Selasa, 14 Januari 2014

Membangun Koperasi Progresif

Membangun Koperasi Progresif

Dodi Faedlulloh  ;   Pegiat Koperasi tinggal di Purwokerto,
Saat ini sedang studi di Pascasarjana  Ilmu Administrasi Universitas Jenderal Soedirman
INDOPROGRESS,  03 Januari 2014
                                                                                                                        


IMAJINASI politik[1] jadi ihwal yang minus dalam kerangka pemikiran sebagian banyak orang. Menerobos sesuatu hal yang (dianggap) tak mungkin, langsung ditebas semenjak dalam pikiran. Tampak mustahil mengandaikan suatu sistem ekonomi, politik, sosial dan budaya selain dari sistem yang hari ini begitu hegemonik: kapitalisme. Tentang imajinasi, patutnya para aktivis, intelektual, dan seluruh elemen gerakan sosial mampu menjaga harapan rakyat dengan terus menyemai gagasan-gagasan yang konsisten antara teori dengan praktik, antara gagasan dan perilaku, serta antara cita-cita dan jalan yang ditempuh. Memang, bak nasihat klise. Namun dalam situasi yang fluktuatif, galauisme serta demoralisasi yang kerap menyerang para aktivis sosial, kata-kata ini perlu kembali diperhatikan, bahkan direnungkan.

Hancurnya imajinasi politik, ekonomi, sosial dan budaya perlu kita bangun kembali. Merupakan tugas bersama merajut gagasan-gagasan sosialistik yang tercecer. Dalam konteks sosial ekonomi, tak sedikit para pemikir yang mencurahkan energinya terjebak dalam slogan-slogan besar sosialisme dan teriakan ‘lawan!’ tanpa memperhatikan apa yang akan diperbuat selanjutnya selain melawan. Sehingga, celakanya, predikat imajinasi dalam gagasan sosialis bergeser makna menjadi imajinatif (utopis). Lebih lanjut, masih dalam zona sosial ekonomi, membicarakan koperasi di tengah hiruk pikuk kapitalisme yang riuh, tampaknya akan dianggap bukan menjadi pilihan yang menarik. Oke, bila ada yang masih beranggap demikian, untuk sementara saya nilai sebagai sesuatu yang wajar, karena lagi-lagi gara-gara imajinasi politik yang tak terpelihara.

Membicarakan Koperasi Sekali Lagi

Ketika kapitalisme menjunjung tinggi kekuatan kapital dan pemitosan ‘kebebasan individu,’ koperasi berjuang sebaliknya. Harkat diri manusia diangkat pada tempat sebagaimana mestinya manusia. Secara dialektis, koperasi lahir di dunia bukan sebagai badan hukum yang sering dikumandangkan negara melalui undang-undangnya[2] dan hanya berfungsi menjadi sedikit pembeda dengan bentuk badan usaha lainnya. Melampaui salah-kaprah itu, koperasi justru berangkat dari situasi material ketimpangan ekonomi sosial saat revolusi industri. Pengusungnya, yang sering disebut sebagai Bapak Koperasi Dunia, Robert Owen, selalu dikategorisasi sebagai sosialis utopis. Namun saya tidak akan terlalu menyoal itu, karena Owen telah melakukan uji coba koperasi sebagai bagian dari pengetahuan. Ujicoba ini menjadi inspirasi dan membuktikan tentang imajinasi politik; bahwa alternatif sistem sosial yang lain selain kapitalisme itu mungkin.

Sejenak mari tinggalkan romantisme cerita perjuangan Owen. Dalam situasi hari ini, membayangkan koperasi ideal masih jauh panggang dari api. Belum ada cerita menarik yang tersaji dalam pengalaman di Indonesia, yang ada hanya koperasi-koperasi yang berjalan tanpa ruh, koperasi proyek negara dan koperasi papan nama. Namun itulah justru letak perjuangannya, kita perlu mengandaikan koperasi terlepas dari cerita-cerita kelam, kita perlu mengambil posisi koperasi di luar situasi yang dianggap mungkin dan normative, yakni koperasi sebagai sistem atau koperasi sebagi corak produksi. Mengapa tidak?

Sebelumnya, kajian karya Prasetyo[3] dan Yakob[4] memberi kontribusi inspiratif bagi saya untuk menuangkan gagasan koperasi pada kesempatan ini. Bagaimana kedua penulis itu mengemukakan tentang praktika koperasi serta gagasan titik temu aliansi antara buruh dan petani dalam menyelenggarakan demokrasi ekonomi pasca reformasi agraria yang sangat potensial untuk eksis. Imajinasi politik pun mulai terajut.

Dalam beberapa diskusi, saya kerap temui pandangan tentang koperasi yang berjalan di dalam stuktur masyarakat kapitalistik tak lain adalah kapitalisme juga, kapitalisme yang moderat. Karena ihwal produk/jasa yang dibuat koperasi pun akan sama-sama dilempar kepada pasar. Namun nalar itu, hemat saya, menemui polemiknya; seolah perlawanan hanya dengan kerja revolusi menumbangkan sistem, kekuasaan dan rezim secara total. Padahal yang perlu ditekankan tanpa menjadi naïf, epos hari ini merupakan epos kapitalisme, sulit menjumpai sesuatu yang tidak berkait dengan relasi kapital. Kopi pagi yang diminum, jelas di dalamnya ada relasi kapital, ada curahan kerja para petani kopi dan buruh-buruh yang dikontrol kapitalis. Rokok, sepatu, baju, gadget dan hampir semua produk dan jasa telah disentuh kapitalisme, termasuk gorengan yang kerap dimakan sebagai teman diskusi perjuangan di angkringan itu pun tak lepas dari relasi kapital. Hampir selalu! Dengan situasi demikian, menjelaskan koperasi yang ada dalam kapitalisme tak lain merupakan bagian dari kapitalisme menemui kontradiksinya. Padahal nuansa perjuangan koperasi sejati adalah proses bottom-up rakyat yang mengorganisir diri menjadi anggota koperasi. Dengan kata lain, koperasi adalah people power. Koperasi secara evolutif bisa berjejaring dan bekerjasama antar koperasi dan berpotensi bertransformasi menjadi kekuatan yang bisa menjadi countervailing dari kapitalisme. Koperasi memiliki kemampuan ‘gerilya’ ekonomi dan menusuk langsung jantung kapitalisme.

Guna memperluas dan meliarkan konsep koperasi, kita perlu mengekstrapolasi koperasi ini sebagai sebuah sistem. Inilah muasal gagasan koperasi progressif. Sebagai sistem, koperasi bekerja lintas organisasi, apapun nama/bentuk organisasinya. Tidak terjebak pada badan hukum, bahkan tanpa badan hukum pun sebenarnya koperasi (sebagai sistem) bisa bekerja. Pendidikan seperti ini yang perlu disampaikan ke khalayak luas,[5] sehingga tidak memperpanjang kesalah-pahaman masyarakat terhadap koperasi yang telah ter-sterotype. Hal ini pun perlu dipahami secara serius oleh gerakan-gerakan kiri, jangan sampai beranti-pati terhadap koperasi karena hanya menilik masa lalu koperasi yang pernah menjadi produk rezim tapi tanpa pernah meluangkan waktu untuk mempelajarinya. Analoginya, lantas apa bedanya sikap demikian dengan pihak-pihak yang menolak komunisme karena menilai komunisme itu seperti yang ditayangkan dalam film propaganda buatan orde baru?

Bila mempelajari secara mendalam dan imanen, ada ‘hikmah’ yang bisa didapat dari tadarus koperasi. Misal saat tuntutan harian buruh dalam aksi mayday adalah tentang kenaikan upah, maka secara inheren koperasi justru satu langkah lebih depan dalam tuntutan; yaitu ‘saham’ harus dimiliki oleh kelas pekerja. Sehingga pekerja bisa melakukan kontrol  terencana terhadap produksinya.[6] Dengan kontrol kolektif sang pekerja memiliki secara utuh apa yang diproduksinya dan bersama-sama mengatur bersama dari mulai bentuk, kuantitas, distribusi produksi dan sebagainya.

Menakar Koperasi yang Kiri dan Progressif: Pengalaman Lapangan

Koperasi dalam konteks kekinian (sejatinya) memiliki kecenderungan kiri. Kiri karena menolak kemapanan dari sistem yang hari ini hadir secara hegemonik. Kemapanan dari sistem kapitalisme yang monopolistik dipertanyakan ulang melalui kacamata demokrasi ekonomi koperasi. Ketimpangan ekonomi-sosial yang terjadi akibat dari sistem ekonomi yang tidak berkeadilan ini perlu didrive dalam keperluan imajinasi untuk mencari alternatif sistem yang lain. Imajinasi dalam arti menembus batas nalar-nalar konservatif, meliarkan gagasan lepas dari kotak hitam bernama kapitalisme. 

Karena saat ini yang menjadi problem, seperti disinggung di awal, adalah miskinnya imajinasi politik. Sulit mengimajinasikan kehidupan di luar (yang sudah dianggap) kebiasaan. Seolah tak ada lagi jalan hidup selain dari kapitalisme. Mengimajinasikan sistem ekonomi berbasis koperasi menjadi alternatif jalan yang bisa eksis bagi umat manusia tampak seperti lelucon siang hari. Maka dari itu, gerakan koperasi sejati memiliki sifat progressif. Progresif karena mengimajinasikan adanya loncatan ke masa depan (futuristic) yang lebih baik, lebih berkeadilan sosial, dan tentu lebih humanis.

Berjalannya sistem ekonomi yang berlandas pada koperasi (yang kiri dan progressif), kita bisa berkaca pada situasi tahun 2001 di Argentina, yang saat itu terkena badai krisis ekonomi yang dahsyat yang diikuti dengan krisis politik akibat dari dampak diterapkannya sistem neoliberalisme. Karena alasan stabilitas maka banyak pabrik dan perusahaan yang ditinggalkan oleh pemiliknya sehingga menyebabkan jutaan jiwa kehilangan mata pencahariaannya. Singkat cerita, para pekerja terbangkitkan kesadarannya lalu melakukan pemberontakan dan perebutan pabrik dan perusahaan yang ditinggalkan oleh pemiliknya yang kabur. Pengalaman ini divisualisasi secara apik melalui film dokumenter berjudul The Take yang dibuat oleh Naomi Klein dan Avi Lewis.

Setelah pendudukan perusahaan dan pabrik yang dilakukan para pekerja, mereka pun menjadikan perusahaan dan pabrik tersebut menjadi koperasi pekerja, manajemen dalam perusahaan swakelola didesain horizontal, setara. Untuk posisi yang penting agar tidak terjadi sentralisasi kekuasaan mereka melakukan penggiliran dalam penempatan posisi tersebut. Di pabrik-pabrik yang diduduki dan diambil alih, sebuah bentuk hubungan sosial baru dibangun. Di tingkat perusahaan dibentuk komite antar perusahaan guna mengirimkan delegasinya untuk menjalin koordinasi di tingkat wilayah. Para pekerja mempraktekkan swakelola, di mana pekerja mengontrol seluruh jalannya produksi tanpa campur tangan para kapitalis pemilik lama, politisi dan partai politik, bahkan negara.

Melalui pengelolaan manajemen langsung oleh para pekerja, upah pun meningkat. Secara riil masyarakat langsung menerima kemanfaatannya, barang yang diproduksi secara kolektif ini menjadi lebih murah. Kemudian secara perlahan semangat koperasi menyebar, tidak hanya di tingkat pabrik bahkan para guru dan pelajar juga menduduki sekolah-sekolah dan kampus untuk mengujicobakan pengelolaan pendidikan di tangan kolektif. Praktek-praktek swakelola juga melebar ke klinik dan pusat-pusat kesehatan, perusahaan otomotif, garmen, serta dapur-dapur umum yang kesemuanya dikelola secara otonom.

Mereka membangun solidaritas dengan buruh-buruh pabrik, karyawan-karyawan di perusahaan yang telah diduduki untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, bekerja sama dengan komite popular, dewan-dewan komunitas, untuk mengorganisasikan masyarakat dalam struktur yang sama sekali berbeda dengan sebelumnya. Inilah bentuk konkret imajinasi politik tentang pembangunan sistem kehidupan alternatif yang dirangkai oleh warga sendiri.

Sampai saat ini, masih pabrik banyak yang terus beroperasi dengan sistem swakelola pekerja walaupun tidak sedikit juga diantaranya harus kalah karena tindakan represif yang dilakukan oleh negara dan tentunya kaum kapitalis.

Bukan Penutup

Contoh gerakan pekerja yang berkoperasi di Argentina bukan untuk dicopy-paste. Karena Argentina bukan Indonesia. Ada kondisi obyektif materil yang berbeda di antaranya, namun paling tidak hal ini perlu disuguhkan untuk membuka mata. 

Ternyata koperasi bisa dibangun secara progresif. Koperasi berpotensi sebagai media juang perlawanan rakyat. Oleh karena itu, mempelajari bersama-sama koperasi (baik secara ideologi, politik, dan organisasi) itu menjadi perlu bagi kelas pekerja, bagi petani, bagi nelayan, bagi mahasiswa, bagi semua elemen masyarakat yang berjuang melawan kapitalisme. Tentunya belajar dan berjuang untuk mempraktikkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar