertanggungjawaban publik
demi keadilan dan kesejahteraan. Semuanya terkandung dalam sila keempat
Pancasila.
Hanya mengandalkan pemilu
dan pilkada langsung, bahkan dengan biaya begitu mahal, tidak membuat
demokrasi yang kita jalankan semakin menjunjung daulat rakyat. Demokrasi era
reformasi justru kian meluaskan kekecewaan publik, seperti tecermin dari
semakin merosotnya kepuasan rakyat pada kinerja pemerintah dan menurunnya
tingkat partisipasi rakyat.
Meskipun rakyat bisa saja
punya andil dalam menciptakan problem demokrasi ini, masalah utamanya
tidaklah pada ”sisi permintaan” (demand
side) seperti sering didalihkan politisi: rendahnya tingkat pendidikan
rakyat, pragmatisme pemilih, dan kurangnya kesadaran politik. Sebaliknya
terletak pada kelemahan ”sisi penawaran” (supply
side) dari ketidakmampuan aktor-aktor politik membangkitkan kepercayaan
rakyat.
Pengalaman menunjukkan,
partisipasi rakyat dalam pemilu/pilkada meningkat seiring kemunculan
figur-figur politik yang dapat membangkitkan kepercayaan publik. Di tengah
apatisme politik, figur politik yang secara tulen menjalankan nilai-nilai demokrasi
Pancasila-lah yang sanggup membangkitkan kembali antusiasme rakyat dalam
demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar