Melawan
Bosan dengan Berpikir Kreatif
Ahmad Baedowi ;
Direktur Pendidikan Yayasan Sukma,
Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 06 Januari 2014
SEORANG guru agama pada
sebuah sekolah menengah pertama (SMP) di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat,
mengeluh tentang rasa jenuh dan bosan yang menerpanya setiap saat ketika
mengajar. Perasaan bosan dalam mengajar seperti virus yang setiap saat
menggerus keyakinannya bahwa mengajar ialah ibadah.
Perasaan bosan juga
muncul karena apa yang diajarkannya kepada siswa selalu harus diulang dalam
rangkaian tes dan evaluasi yang hanya mengejar angka-angka kelulusan siswa
sebagai penanda berakhirnya rangkaian proses belajar-mengajar.
Alhasil, karena disorientasi
dalam mengajar, bisa dikatakan bahwa perasaan bosan menerpa hampir seluruh
guru di sekolah. Penyebabnya selalu tidak tunggal, tetapi banyak faktor.
Namun, jika diurut secara saksama faktor dominan apa yang menyebabkan
munculnya perasaan bosan para guru, ternyata ialah minimnya imajinasi kreatif
dalam melakukan proses belajar-mengajar. Minimnya imajinasi kreatif lebih
banyak disebabkan ketergantungan yang tinggi kepada bahan ajar dan
instruksi-instruksi tiada henti dari para kepala sekolah, pengawas, dan dinas terkait tentang kurikulum.
Bukti dan bentuk
kebosanan lainnya saya dapati dari ratusan kali workshop tentang kurikulum
2013. Ketika mengajak para guru untuk mengubah mindset atau cara pandang tentang mengapa kurikulum harus
berubah, saya tak menggunakan lembar demi lembar slide Rhenald Kasali yang disediakan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud). Padahal, substansi perubahan paradigma tentang
kurikulum dalam rangkaian proses pelatihan kurikulum sangatlah penting.
Karena itu, menurut hemat saya, daripada memberikan mereka paradigma
perubahan dari tuntutan global yang belum tentu cocok dengan gaya berpikir
guru, lebih baik mengajak mereka untuk melihat persoalan kreativitas dari
sisi mereka sendiri.
Imajinasi visual
Dalam setiap workshop, saya selalu
meminta para guru untuk membuat imajinasi visual tentang
kurikulum. Imajinasi visual didasarkan pada teori belajar berbasis otak (brainbased learning theories) yang
kurang lebih menyebutkan setiap kata yang diucapkan atau dibaca seseorang
sesungguhnya ditangkap otak kita secara visual atau dalam bentuk gambar.
Misal, ketika kata ‘gajah’ saya sebut, imajinasi para guru tentang gajah
amatlah beragam. Ada yang menangkap gambar belalainya, gading, kaki dan
badannya yang besar, dan kupingnya yang lebar. Tak pernah sekali pun otak
kita menangkap kata gajah dalam bentuk rangkaian huruf g, a, j, a, dan h.
Dengan berangkat dari
teori itu, saya minta para guru untuk membuat definisi kurikulum secara
visual. Hasilnya? Hampir semua guru selalu memandang negatif soal kurikulum
karena imajinasi visual mereka tentang kurikulum tak jauh dari gambar dokumen
(lesson plan), buku, pengawas,
siswa, sekolah, uang, pensil, wajah orang
dinas pendidikan, wajah menteri, benang kusut, dan sebagainya. Jika ditanya lebih
lanjut, hampir semua mengakui imajinasi mereka soal kurikulum sangatlah
negatif, bahkan cenderung traumatik. Hal itu disebabkan selama ini
tuntutan soal kurikulum lebih banyak bersifat formal sehingga menghambat
kreativitas guru dalam melakukan proses belajar-mengajar yang kreatif dan
menyenangkan.
Padahal, sejatinya
kreativitas ialah anugerah Tuhan yang hampir pasti dimiliki setiap manusia.
Hanya, kreativitas dapat memiliki banyak
makna, bergantung pada aspek dan bidang apa yang akan digeluti seseorang.
Sebagai bagian dari proses bekerja pikiran atau inteligensia manusia,
kreativitas kerap jarang bisa dipahami secara langsung, bahkan oleh seseorang
yang disebut kreatif sekalipun. Karena itu, benarlah jika kreativitas
didefinisikan sebagai proses mental dan sosial yang melibatkan daya kerja
otak yang berusaha menggabungkan konsep-konsep yang ada dengan ide-ide
tertentu yang belum terlihat wujudnya.
Berpikir kreatif
merupakan proses mental yang melibatkan pemunculan gagasan atau anggitan (concept) baru, atau hubungan baru
antara gagasan dan anggitan yang sudah ada. Dalam bahasa Guilford (dalam
Munandar, 2009) kemampuan itu disebut berpikir divergen atau pemikiran
menjajaki bermacam-macam alternatif jawaban terhadap suatu persoalan yang
sama benarnya. Perkembangan kemampuan berpikir kreatif dipengaruhi dua faktor utama; keturunan dan lingkungan. Jika
melihat pengalaman itu, jelas hambatan kreativitas guru lebih banyak
disebabkan pengaruh lingkungan dan sistem pendidikan yang melihat kurikulum
secara tidak kreatif.
Faktor lingkungan
Padahal, sebetulnya semua orang
diciptakan kreatif. Lingkunganlah yang membuat potensi kreatif itu tidak
dapat berkembang dengan optimal. Di antara kendala mental yang menghambat
perkembangan kreativitas antara lain ialah kesulitan untuk mencari jawaban yang
benar (trying to find the ‘right’ answer).
Salah satu dampak buruk dari
pendidikan formal ialah fokusnya pada jawaban benar untuk pertanyaan atau masalah
tertentu. Meskipun pendekatan itu membantu kita melakukan fungsi-fungsi sosial
dalam masyarakat, cara tersebut berakibat buruk bagi pengembangan pemikiran kreatif
individu. Orang kemudian banyak mengalami kesulitan ketika harus
menyelesaikan permasalahan kehidupan nyata yang tidak hitam-putih, ambigu.
Karena faktor lingkungan,
para guru cenderung `patuh' secara membabi buta terhadap aturan soal
kurikulum, misalnya, sehingga mengikuti aturan (following rules) menjadi jalan satu-satunya untuk selamat dari
penilaian para pengawas.
Kebiasaan itu tentu saja membunuh kreativitas guru karena mereka tak berani
menabrak aturan. Padahal, terkadang aturan harus dipecah, ditabrak, untuk
berinovasi. Tentu saja hal itu berisiko. Jadi, apa yang harus kita lakukan?
Melanggar aturan mental. Cukup dengan bertanya, “Apa aturan saat ini yang menghentikan saya untuk menjadi lebih
produktif?“ Kita selalu dapat menantang aturan tertentu tanpa harus
melanggarnya. Sering kali, selama proses kreatif ini, kita akan menemukan
bahwa banyak hal inovatif dapat dicapai jika aturan dirusak atau diubah. Persoalannya,
nyaris tak ada keberanian dari para guru untuk melawan aturan secara kreatif.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar