Kalkulasi
Politik
Wawan Mas’udi ; Dosen di JPP Fisipol
UGM
|
KOMPAS,
21 Januari 2014
PREFERENSI publik, sebagaimana
tecermin dari hasil jajak pendapat Kompas terbaru, menunjukkan, popularitas
dan tingkat keterpilihan Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden kian
tidak terbendung.
Sepanjang tiga kali survei yang
digelar Kompas, 2012-2013, dukungan atas Jokowi merangkak dari 17,7
persen (survei pertama, Desember 2012) menuju 43,5 persen (survei akhir
2013). Secara perlahan tetapi pasti preferensi publik tampaknya mulai
didengar dan bahkan diikuti Megawati Soekarnoputri sebagai pemegang hak
prerogatif pencalonan presiden di PDI-P.
Seolah menjadi pengantar publikasi
survei terakhir, wawancara terakhir Megawati dengan Kompas juga
memberikan sinyal kuat bahwa memberi ruang kepemimpinan bagi generasi muda
adalah visi politik yang tengah ditunaikannya (Kompas, 7/1/2014). Sikap dan
tanggapan Jokowi sendiri juga mulai berubah, seolah sedang mengirim pesan
hasil pembicaraan politik tingkat tinggi dan tertutup yang dia lakukan dengan
Megawati dan petinggi PDI-P lainnya atas kemungkinan pencapresan dirinya.
Tegasnya, pengumuman Jokowi sebagai capres PDI-P adalah persoalan pilihan momentum.
Pilihan momentum yang ditentukan hasil akhir kalkulasi berbagai aspek yang
tengah dikaji Megawati dan lingkaran inti PDI-P.
Bagi PDI-P, Pemilu 2014 menjadi
kesempatan emas untuk kembali menjadi pemenang, baik di legislatif maupun
eksekutif. Prakondisi kemenangan sudah tersedia. Sebagai kekuatan ”oposisi”,
berbagai ketidakberesan pengelolaan pemerintahan yang terjadi selama
kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah keuntungan. Negara ini
butuh alternatif dan PDI-P sejauh ini menjadi pilihan paling mungkin.
Menjadi oposan di level nasional,
PDI-P sejauh ini justru berhasil menjadi pemain
politik di level lokal dengan
prestasi yang cukup mumpuni. Kader-kader PDI-P di tingkat lokal berhasil
menjadi penerjemah nyata ideologi dan strategi politik sebagai partai dengan
berbasis marhaen, sekaligus memberikan inspirasi atas model kepemimpinan
politik yang dirindukan oleh segmen terbesar masyarakat Indonesia.
Di antara kedua prakondisi
tersebut, kesuksesan sebagai ”partai penguasa lokal” tampaknya lebih menjadi
penentu besarnya peluang PDI-P menjadi kekuatan terbesar di Pemilu 2014.
Tidak bisa dimungkiri, pesona dan prestasi pemimpin lokal, seperti Jokowi
(Jakarta), Rismaharini (Surabaya), Ganjar Pranowo (Jateng), Teras Narang
(Kalteng), Cornelis (Kalbar), dan Frans Lebu Raya (NTT), menjadi penyumbang
penting atas citra positif PDI-P sebagai partai yang bisa melahirkan
kebijakan-kebijakan konkret dan prorakyat.
Bagi Megawati dan PDI-P, kharisma
tokoh-tokoh yang muncul dari praktik-praktik politik dan pemerintahan di
level lokal bisa bermakna ganda. Di satu sisi menunjukkan keberhasilan
strategi konsolidasi teritorial yang selama 10 tahun terakhir dilakukan,
tetapi sekaligus dilema karena menjadi arus penantang terhadap kader-kader
yang membangun basis politik mulai di nasional.
Seandainya PDI-P hanya
mengandalkan ”prestasi” tokoh-tokoh politik yang duduk di DPR dan di
kepengurusan DPP, tanpa ditopang oleh prestasi pemimpin politik di lokal,
niscaya PDI-P tidak memiliki keunggulan komparatif yang mutlak dengan partai
politik lainnya.
Kompetisi politik internal
Sesolid apa pun kesan yang
dibangun sebuah partai, di dalamnya pasti ada kompetisi politik yang keras
karena itulah watak dasar partai sebagai arena dan jalur ke arah kekuasaan.
Tidak terkecuali PDI-P. Jauh di dalam hubungan politisi-politisi PDI-P,
kemunculan tokoh-tokoh dengan prestasi lokal pada derajat tertentu adalah
kompetitor bagi tokoh-tokoh nasional PDI-P, termasuk di dalamnya Megawati dan
klan Soekarno. Sebagai ”sosok ibu” (bukan sekadar ketua umum) bagi PDI-P,
Megawati tentu sangat memahami kondisi politik dan situasi kebatinan yang
sedang berlangsung di partainya.
Secara personal, sikap memberi
jalan bagi tokoh lain seperti Jokowi sebagai capres 2014 adalah pilihan
rasional dan mudah untuk dilakukannya sebagai pemilik mandat tertinggi PDI-P.
Baginya, menunjuk Jokowi bukanlah bentuk kekalahan politik karena publik
justru akan menilai sebagai sikap politik yang bijak dan dikenang dari
seorang Megawati.
Namun, situasinya lebih rumit bagi
PDI-P sebagai institusi mengingat Megawati perlu memastikan ditunjuknya
Jokowi sebagai capres tidak akan menimbulkan friksi politik terbuka di
internal partai (khususnya menjelang pemilu legislatif). Mengingat prasyarat
pengusungan pasangan capres-cawapres ditentukan sepenuhnya hasil pemilu
legislatif, adalah masuk akal jika PDI-P menghindari kemungkinan potensi
konflik internal sekecil apa pun. Kemungkinan tidak mengumumkan capres
sebelum pemilu legislatif adalah strategi untuk menihilkan konflik. Meski demikian,
belum adanya pengumuman tersebut tidak berarti bahwa PDI-P tidak akan
melakukan kapitalisasi popularitas Jokowi.
Di hari-hari sibuk menjelang
pemilu legislatif, Jokowi memang masih akan menyandang predikat sebagai
Gubernur DKI. Namun, saya yakin PDI-P dan kader-kadernya sudah akan
memperlakukannya sebagai capres. Wacana Jokowi akan dieksploitasi untuk
meningkatkan daya pikat melalui safari politik dan penyertaan wajah Jokowi
dalam berbagai baliho dan spanduk.
Selanjutnya, Megawati juga
sedang melakukan kalkulasi bahwa penunjukan Jokowi akan membawa keuntungan
jangka panjang bagi masa depan generasi Soekarno di PDI-P. Di berbagai
momentum Megawati ingin menunjukkan kepada publik bahwa beliau adalah ”ibu
kandung politik dan ideologis” dari Jokowi. Megawati sedang meyakinkan diri
bahwa Jokowi yang sedang menjadi preferensi publik sebagai capres sudah
benar-benar bertransformasi dari ”seorang pengusaha lokal non-PDI-P” menjadi
”kader utama” PDI-P dan bahkan lebih spesifik ”anak angkat politik” bagi trah
Soekarno.
Seluruh ekspose publik terkait
kebersamaan Megawati (yang sering kali menyertakan Puan Maharani dan
Prananda) adalah cerminan dari hal tersebut. Upaya Megawati berbalas manis.
Jokowi secara luar biasa menunjukkan bahwa ia adalah ”anak politik” yang berbakti
dan siap menjadi pembawa pesan ideologis PDI-P, bahkan seolah sudah bersiap
menjadi ”bapak politik” generasi Soekarno di PDI-P.
Menilik kembali akumulasi
sinyal-sinyal yang berkembang, kalkulasi politik Megawati menghadapi pemilu
legislatif dan khususnya Pemilu Presiden 2014 sudah mendekati titik akhir.
Sinyalemen menunjukkan, pilihan Megawati terhadap Jokowi adalah keniscayaan,
tetapi Megawati tidak akan menyampaikan segera. Jokowi hanya akan
dideklarasikan sebagai capres pada momentum yang sangat menentukan menjelang
pelaksanaan pemilu legislatif 9 April sebagai senjata pamungkas menarik massa
sekaligus sebagai soft launching sempurna
untuk kampanye pemilihan presiden. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar