Membangun
Koperasi Progresif
Dodi Faedlulloh ; Pegiat Koperasi tinggal di Purwokerto,
Saat ini sedang studi di
Pascasarjana Ilmu Administrasi Universitas Jenderal Soedirman
|
INDOPROGRESS,
03 Januari 2014
IMAJINASI politik[1] jadi ihwal yang minus dalam kerangka pemikiran
sebagian banyak orang. Menerobos sesuatu hal yang (dianggap) tak mungkin,
langsung ditebas semenjak dalam pikiran. Tampak mustahil mengandaikan suatu
sistem ekonomi, politik, sosial dan budaya selain dari sistem yang hari ini
begitu hegemonik: kapitalisme. Tentang imajinasi, patutnya para aktivis,
intelektual, dan seluruh elemen gerakan sosial mampu menjaga harapan rakyat
dengan terus menyemai gagasan-gagasan yang konsisten antara teori dengan
praktik, antara gagasan dan perilaku, serta antara cita-cita dan jalan yang
ditempuh. Memang, bak nasihat klise. Namun dalam situasi yang fluktuatif,
galauisme serta demoralisasi yang kerap menyerang para aktivis sosial,
kata-kata ini perlu kembali diperhatikan, bahkan direnungkan.
Hancurnya imajinasi politik,
ekonomi, sosial dan budaya perlu kita bangun kembali. Merupakan tugas bersama
merajut gagasan-gagasan sosialistik yang tercecer. Dalam konteks sosial
ekonomi, tak sedikit para pemikir yang mencurahkan energinya terjebak dalam
slogan-slogan besar sosialisme dan teriakan ‘lawan!’ tanpa memperhatikan apa
yang akan diperbuat selanjutnya selain melawan. Sehingga, celakanya, predikat
imajinasi dalam gagasan sosialis bergeser makna menjadi imajinatif (utopis).
Lebih lanjut, masih dalam zona sosial ekonomi, membicarakan koperasi di
tengah hiruk pikuk kapitalisme yang riuh, tampaknya akan dianggap bukan
menjadi pilihan yang menarik. Oke, bila ada yang masih beranggap demikian,
untuk sementara saya nilai sebagai sesuatu yang wajar, karena lagi-lagi
gara-gara imajinasi politik yang tak terpelihara.
Membicarakan Koperasi Sekali
Lagi
Ketika kapitalisme menjunjung
tinggi kekuatan kapital dan pemitosan ‘kebebasan individu,’ koperasi berjuang
sebaliknya. Harkat diri manusia diangkat pada tempat sebagaimana mestinya
manusia. Secara dialektis, koperasi lahir di dunia bukan sebagai badan hukum
yang sering dikumandangkan negara melalui undang-undangnya[2] dan hanya berfungsi menjadi sedikit pembeda dengan
bentuk badan usaha lainnya. Melampaui salah-kaprah itu, koperasi justru
berangkat dari situasi material ketimpangan ekonomi sosial saat revolusi
industri. Pengusungnya, yang sering disebut sebagai Bapak Koperasi Dunia,
Robert Owen, selalu dikategorisasi sebagai sosialis utopis. Namun saya tidak
akan terlalu menyoal itu, karena Owen telah melakukan uji coba koperasi
sebagai bagian dari pengetahuan. Ujicoba ini menjadi inspirasi dan
membuktikan tentang imajinasi politik; bahwa alternatif sistem sosial yang
lain selain kapitalisme itu mungkin.
Sejenak mari tinggalkan romantisme
cerita perjuangan Owen. Dalam situasi hari ini, membayangkan koperasi ideal
masih jauh panggang dari api. Belum ada cerita menarik yang tersaji dalam
pengalaman di Indonesia, yang ada hanya koperasi-koperasi yang berjalan tanpa
ruh, koperasi proyek negara dan koperasi papan nama. Namun itulah justru
letak perjuangannya, kita perlu mengandaikan koperasi terlepas dari
cerita-cerita kelam, kita perlu mengambil posisi koperasi di luar situasi
yang dianggap mungkin dan normative, yakni koperasi sebagai sistem atau
koperasi sebagi corak produksi. Mengapa tidak?
Sebelumnya, kajian karya Prasetyo[3] dan Yakob[4] memberi kontribusi inspiratif bagi saya untuk
menuangkan gagasan koperasi pada kesempatan ini. Bagaimana kedua penulis itu
mengemukakan tentang praktika koperasi serta gagasan titik temu aliansi
antara buruh dan petani dalam menyelenggarakan demokrasi ekonomi pasca
reformasi agraria yang sangat potensial untuk eksis. Imajinasi politik pun
mulai terajut.
Dalam beberapa diskusi, saya kerap
temui pandangan tentang koperasi yang berjalan di dalam stuktur masyarakat
kapitalistik tak lain adalah kapitalisme juga, kapitalisme yang moderat.
Karena ihwal produk/jasa yang dibuat koperasi pun akan sama-sama dilempar
kepada pasar. Namun nalar itu, hemat saya, menemui polemiknya; seolah
perlawanan hanya dengan kerja revolusi menumbangkan sistem, kekuasaan dan
rezim secara total. Padahal yang perlu ditekankan tanpa menjadi naïf, epos
hari ini merupakan epos kapitalisme, sulit menjumpai sesuatu yang tidak
berkait dengan relasi kapital. Kopi pagi yang diminum, jelas di dalamnya ada
relasi kapital, ada curahan kerja para petani kopi dan buruh-buruh yang
dikontrol kapitalis. Rokok, sepatu, baju, gadget dan hampir semua produk dan
jasa telah disentuh kapitalisme, termasuk gorengan yang kerap dimakan sebagai
teman diskusi perjuangan di angkringan itu pun tak lepas dari relasi kapital.
Hampir selalu! Dengan situasi demikian, menjelaskan koperasi yang ada dalam
kapitalisme tak lain merupakan bagian dari kapitalisme menemui
kontradiksinya. Padahal nuansa perjuangan koperasi sejati adalah proses bottom-up rakyat yang mengorganisir diri menjadi
anggota koperasi. Dengan kata lain, koperasi adalah people power. Koperasi secara evolutif bisa
berjejaring dan bekerjasama antar koperasi dan berpotensi bertransformasi
menjadi kekuatan yang bisa menjadi countervailing dari
kapitalisme. Koperasi memiliki kemampuan ‘gerilya’ ekonomi dan menusuk
langsung jantung kapitalisme.
Guna memperluas dan meliarkan
konsep koperasi, kita perlu mengekstrapolasi koperasi ini sebagai sebuah
sistem. Inilah muasal gagasan koperasi progressif. Sebagai sistem, koperasi
bekerja lintas organisasi, apapun nama/bentuk organisasinya. Tidak terjebak
pada badan hukum, bahkan tanpa badan hukum pun sebenarnya koperasi (sebagai
sistem) bisa bekerja. Pendidikan seperti ini yang perlu disampaikan ke
khalayak luas,[5] sehingga tidak memperpanjang kesalah-pahaman
masyarakat terhadap koperasi yang telah ter-sterotype. Hal ini
pun perlu dipahami secara serius oleh gerakan-gerakan kiri, jangan sampai
beranti-pati terhadap koperasi karena hanya menilik masa lalu koperasi yang
pernah menjadi produk rezim tapi tanpa pernah meluangkan waktu untuk
mempelajarinya. Analoginya, lantas apa bedanya sikap demikian dengan
pihak-pihak yang menolak komunisme karena menilai komunisme itu seperti yang
ditayangkan dalam film propaganda buatan orde baru?
Bila mempelajari secara mendalam
dan imanen, ada ‘hikmah’ yang bisa didapat dari tadarus koperasi. Misal saat tuntutan harian buruh
dalam aksi mayday adalah tentang
kenaikan upah, maka secara inheren koperasi justru satu langkah lebih depan
dalam tuntutan; yaitu ‘saham’ harus dimiliki oleh kelas pekerja. Sehingga
pekerja bisa melakukan kontrol terencana terhadap produksinya.[6] Dengan kontrol kolektif sang
pekerja memiliki secara utuh apa yang diproduksinya dan bersama-sama mengatur
bersama dari mulai bentuk, kuantitas, distribusi produksi dan sebagainya.
Menakar Koperasi yang Kiri
dan Progressif: Pengalaman Lapangan
Koperasi dalam konteks kekinian
(sejatinya) memiliki kecenderungan kiri. Kiri karena menolak kemapanan dari
sistem yang hari ini hadir secara hegemonik. Kemapanan dari sistem
kapitalisme yang monopolistik dipertanyakan ulang melalui kacamata demokrasi
ekonomi koperasi. Ketimpangan ekonomi-sosial yang terjadi akibat dari sistem
ekonomi yang tidak berkeadilan ini perlu didrive dalam
keperluan imajinasi untuk mencari alternatif sistem yang lain. Imajinasi
dalam arti menembus batas nalar-nalar konservatif, meliarkan gagasan lepas
dari kotak hitam bernama kapitalisme.
Karena saat ini yang menjadi problem,
seperti disinggung di awal, adalah miskinnya imajinasi politik. Sulit
mengimajinasikan kehidupan di luar (yang sudah dianggap) kebiasaan. Seolah
tak ada lagi jalan hidup selain dari kapitalisme. Mengimajinasikan sistem
ekonomi berbasis koperasi menjadi alternatif jalan yang bisa eksis bagi umat
manusia tampak seperti lelucon siang hari. Maka dari itu, gerakan koperasi
sejati memiliki sifat progressif. Progresif karena mengimajinasikan adanya
loncatan ke masa depan (futuristic) yang
lebih baik, lebih berkeadilan sosial, dan tentu lebih humanis.
Berjalannya sistem ekonomi yang
berlandas pada koperasi (yang kiri dan progressif), kita bisa berkaca pada
situasi tahun 2001 di Argentina, yang saat itu terkena badai krisis ekonomi
yang dahsyat yang diikuti dengan krisis politik akibat dari dampak
diterapkannya sistem neoliberalisme. Karena alasan stabilitas maka banyak
pabrik dan perusahaan yang ditinggalkan oleh pemiliknya sehingga menyebabkan
jutaan jiwa kehilangan mata pencahariaannya. Singkat cerita, para pekerja
terbangkitkan kesadarannya lalu melakukan pemberontakan dan perebutan pabrik
dan perusahaan yang ditinggalkan oleh pemiliknya yang kabur. Pengalaman
ini divisualisasi secara apik melalui film dokumenter berjudul The Take yang dibuat oleh Naomi Klein dan Avi
Lewis.
Setelah pendudukan perusahaan dan
pabrik yang dilakukan para pekerja, mereka pun menjadikan perusahaan dan
pabrik tersebut menjadi koperasi pekerja, manajemen dalam perusahaan
swakelola didesain horizontal, setara. Untuk posisi yang penting agar tidak
terjadi sentralisasi kekuasaan mereka melakukan penggiliran dalam penempatan
posisi tersebut. Di pabrik-pabrik yang diduduki dan diambil alih, sebuah
bentuk hubungan sosial baru dibangun. Di tingkat perusahaan dibentuk komite
antar perusahaan guna mengirimkan delegasinya untuk menjalin koordinasi di
tingkat wilayah. Para pekerja mempraktekkan swakelola, di mana pekerja
mengontrol seluruh jalannya produksi tanpa campur tangan para kapitalis
pemilik lama, politisi dan partai politik, bahkan negara.
Melalui pengelolaan manajemen
langsung oleh para pekerja, upah pun meningkat. Secara riil masyarakat
langsung menerima kemanfaatannya, barang yang diproduksi secara kolektif ini
menjadi lebih murah. Kemudian secara perlahan semangat koperasi menyebar,
tidak hanya di tingkat pabrik bahkan para guru dan pelajar juga menduduki
sekolah-sekolah dan kampus untuk mengujicobakan pengelolaan pendidikan di
tangan kolektif. Praktek-praktek swakelola juga melebar ke klinik dan
pusat-pusat kesehatan, perusahaan otomotif, garmen, serta dapur-dapur umum
yang kesemuanya dikelola secara otonom.
Mereka membangun solidaritas
dengan buruh-buruh pabrik, karyawan-karyawan di perusahaan yang telah
diduduki untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, bekerja sama dengan
komite popular, dewan-dewan komunitas, untuk mengorganisasikan masyarakat
dalam struktur yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya. Inilah bentuk konkret
imajinasi politik tentang pembangunan sistem kehidupan alternatif yang
dirangkai oleh warga sendiri.
Sampai saat ini, masih pabrik
banyak yang terus beroperasi dengan sistem swakelola pekerja walaupun tidak
sedikit juga diantaranya harus kalah karena tindakan represif yang dilakukan
oleh negara dan tentunya kaum kapitalis.
Bukan Penutup
Contoh gerakan pekerja yang
berkoperasi di Argentina bukan untuk dicopy-paste. Karena
Argentina bukan Indonesia. Ada kondisi obyektif materil yang berbeda di
antaranya, namun paling tidak hal ini perlu disuguhkan untuk membuka mata.
Ternyata koperasi bisa dibangun secara progresif. Koperasi berpotensi sebagai
media juang perlawanan rakyat. Oleh karena itu, mempelajari bersama-sama
koperasi (baik secara ideologi, politik, dan organisasi) itu menjadi perlu
bagi kelas pekerja, bagi petani, bagi nelayan, bagi mahasiswa, bagi semua
elemen masyarakat yang berjuang melawan kapitalisme. Tentunya belajar dan
berjuang untuk mempraktikkannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar