Kamis, 09 Januari 2014

Pertaruhan Demokrasi di 2014

                                  Pertaruhan Demokrasi di 2014

Umbu TW Pariangu  ;   Dosen Fisipol Undana, Kupang
MEDIA INDONESIA,  07 Januari 2014
                                                                                                                        


MESIN waktu telah bergulir dan mengunyah setiap peristiwa dan kenangan. Tanpa terasa kita telah merapat di gerbang tahun yang baru. Gemuruh kenduri perayaan tahun baru disertai letusan kembang api menjadi simbol penuntasan perjalanan waktu di 2013. Ibarat buku dengan lembaran baru, begitulah waktu yang terkandung di 2014 ini. Di tengah resolusi yang menderu bagai mesin lokomotif, tahun ini kita akan terjun dalam kontestasi politik. Sebuah momentum yang menyeberangkan kita ke masamasa penentuan garis politik demokrasi menuju masa depan yang lebih baik dan beradab.

Pada tahun ini pemilihan legislatif dan presiden digelar. Gelombang persaingan kekuasaan sudah lama mendidih dalam ritus akrobatik politik yang terus memadati penglihatan dan layar informasi rakyat. Di tengah derasnya hujan pesimisme publik di setiap dimensi hidup mereka, para kontestan politik tak kalah atraktif mengadu kehebatan dan citra sembari datang menyodorkan payung harapan positif di bawah langit-langit Indonesia nan hitam.

Tercatat 12 partai politik (parpol) yang telah diverifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan memperebutkan kurang lebih 186,6 juta suara rakyat pemilih. Hanya partai yang memperoleh presidential threshold 3,5% yang berhak mengusung capres, sementara partai yang gagal menyentuh `angka keramat' tersebut harus berkoalisi. Itu pun menurut lembaga survei, hanya 3-4 parpol yang akan lolos ke Senayan.

Ujian

Tahun 2014 merupakan momen ujian, akankah parpol mempertahankan dukungan politik dari konstituen dan publik di tengah gemuruh persoalan etika dan kinerja politisi yang muram? Berbagai kasus korupsi yang mendera seakan membenamkan wibawa partai sebagai instrumen edukasi politik, demokrasi, dan pencetak bibit-bibit pemimpin masa depan. Partai Demokrat (PD), misalnya, pada 2013 menjadi partai `macan ompong' seiring kader-kadernya yang terjerumus dalam pusaran korupsi.

Lengsernya Andi Alifian Mallarangeng dari jabatan menpora dan terjungkalnya Anas Urbaningrum dari kursi Ketua Umum PD terkait megaskandal Hambalang, menjadi puncak goyahnya partai berlambang Mercy itu. Upaya mengambil alih kemudi ketua umum oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan perhelatan konvensi capres pun belum bisa meredakan kemarahan elektoral publik yang terus memaksa partai pemenang Pemilu 2009 itu terhunjam di undakan elektabilitas terbawah. Begitu pula dengan sayap elektoral Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang terluka karena petingginya terseret badai korupsi. Padahal sebelumnya PKS ikon partai kader yang mengandalkan kapitalisasi suara politik melalui jejaring kaderisasi dan mobilitas politik lewat gerakan-gerakan sosial.

Partai Golkar yang sedang menata strategi untuk mengembalikan dominasinya di tangga teratas pemilu juga tak luput dari bayangan kelam. Penentuan capresnya yang diselimuti kontroversi karena tak kunjung mengangkat elektabilitas hingga paruh terakhir menjelang pemilu hingga terseretnya Ratu Atut Chosiyah, politikus Golkar yang juga Gubernur Banten, dalam kasus korupsi atau dinasti rente, membuat jalan Golkar dalam pemilu kian terjal.

Relatif hanya PDI Perjuangan yang menikmati udara segar. Namun, tak berarti partai itu juga bakal melenggang mulus. Selain efek ritual korupsi yang sudah menjadi tradisi umum semua partai sebagaimana yang terendap di kesadaran publik saat ini, naluri kemenangan politik partai moncong putih di Pemilu 2014 berpotensi terjegal oleh `syahwat kembar' elite yang sayup-sayup masih berkukuh mencalonkan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sebagai presiden.

Padahal menurut survei Indikator Politik (1 Desember 2013), bila PDIP mengusung Megawati sebagai capres, dukungan publik akan beralih ke Prabowo (29,1%) dan Aburizal Bakrie alias Ical (23,8%). Perolehan suara Megawati melorot di angka 17,7%, bahkan jumlah responden yang tak menjawab meningkat menjadi 29%. Namun, keunggulan Prabowo dan Ical akan terseok bila capres PDIP ialah Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (49,1%).

Prabowo hanya mengantongi 17,5% dan Ical 13,2%, sedangkan responden yang tak menjawab turun di angka 20,2%. Fenomena `syahwat kembar' itu seakan menegaskan politik model Babilonia yang meski sama-sama menggunakan bahasa demos (rakyat) untuk berpolitik, tetapi di antara sesama elite politik sendiri tak pernah saling memahami (confusion of tounge) sehingga fatal bagi soliditas dan masa depan partai.

Politik borjuis

Keampuhan Joko Widodo (Jokowi) merajai survei di satu sisi menjadi simbol kerinduan rakyat pada figur pemimpin rendah hati dan melayani. Jokowi mampu merekonstruksi logika, kriteria, ataupun euforia kepemimpinan baru yang tidak hanya terpaku pada pasak pencitraan, tetapi lebih pada kesahajaan prinsip yang dibingkai blusukan dan kerja nyata. Namun, di sisi lain, superiotas Jokowi bisa mengecilkan prestasi figur-figur lain yang selama ini juga bertengger di hati publik, tetapi tidak disorot oleh gemerlap pemberitaan pers. Ketidakseimbangan rivalitas tersebut bisa mereduksi nalar publik untuk mengamati dan menilai calon pemimpin-pemimpinnya secara lebih komprehensif dan rasional.

Karena itu, survei opinion leader ‘mencari lawan Jokowi’ yang dilakukan oleh Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) baru-baru ini hendaknya dimaknai sebagai jalan alternatif untuk menemukan sosok pemimpin bangsa yang tidak saja berbasiskan emotif-popularitas, tetapi juga kapabilitas dan produktivitas terutama dalam mentraksaksikan gagasan. Dalam survei tersebut muncul lima tokoh yang dinominasikan 61 pakar (opinion leader) yang pantas menjadi capres, yakni Anies Baswedan mendapat poin sebesar 7,04, Basuki Tjahaja Purnama (7,28), Tri Rismaharini (7,38), Chairul Tanjung (6,43), dan Abraham Samad (6,42).
Mereka dinilai memiliki rekam jejak kepemimpinan yang sangat layak disandingkan dengan Jokowi untuk bertempur memenangi hati rakyat.

Persoalannya, bagaimana figurfigur tersebut bisa terlegitimasi dalam proses seleksi politik di mesin partai, sementara partaipartai yang ada sudah mengantongi capres masing-masing. Di tengah era komersialisasi politik dengan judul utamanya liberalisasi politik, agak sulit bagi partai untuk melembagakan seleksi kepemimpinan yang meritokratis karena tumpuan hidup mesin partai sangat dideterminasi oleh pasokan sumber daya dan jaringan ekonomi.

Itu pula yang menyublimasi proses demokrasi kita sehingga kualitas gagasan hancur lebur oleh gelombang pasang demokrasi borjuis. Tahun 2013 ditutup dengan noda tebal di samping bintik-bintik keberhasilan. Meski demikian, di 2014 ini, optimisme kebangsaan wajib dinyalakan. Pemilu 2014 harus menjadi entropi bagi bangsa ini untuk keluar dari labirin krisis moral dan etos. Ia harus menjadi pertaruhan akhir dari energi tersisa bangsa yang selama ini terpendam dalam diri sosok-sosok pemimpin yang masih berpikiran jernih dan revolutif. Lewat Pemilu 2014 rakyat akan menilai mana politisi dan pemimpin yang loyang dan yang emas.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar