Pertaruhan
Demokrasi di 2014
Umbu TW Pariangu ;
Dosen Fisipol Undana, Kupang
|
MEDIA
INDONESIA, 07 Januari 2014
MESIN waktu telah bergulir dan mengunyah setiap peristiwa dan kenangan.
Tanpa terasa kita telah merapat di gerbang tahun yang baru. Gemuruh kenduri
perayaan tahun baru disertai letusan kembang api menjadi simbol penuntasan
perjalanan waktu di 2013. Ibarat buku dengan lembaran baru, begitulah waktu
yang terkandung di 2014 ini. Di tengah resolusi yang menderu bagai mesin
lokomotif, tahun ini kita akan terjun dalam kontestasi politik. Sebuah
momentum yang menyeberangkan kita ke masamasa penentuan garis politik demokrasi
menuju masa depan yang lebih baik dan beradab.
Pada tahun ini
pemilihan legislatif dan presiden digelar. Gelombang persaingan kekuasaan
sudah lama mendidih dalam ritus akrobatik politik yang terus memadati
penglihatan dan layar informasi rakyat. Di tengah derasnya hujan pesimisme
publik di setiap dimensi hidup mereka, para kontestan politik tak kalah
atraktif mengadu kehebatan dan citra sembari datang menyodorkan payung
harapan positif di bawah langit-langit Indonesia nan hitam.
Tercatat 12 partai
politik (parpol) yang telah diverifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)
akan memperebutkan kurang lebih 186,6 juta suara rakyat pemilih. Hanya partai
yang memperoleh presidential threshold 3,5% yang berhak mengusung capres,
sementara partai yang gagal menyentuh `angka keramat' tersebut harus
berkoalisi. Itu pun menurut lembaga survei, hanya 3-4 parpol yang akan lolos
ke Senayan.
Ujian
Tahun 2014 merupakan
momen ujian, akankah parpol mempertahankan dukungan politik dari konstituen
dan publik di tengah gemuruh persoalan etika dan kinerja politisi yang muram?
Berbagai kasus korupsi yang mendera seakan membenamkan wibawa partai sebagai
instrumen edukasi politik, demokrasi, dan pencetak bibit-bibit pemimpin masa
depan. Partai Demokrat (PD), misalnya, pada 2013 menjadi partai `macan
ompong' seiring kader-kadernya yang terjerumus dalam pusaran korupsi.
Lengsernya Andi
Alifian Mallarangeng dari jabatan menpora dan terjungkalnya Anas Urbaningrum
dari kursi Ketua Umum PD terkait megaskandal Hambalang, menjadi puncak
goyahnya partai berlambang Mercy itu. Upaya mengambil alih kemudi ketua umum
oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan perhelatan konvensi capres pun
belum bisa meredakan kemarahan elektoral publik yang terus memaksa partai
pemenang Pemilu 2009 itu terhunjam di undakan elektabilitas terbawah. Begitu
pula dengan sayap elektoral Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang terluka
karena petingginya terseret badai korupsi. Padahal sebelumnya PKS ikon partai
kader yang mengandalkan kapitalisasi suara politik melalui jejaring
kaderisasi dan mobilitas politik lewat gerakan-gerakan sosial.
Partai Golkar yang
sedang menata strategi untuk mengembalikan dominasinya di tangga teratas
pemilu juga tak luput dari bayangan kelam. Penentuan capresnya yang
diselimuti kontroversi karena tak kunjung mengangkat elektabilitas hingga
paruh terakhir menjelang pemilu hingga terseretnya Ratu Atut Chosiyah,
politikus Golkar yang juga Gubernur Banten, dalam kasus korupsi atau dinasti
rente, membuat jalan Golkar dalam pemilu kian terjal.
Relatif hanya PDI
Perjuangan yang menikmati udara segar. Namun, tak berarti partai itu juga
bakal melenggang mulus. Selain efek ritual korupsi yang sudah menjadi tradisi
umum semua partai sebagaimana yang terendap di kesadaran publik saat ini,
naluri kemenangan politik partai moncong putih di Pemilu 2014 berpotensi terjegal
oleh `syahwat kembar' elite yang sayup-sayup masih berkukuh mencalonkan Ketua
Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sebagai presiden.
Padahal menurut survei
Indikator Politik (1 Desember 2013), bila PDIP mengusung Megawati sebagai
capres, dukungan publik akan beralih ke Prabowo (29,1%) dan Aburizal Bakrie
alias Ical (23,8%). Perolehan suara Megawati melorot di angka 17,7%, bahkan
jumlah responden yang tak menjawab meningkat menjadi 29%. Namun, keunggulan
Prabowo dan Ical akan terseok bila capres PDIP ialah Gubernur DKI Jakarta
Joko Widodo (49,1%).
Prabowo hanya mengantongi 17,5% dan Ical 13,2%, sedangkan responden yang tak
menjawab turun di angka 20,2%. Fenomena `syahwat kembar' itu seakan
menegaskan politik model Babilonia yang meski sama-sama menggunakan bahasa
demos (rakyat) untuk berpolitik, tetapi di antara sesama elite politik
sendiri tak pernah saling memahami (confusion of tounge) sehingga fatal bagi
soliditas dan masa depan partai.
Politik borjuis
Keampuhan Joko Widodo
(Jokowi) merajai survei di satu sisi menjadi simbol kerinduan rakyat pada
figur pemimpin rendah hati dan melayani. Jokowi mampu merekonstruksi logika,
kriteria, ataupun euforia kepemimpinan baru yang tidak hanya terpaku pada
pasak pencitraan, tetapi lebih pada kesahajaan prinsip yang dibingkai
blusukan dan kerja nyata. Namun, di sisi lain, superiotas Jokowi bisa
mengecilkan prestasi figur-figur lain yang selama ini juga bertengger di hati
publik, tetapi tidak disorot oleh gemerlap pemberitaan pers.
Ketidakseimbangan rivalitas tersebut bisa mereduksi nalar publik untuk
mengamati dan menilai calon pemimpin-pemimpinnya secara lebih komprehensif
dan rasional.
Karena itu, survei opinion leader ‘mencari lawan Jokowi’
yang dilakukan oleh Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) baru-baru
ini hendaknya dimaknai sebagai jalan alternatif untuk menemukan sosok
pemimpin bangsa yang tidak saja berbasiskan emotif-popularitas, tetapi juga
kapabilitas dan produktivitas terutama dalam mentraksaksikan gagasan. Dalam
survei tersebut muncul lima tokoh yang dinominasikan 61 pakar (opinion leader) yang pantas menjadi
capres, yakni Anies Baswedan mendapat poin sebesar 7,04, Basuki Tjahaja
Purnama (7,28), Tri Rismaharini (7,38), Chairul Tanjung (6,43), dan Abraham
Samad (6,42).
Mereka dinilai memiliki rekam jejak kepemimpinan yang sangat
layak disandingkan dengan Jokowi untuk bertempur memenangi hati rakyat.
Persoalannya, bagaimana figurfigur tersebut bisa terlegitimasi dalam proses
seleksi politik di mesin partai, sementara partaipartai yang ada sudah mengantongi
capres masing-masing. Di tengah era komersialisasi politik dengan judul
utamanya liberalisasi politik, agak sulit bagi partai untuk melembagakan
seleksi kepemimpinan yang meritokratis karena tumpuan hidup mesin partai
sangat dideterminasi oleh pasokan sumber daya dan jaringan ekonomi.
Itu pula yang
menyublimasi proses demokrasi kita sehingga kualitas gagasan hancur lebur
oleh gelombang pasang demokrasi borjuis. Tahun 2013 ditutup dengan noda tebal
di samping bintik-bintik keberhasilan. Meski demikian, di 2014 ini, optimisme
kebangsaan wajib dinyalakan. Pemilu 2014 harus menjadi entropi bagi bangsa
ini untuk keluar dari labirin krisis moral dan etos. Ia harus menjadi
pertaruhan akhir dari energi tersisa bangsa yang selama ini terpendam dalam
diri sosok-sosok pemimpin yang masih berpikiran jernih dan revolutif. Lewat
Pemilu 2014 rakyat akan menilai mana politisi dan pemimpin yang loyang dan
yang emas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar