Memikirkan (lagi)
Manajemen di Sekolah Kita
Agus Wibowo ;
Pemerhati dan Magister Pendidikan Universitas Negeri
Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 06 Januari 2014
BANYAK sekolah kita tiba-tiba
`melorot' dari segi mutu dan kua litas, bahkan mengalami nasib apes harus
gulung tikar. Pada tahun ajaran 2013, sudah beberapa sekolah baik negeri
maupun swasta di Bali, Surabaya, Jawa Tengah, dan Bekasi tidak lagi
beroperasi. Banyak kasus sekolah, yang semula diincar konsumen lantaran
unggul dan jaminan kualitas, menjadi jatuh terpuruk dan sepi peminat. Sebaliknya
sekolah yang semula hanya biasa-biasa saja berubah menjadi idola dan diminati
masyarakat (Media Indonesia, 11/7/2013).
Fenomena yang terjadi di sebagian
besar sekolah kita ternyata bukan disebabkan sumber daya dan fasilitas yang
minim. Benar sumber daya manusia (SDM) dan saranaprasarana terkadang menjadi
momok ketidakberhasilan sekolah. Namun, problem mendasarnya ternyata
manajemen sekolah, terutama peran kepala sekolah yang tidak profesional.
Sebetulnya figur kepala sekolah seperti apa yang relevan dengan sekolah kita
saat ini? Apa saja peran penting yang harus dimainkannya agar manajemen
sekolah bisa berhasil?
Kepala sekolah memang aktor utama
penggerak manajemen sekolah. Ahli manajemen seperti Davar Rezania & Mike
Henry (2010); Schuler & Susan E Jackson (1997); dan Castetter (1996)
sepakat dengan itu. Bahkan, menurut Husaini Usman (2013), pada kondisi budaya
kita yang masih cenderung paternalistis, peran kepala sekolah sangat dominan.
Penelitian Husaini Usman (2009) sampai pada kesimpulan bahwa meski semua
komponen manajemen bagus, bila kepala sekolahnya buruk, bisa dipastikan
manajemen sekolah tidak efektif. Tidak ada sekolah yang unggul dipimpin oleh
kepala sekolah yang tidak unggul. Kenyataan di lapangan, lanjut Husaini
Usman, menunjukkan bahwa sekolah yang hebat dipimpin oleh kepala sekolah yang
hebat pula.
Selera
penguasa?
Sayangnya, di era otonomi daerah
saat ini, kompetensi tidak menjadi dasar utama pengangkatan kepala sekolah. Apalagi
dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2005, pemerintah
kabupaten/kota memiliki kewenangan penuh dalam pengangkatan kepala sekolah.
Sebagaimana kepala dinas
pendidikan, tulis Suyanto (2010), jabatan kepala sekolah--negeri
terutama--lebih sering bersinggungan dengan aspek politis. Kedekatan de ngan
kepala daerah/wali kota, kepala dinas di dinas pendidikan, atau seksi mapenda
di Kementerian Agama menjadi semacam `kartu sakti' untuk menjadi kepala
sekolah.
Mereka yang pandai `mengambil hati' dan berada dalam barisan--tim
sukses--pemenangan bupati/wali kota akan dengan mudah diangkat menjadi kepala
sekolah meski dengan kompetensi minim.
Sementara itu, kalangan profesional yang jauh dengan kekuasaan jangan
berharap lebih. Benar ada kepala sekolah yang dipilih secara profesional,
tapi jumlahnya minim, bahkan bisa dihitung dengan jari.
Senada dengan Suyanto, Tatang S
Iskandar (2010) sampai pada kesimpulan bahwa jabatan kepala sekolah menjadi
salah satu aset politik untuk melanggengkan kekuasaan. Itulah sebabnya proses
pengangkatan kepala sekolah tidak dilaksanakan berdasarkan sekuensial yang
baku, melainkan bergantung pada selera dan kemauan penguasa. Fenomena
demikian juga diakui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam kongres
PGRI Juli 2013, Presiden juga mengaku mendapat pengaduan mengenai pemanfaatan
kepala sekolah dan guru sebagai alat berpolitik dalam pemilihan kepala daerah
(Media Indonesia, 4/7/2013).
Ketika mekanisme pengangkatan
kepala sekolah sudah dipengaruhi aspek politis, wajar jika Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 dan Nomor 28 Tahun 2010 tidak
efektif. Manajemen berbasis sekolah, yang mestinya mengutamakan prinsip
partisipasi masyarakat, kemandirian, keluwesan, transparansi, efektivitas, efi
siensi, dan akuntabilitas menjadi slogan semata. Masyarakat hanya sebagai
pelengkap karena keputusan sudah digariskan secara komando oleh atasan.
Kepala sekolah selalu merasa tidak
nyaman dalam melaksanakan tugas karena sewaktu-waktu bisa saja diganti. Ia
akan berusaha untuk terus menyenangkan penguasa yang mengangkatnya agar tidak
dipecat di tengah jalan. Di sisi lain, ada semacam politik balas budi dan
balas dendam dari para penguasa. Guru yang minim kompetensi karena menjadi
tim sukses diangkat sebagai kepala sekolah. Akibat fenomena tersebut, yang
berkembang kemudian guru berpikir politis, sedangkan tugas utama mendidik dan
mencerahkan anak bangsa di sekolah diabaikan. Ironis!
Maka untuk menjamin tersedianya
kepala sekolah dan guru yang baik, Kemendikbud akan mensyaratkan calon kepala
sekolah harus kompeten dan memiliki leadership.
Menurut Wakil Mendikbud Musliar Kasim (2013), hal itu menjadi penting agar
kepala sekolah tidak didominasi para tim sukses bupati, wali kota, atau
gubernur tertentu.
Utamakan
kompetensi
Demi pendidikan anak bangsa ke
depan, mestinya para penguasa berpikir ulang. Mereka tidak boleh gegabah
dalam mengangkat atau memberhentikan kepala sekolah. Jika terpaksa melakukan
politik balas budi, pertimbangan kompetensi tetap diutamakan. Jabatan kepala
sekolah mestinya tidak diserahkan kepada sembarang orang.
Menurut Wuradji (2009:95), kepala
sekolah tidak sekadar menjadi pemimpin dan manajer sekolah yang andal, tetapi
juga harus mampu mengembangkan kurikulum dan pembelajaran. Sebagai seorang
pemimpin, ia harus mampu memengaruhi guru, staf, dan semua warga sekolah,
untuk mengikuti dan menjalankan arahannya dalam menjalankan tugas pengelolaan
sekolah yang telah ditetapkan bersama. Singkatnya, dia harus menjadi motor
efektif penggerak bagi sumber daya yang ada di sekolah.
Peran sebagai manajer mengharuskan
kepala sekolah mampu melaksanakan fungsi-fungsi manajemen, meliputi
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian. Kepala sekolah
harus mampu membangun jiwa kolegialitas di antara para guru, membangun mitra
kerja dengan orangtua/ masyarakat; mengembangkan nilai-nilai positif untuk
maju dan bekerja keras, dan menggerakkan sumber daya organisasi ke arah
pencapaian tujuan sekolah.
Peran kepala sekolah sebagai
pengembang kurikulum harus diupayakan untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran yang meliputi penyusunan program, metode, dan evaluasi
pembelajaran yang direkomendasikan kepada guru untuk dilaksanakan dalam
proses belajar mengajar di kelas. Selain itu, kepala sekolah juga dapat
melakukan supervisi dan evaluasi pembelajaran bersama-sama dengan guru secara
rutin untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas dan kuantitas
pembelajaran, serta memantau perkembangan hasil belajar peserta didik.
Tidak kalah pentingnya, kepala
sekolah harus menjadi motivator ulung bagi para guru dan bawahannya. Motivasi
dapat diartikan sebagai tenaga pendorong atau penarik yang menyebabkan adanya
tingkah laku ke arah suatu tujuan tertentu (Morgan, 1986). Dengan adanya
motivasi tersebut, diharapkan mereka yang diberi tugas akan berbuat sebaik
mungkin demi tercapainya tujuan sekolah.
Di sisi lain, keteladanan menjadi
penting. Kepala sekolah, guru, dan staf harus berpegang pada prinsip
konsistensi dalam kata, sikap, dan perbuatan. Akhirnya, kita tidak ingin
semakin banyak sekolah yang mutunya jatuh terpuruk apalagi sampai gulung
tikar. Kuncinya ada di kepala sekolah yang profesional, bukan semata-mata
mengutamakan kepentingan politik praktis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar