Kamis, 09 Januari 2014

Memikirkan (lagi) Manajemen di Sekolah Kita

          Memikirkan (lagi) Manajemen di Sekolah Kita

Agus Wibowo  ;   Pemerhati dan Magister Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta
MEDIA INDONESIA,  06 Januari 2014
                                                                                                                        


BANYAK sekolah kita tiba-tiba `melorot' dari segi mutu dan kua litas, bahkan mengalami nasib apes harus gulung tikar. Pada tahun ajaran 2013, sudah beberapa sekolah baik negeri maupun swasta di Bali, Surabaya, Jawa Tengah, dan Bekasi tidak lagi beroperasi. Banyak kasus sekolah, yang semula diincar konsumen lantaran unggul dan jaminan kualitas, menjadi jatuh terpuruk dan sepi peminat. Sebaliknya sekolah yang semula hanya biasa-biasa saja berubah menjadi idola dan diminati masyarakat (Media Indonesia, 11/7/2013).

Fenomena yang terjadi di sebagian besar sekolah kita ternyata bukan disebabkan sumber daya dan fasilitas yang minim. Benar sumber daya manusia (SDM) dan saranaprasarana terkadang menjadi momok ketidakberhasilan sekolah. Namun, problem mendasarnya ternyata manajemen sekolah, terutama peran kepala sekolah yang tidak profesional. Sebetulnya figur kepala sekolah seperti apa yang relevan dengan sekolah kita saat ini? Apa saja peran penting yang harus dimainkannya agar manajemen sekolah bisa berhasil?

Kepala sekolah memang aktor utama penggerak manajemen sekolah. Ahli manajemen seperti Davar Rezania & Mike Henry (2010); Schuler & Susan E Jackson (1997); dan Castetter (1996) sepakat dengan itu. Bahkan, menurut Husaini Usman (2013), pada kondisi budaya kita yang masih cenderung paternalistis, peran kepala sekolah sangat dominan. Penelitian Husaini Usman (2009) sampai pada kesimpulan bahwa meski semua komponen manajemen bagus, bila kepala sekolahnya buruk, bisa dipastikan manajemen sekolah tidak efektif. Tidak ada sekolah yang unggul dipimpin oleh kepala sekolah yang tidak unggul. Kenyataan di lapangan, lanjut Husaini Usman, menunjukkan bahwa sekolah yang hebat dipimpin oleh kepala sekolah yang hebat pula.

Selera penguasa?

Sayangnya, di era otonomi daerah saat ini, kompetensi tidak menjadi dasar utama pengangkatan kepala sekolah. Apalagi dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2005, pemerintah kabupaten/kota memiliki kewenangan penuh dalam pengangkatan kepala sekolah.

Sebagaimana kepala dinas pendidikan, tulis Suyanto (2010), jabatan kepala sekolah--negeri terutama--lebih sering bersinggungan dengan aspek politis. Kedekatan de ngan kepala daerah/wali kota, kepala dinas di dinas pendidikan, atau seksi mapenda di Kementerian Agama menjadi semacam `kartu sakti' untuk menjadi kepala sekolah. 

Mereka yang pandai `mengambil hati' dan berada dalam barisan--tim sukses--pemenangan bupati/wali kota akan dengan mudah diangkat menjadi kepala sekolah meski dengan kompetensi minim.

Sementara itu, kalangan profesional yang jauh dengan kekuasaan jangan berharap lebih. Benar ada kepala sekolah yang dipilih secara profesional, tapi jumlahnya minim, bahkan bisa dihitung dengan jari.

Senada dengan Suyanto, Tatang S Iskandar (2010) sampai pada kesimpulan bahwa jabatan kepala sekolah menjadi salah satu aset politik untuk melanggengkan kekuasaan. Itulah sebabnya proses pengangkatan kepala sekolah tidak dilaksanakan berdasarkan sekuensial yang baku, melainkan bergantung pada selera dan kemauan penguasa. Fenomena demikian juga diakui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam kongres PGRI Juli 2013, Presiden juga mengaku mendapat pengaduan mengenai pemanfaatan kepala sekolah dan guru sebagai alat berpolitik dalam pemilihan kepala daerah (Media Indonesia, 4/7/2013).

Ketika mekanisme pengangkatan kepala sekolah sudah dipengaruhi aspek politis, wajar jika Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 dan Nomor 28 Tahun 2010 tidak efektif. Manajemen berbasis sekolah, yang mestinya mengutamakan prinsip partisipasi masyarakat, kemandirian, keluwesan, transparansi, efektivitas, efi siensi, dan akuntabilitas menjadi slogan semata. Masyarakat hanya sebagai pelengkap karena keputusan sudah digariskan secara komando oleh atasan.

Kepala sekolah selalu merasa tidak nyaman dalam melaksanakan tugas karena sewaktu-waktu bisa saja diganti. Ia akan berusaha untuk terus menyenangkan penguasa yang mengangkatnya agar tidak dipecat di tengah jalan. Di sisi lain, ada semacam politik balas budi dan balas dendam dari para penguasa. Guru yang minim kompetensi karena menjadi tim sukses diangkat sebagai kepala sekolah. Akibat fenomena tersebut, yang berkembang kemudian guru berpikir politis, sedangkan tugas utama mendidik dan mencerahkan anak bangsa di sekolah diabaikan. Ironis!

Maka untuk menjamin tersedianya kepala sekolah dan guru yang baik, Kemendikbud akan mensyaratkan calon kepala sekolah harus kompeten dan memiliki leadership. Menurut Wakil Mendikbud Musliar Kasim (2013), hal itu menjadi penting agar kepala sekolah tidak didominasi para tim sukses bupati, wali kota, atau gubernur tertentu.

Utamakan kompetensi

Demi pendidikan anak bangsa ke depan, mestinya para penguasa berpikir ulang. Mereka tidak boleh gegabah dalam mengangkat atau memberhentikan kepala sekolah. Jika terpaksa melakukan politik balas budi, pertimbangan kompetensi tetap diutamakan. Jabatan kepala sekolah mestinya tidak diserahkan kepada sembarang orang.

Menurut Wuradji (2009:95), kepala sekolah tidak sekadar menjadi pemimpin dan manajer sekolah yang andal, tetapi juga harus mampu mengembangkan kurikulum dan pembelajaran. Sebagai seorang pemimpin, ia harus mampu memengaruhi guru, staf, dan semua warga sekolah, untuk mengikuti dan menjalankan arahannya dalam menjalankan tugas pengelolaan sekolah yang telah ditetapkan bersama. Singkatnya, dia harus menjadi motor efektif penggerak bagi sumber daya yang ada di sekolah.

Peran sebagai manajer mengharuskan kepala sekolah mampu melaksanakan fungsi-fungsi manajemen, meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian. Kepala sekolah harus mampu membangun jiwa kolegialitas di antara para guru, membangun mitra kerja dengan orangtua/ masyarakat; mengembangkan nilai-nilai positif untuk maju dan bekerja keras, dan menggerakkan sumber daya organisasi ke arah pencapaian tujuan sekolah.

Peran kepala sekolah sebagai pengembang kurikulum harus diupayakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran yang meliputi penyusunan program, metode, dan evaluasi pembelajaran yang direkomendasikan kepada guru untuk dilaksanakan dalam proses belajar mengajar di kelas. Selain itu, kepala sekolah juga dapat melakukan supervisi dan evaluasi pembelajaran bersama-sama dengan guru secara rutin untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas dan kuantitas pembelajaran, serta memantau perkembangan hasil belajar peserta didik.

Tidak kalah pentingnya, kepala sekolah harus menjadi motivator ulung bagi para guru dan bawahannya. Motivasi dapat diartikan sebagai tenaga pendorong atau penarik yang menyebabkan adanya tingkah laku ke arah suatu tujuan tertentu (Morgan, 1986). Dengan adanya motivasi tersebut, diharapkan mereka yang diberi tugas akan berbuat sebaik mungkin demi tercapainya tujuan sekolah.

Di sisi lain, keteladanan menjadi penting. Kepala sekolah, guru, dan staf harus berpegang pada prinsip konsistensi dalam kata, sikap, dan perbuatan. Akhirnya, kita tidak ingin semakin banyak sekolah yang mutunya jatuh terpuruk apalagi sampai gulung tikar. Kuncinya ada di kepala sekolah yang profesional, bukan semata-mata mengutamakan kepentingan politik praktis.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar