Tanggapan Untuk Martin
Suryajaya
Tuhan
sebagai Eksepsi : Perihal Teologi Materialis
Muhammad Ridha ; Anggota Partai Rakyat Pekerja,
Pemimpin Redaksi Left Book
Review (LBR)
|
INDOPROGRESS,
06 Januari 2014
HARUS diakui bahwa Martin
Suryajaya dalam artikel mengenai Marxisme dan Ketuhanan Yang Maha Esa telah melakukan terobosan
penting dalam diskursus pengetahuan Marxian di Indonesia. Setelah sekian lama
masyarakat disuguhkan dengan argumentasi bahwa Marxisme pada dasarnya selalu
anti ketuhanan, Martin menunjukkan bahwa materialisme (yang menjadi inti
filsafat Marxisme) dapat menerima ide tentang Tuhan. Tetapi, berbeda
dengan presentasi teologi sebelumnya yang hendak mendekatkan wahyu dengan
materialisme (yang kemudian membuat penjelasannya lebih berupa upaya
mencocok-padankan antara ayat dengan proposisi-proposisi materialis),
proyeksi Martin kali ini dapat dikatakan baru di Indonesia, karena yang
hendak dibangun adalah bagaimana Tuhan dapat dipahami secara konsisten
sepenuhnya dalam logika materialis. Sebuah upaya yang sangat berharga,
tentu saja, dalam rangka untuk mengatasi kesenjangan pengetahuan sekaligus
dialog kritis antara kalangan yang berketuhanan dengan kalangan Marxis yang
memiliki komitmen sama untuk pembebasan rakyat pekerja.
Melalui proposisi teori himpunan
Cantor, Tuhan dalam argumen logis Martin adalah entitas yang mampu menghitung
permutasi logis dari proposisi mungkin dan tak mungkin, layaknya komputer.
Martin berpendapat, keberadaan Tuhan dapat diterima sejauh ide mengenai-Nya
tidak bertentangan dengan hukum fisik yang berlaku.
Dalam Tuhan, semenjak
dalam diri-Nya termaktub yang mungkin dan tak mungkin, semesta aktual bukan
satu-satunya semesta yang mungkin. Terdapat dunia lain yang mungkin (another world is possible) dalam Tuhan. Yang
diperlukan kemudian adalah konstruksi logis untuk menjangkarkan Tuhan dalam
keterlembagaan fisiknya.
Akan tetapi, tawaran Martin kali
ini dapat dikatakan problematis. Ada dua alasan mengapa hal tersebut terjadi.
Yang pertama, tawaran teologi materialis Martin masih
sebatas iman agnostik, dimana Tuhan diakui keberadaannya namun tidak lebih
sebagai entitas yang impoten. Tuhan ada di luar sana namun tidak melulu harus
diimani. Martin mungkin berargumen bahwa iman, layaknya iman kepada Tuhan,
adalah fungsional dalam pembangunan sains. Tapi dalam jangka panjang, ketika
pengetahuan sudah lengkap, maka iman terhadap Tuhan tidak lagi menjadi
relevan.
Dalam hal inilah ada yang paradoks dari posisi teologi materialis
Martin. Semenjak iman (terhadap Tuhan) adalah sesuatu yang mubazir (redundant), maka keberadaan Tuhan itu sendiri adalah
mubazir bagi konstruksi logika teologinya.
Problem kedua, yang merupakan turunan dari problem pertama
mengenai iman agnostik adalah pembuktian keberadaan Tuhan secara logis,
tidak secara otomatis membuat Tuhan menjadi ada. Apa yang hendak saya
argumentasikan di sini, adanya dimensi ‘kebenaran’ dari ide tentang Tuhan itu
sendiri. Dalam arti ide mengenai Tuhan mampu untuk memobilisasi manusia untuk
berprilaku atas nama-Nya.
Sebagaimana telah dibuktikan oleh sejarah, Tuhan
menjadi ‘ada’ justru semenjak keimanan manusia atas Tuhan mengorganisasikan
kepentingannya dalam terang ide Tuhan itu sendiri (Armstrong 1993). Disinilah
Tuhan menjadi isu bagi manusia, semenjak Ia adalah bagian tak terpisahkan
dari sejarah itu sendiri. Mengabaikan dimensi ini, tentu saja, membuat kita
tidak bertindak ‘objektif’ terhadap ide tentang Tuhan yang menjadi problem
artikel Martin.
Keterbatasan tawaran teologi
Martin bukan berarti tidak dapat diatasi. Intensi untuk mengadakan dialog
antara materialisme dengan ide ketuhanan masih dapat dilakukan. Alih-alih
mengikuti trajektori yang ditawarkan Martin, yakni mengontruksikan
materialisme yang memberikan ruang bagi Tuhan, yang diperlukan justru
pembacaan imanen dimana struktur logika materialisme menubuh dalam logika
Tuhan dalam agama. Dengan kata lain, struktur logika agama itu sendiri harus
dilihat sebagai logika materialisme. Dalam hal inilah kita bisa mengatasi
keterbatasan yang ada.
Di antara Dua Tuhan, atau
Meninjau Kembali ‘Tiada Tuhan Selain Tuhan’
Hal pertama yang harus
diklarifikasi tentu saja adalah perihal Tuhan dalam teologi materialis.
Bagaimana ide mengenai Tuhan dapat diinterogasi dalam kerangka materialisme?
Dalam hal ini tinjauan Cak Nur (Nurcholish Majid) mengenai kredo ‘tiada tuhan
selain Tuhan’ dapat dibuka kembali. Problem Cak Nur yang utama perihal
kredo ini adalah bagaimana menjawab mengenai keesaan tuhan. Bagi Cak Nur,
masalah yang harus dijawab bukan perkara ketidakpercayaan, tetapi mengenai
politeisme; yang membuat manusia dihadapi pilihan akan banyak tuhan yang
membuatnya mudah untuk terjerembab dalam momen salah-pilih tuhan. Dengan
sedikit menggunakan gestur ala eksistensialis, pembacaan ulang kredo ‘tiada
tuhan selain Tuhan’ adalah sebentuk deklarasi bahwa Tuhan adalah entitas
tunggal yang berada di luar konfigurasi ‘tuhan-tuhan’ ala politeis yang
melingkupi nalar praktis. Dengan kata lain, yang ada adalah Tuhan yang maha
esa (tauhid), yang di luar itu tidak dapat dikategorikan sebagai tuhan.
Tinjauan Cak Nur ini tentu saja
masih memiliki masalah, karena masih terdapat bias idealis mengenai sifat
dasar Tuhan dimana asumsi Tuhan diasumsikan tanpa ada tautan material. Akan
tetapi terdapat kebenaran dari logika yang ditawarkan oleh Cak Nur. Bahwa
Tuhan pada dasarnya adalah eksepsi dari yang-ada (being),
yang direpresentasikan oleh tuhan-tuhan. Lalu bagaimana materialisme
menjelaskan eksepsi dalam realitas itu sendiri?
Dalam hal ini fisika kuantum dapat
membantu. Engels dalam karyanya Ludwig Feurbach and the
Outcome of Classical German Philosophy berujar bahwa dengan
tiap penemuan bersejarah pada ranah ilmu alam, materialisme harus mengubah
bentuknya. Dalam perkembangan sains terkini, fisika kuantum adalah tantangan
(sekaligus sebagai ‘ruang logis’ dalam istilah Martin) krusial dalam
mendefinisikan materialisme. Agar tidak terjebak dalam interpretasi idealis
mengenai fisika kuantum, ada dua hal penting yang harus diperhatikan mengenai
fisika kuantum:
1. Proposisi fisika kuantum hanya
dapat berfungsi dalam aparatus kompleks formalisasi matematika;
2. Semesta kuantum bukan sekedar
matematika dalam arti sekedar pengembangan imanen atas konsekuensi aksioma
yang ada, namun, lebih daripada itu, terdapat pula proses ilmiah dimana
pengukuran serta pembuktian harus dilakukan.
Masalah utama dari fisika kuantum
adalah ia tidak dapat didefinisikan, yang oleh karenanya fisika kuantum hanya
dapat ditunjukkan (McEvoy and Zarate 1999, 174). Demi kemudahan argumen di
sini, salah satu presentasi populer mengenai fisika kuantum adalah apa yang
dikenal sebagai problem dualitas partikel/gelombang pada cahaya. Problem ini
pada mulanya muncul sebagai bagian dari upaya menjawab masalah elektron dalam
atom-atom dengan cahaya sebagai media pengamatannya.
Dalam fisika klasik,
setidaknya terdapat dua posisi pengetahuan yang saling bertolak belakang
dalam memahami karakter cahaya. Bagi Newton, cahaya terdiri dari partikel,
sementara bagi fisikawan Belanda, Christian Huygens, cahaya terdiri dari
gelombang. Pada tahun 1886, teori gelombang elektromagnetik Maxwell
menyelesaikan perdebatan fisika klasik dengan menyatakan bahwa cahaya terdiri
dari gelombang. Namun, sayangnya, pada awal abad 20, teori Maxwell
menghadapi tentangan. Adalah Einstein yang memperkenalkan metode corpuscles untuk menjelaskan efek fotoelektrik.[1] Metode ini mengindikasikan adanya dualitas dari
cahaya, dimana terjadi fusi antara partikel dan gelombang. Argumen Einstein
ini dibenarkan fisikawan Perancis de Broglie, yang menunjukan pada tesisnya
bahwa sebuah gelombang pada cahaya dapat diasosiasikan dengan gerak sebuah
partikel tertentu.
Dualitas gelombang/partikel ini
membawa masalah sendiri bagi upaya kita dalam memahami realitas (dan juga
mengenai materialisme). Sebagai contoh, dalam nalar praktis kita (common sense), secara berkebalikan, partikel lebih
didahulukan daripada gelombang. Sebagai contoh, di suatu gurun, pasir
bergerak karena angin yang berfungsi seperti gelombang. Dalam hal ini,
melalui nalar praktis, kita dapat menyimpulkan bahwa perilaku gelombang dapat
direduksi sebagai partikel; bahwa gerak gelombang pastilah gerak atas
sesuatu, sesuatu yang secara material ada dan bergerak. Di sini dapat
dinyatakan pula bahwa gelombang pada dasarnya tidak ada karena ia hanya
sekedar properti atau peristiwa yang terjadi karena sesuatu yang ada.
Revolusi fisika kuantum berupaya untuk membalik nalar praktis seperti itu.
Tidak hanya terdapat ketidakterpisahan dualitas antara gelombang dan
partikel; dalam dualitas ini, fisika kuantum memprioritaskan gelombang:
sebagai contoh, fisika kuantum mengajukan peralihan dari memahami gelombang
sebagai interaksi antara partikel ke pemahaman mengenai partikel sebagai
titik pusat dalam interaksi gelombang. Bagi fisika kuantum, gelombang tidak
dapat direduksi pada partikel.[2]
Dualitas gelombang dan partikel
pada cahaya berpotensi untuk disikapi sebagai suatu bentuk idealism, dimana
cahaya sebagai materi bisa dipahami secara relatif tergantung posisi
pengamatan yang dipilih. Adalah epistemologi yang kemudian menentukan bentuk
realitas yang dilihat. Namun pemahaman ini adalah pemahaman yang salah. Di
sini kita harus memperhatikan perbedaan halus antara prinsip ketidakpastian
Heisenberg dengan komplementaritas Bohr. Heisenberg berpendapat bahwa kita
tidak dapat membangun posisi dan momentum sebuah partikel secara simultan
karena tindakan pengukuran mengintervensi konstelasi yang diukur dan
mengganggu koordinatnya. Sementara Bohr memiliki posisi yang lebih radikal mengenai
substansi dari realitas itu sendiri, bahwa partikel itu sendiri tidak
memiliki posisi dan momentum yang pasti, yang membuat kita harus meninggalkan
gagasan standar ‘realitas objektif’ yang terdiri dari sepertangkat properti
yang telah ditentukan.
Dengan kata lain, bagi Bohr, ditingkatan sistem
mikroskopik atom tidak ada (exist) dalam dan
untuk dirinya sendiri (Rosenblum and Kuttner 2011, 136).
Implikasi dari interpretasi
Bohrian mengenai ketiadaan atom ditingkatan mikroskopik ini adalah
realitas dalam fisika kuantum adalah realitas yang pada dasarnya tidak
lengkap, bahwa ontologi secara keseluruhan (all) adalah
‘bukan-keseluruhan’ (non-all). Ontologi realitas atau
materialisme itu adalah ontologi keterpecahan atas yang-satu (One), dimana dalam dirinya sendiri materi adalah
kekosongan (void).
Kekosongan ini harus dipahami sebagai tensi
ekstrim, antagonisme atau kemustahilan yang memecah ontologi. Kekosongan ini
tidak terkonstitusikan secara penuh dalam konstelasi realitas yang ada.
Dengan kata lain, realitas dalam ontologi kekosongan mengondisikan secara
internal eksepsi yang tidak dapat diinklusikan dalam dirinya sendiri.
Pemahaman ontologi mengenai
ketiadaan memiliki logika yang kongruen dengan ide Tuhan sebagai eksepsi
radikal dari yang ada. Saya tidak mengatakan bahwa dalam konstruksi
materialis ini Tuhan ada. Ide mengenai Tuhan memiliki struktur yang serupa
dengan materialisme itu sendiri. Dalam hal ini, dapat diargumentasikan, bahwa
ide mengenai Tuhan tidak melulu menegasikan materialisme. Justru yang hendak
ditegaskan bahwa ide mengenai Tuhan adalah seperangkat materialisme tertentu.
Pertanyaannya kemudian, ketika
Tuhan dilihat sebagai eksepsi, maka eksepsi atas apakah Tuhan? Menurut saya,
kredo ‘tiada tuhan selain Tuhan’ mulai harus ditafsirkan secara materialis.
Alih-alih tuhan politeis, tuhan (dengan t kecil) yang harus dinegasikan
adalah tuhan intervensionis, yang menjamin kehidupan manusia (dan alam) itu
sendiri. Tuhan yang berperan di semua aspek kehidupan. Tuhan yang bertindak
sebagai, dalam psikoanalisa, yang-lain-yang-besar (Big
Other) dengan kapasitasNya untuk mengatur semua hal dalam
realitas, dimana ia menjamin semua makna yang ada dalam realitas itu sendiri.
Tuhan ini tidak bisa ada, karena memang peranan intervensionis dia di ranah
material ada pada hukum alam itu sendiri. Dalam hukum alam, keberadaan
tuhan sebagai penguasa pengatur segala memang tidak diperlukan.
Perihal Iman Materialis
Jika memang Tuhan adalah eksepsi,
lalu bagaimana eksepsi ini dimungkinkan untuk ada dan aktual? Untuk menjawab
pertanyaan ini, kategori iman dapat menjadi kunci. Berbeda dengan argumen
Martin, iman adalah esensial. Ia bukanlah kategori mengenai ‘kurangnya
pengetahuan’ yang memberikan ruang bagi Tuhan. Tapi, Tuhan itu ada hanya
dapat dimungkinkan dengan adanya iman itu sendiri. Argumentasi saya di sini
sederhana, semenjak Tuhan dalam konstruksi materialis adalah eksepsi radikal
dari realitas, maka iman adalah kepercayaan mutlak atas eksepsi tersebut.
Realisasi atas kepercayaan mutlak ini yang membuat Tuhan meng-ada dan aktual
pada dirinya sendiri.
Problem persepsi dalam fisika
kuantum memberikan petunjuk pada bagaimana iman muncul secara imanen atas
eksespsi dari realitas. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, dualitas
gelombang dan partikel membuka kemungkinan pembacaan idealis dimana problem
terbesar dari memahami realitas terdalam adalah keterbatasan epistemologi,
yang pada akhirnya menjustifiksi keutamaan subyektivitas. Akan tetapi, bagi
Bohr, fisika kuantum berhubungan dengan pengukuran fenomena, bukan pada
fenomena yang ‘berdiri di belakang: sebagai pendukung substansial: semua
masalah tradisional yang membedakan antara properti yang menjadi milik
“hal-dalam-dirinya” (baca: substansi) dan properti yang hanya sekedar
“muncul” (penampakan) karena aparatus perseptif kita yang terbatas harus
ditolak.’ Bagi Bohr, distingsi antara properti primer dan sekunder seperti
ini tidak lagi memadai, karena suatu hal ‘muncul,’ termaktub dalam
‘dalam-dirinya sendiri.’ Penampakan dari suatu hal sebagai ‘hal,’ sebagai entitas
substansial, adalah hasil dari kolapsnya fungsi gelombang melalui persepsi,
jadi di sini gagasan hal yang ‘obyektif’ adalah subyektif, tergantung dengan
persepsi.
Namun Bohr mengingatkan bahwa
posisi ini tidak serta merta mengasumsikan ‘ide membentuk realitas.’ Dalam
kasus fisika kuantum, persepsi yang obyektif mendorong kesimpulan bahwa kita
dapat menentukan efek dari obyek yang diobervasi. Bohr menolak posisi ini.
Menurut dia, seseorang tidak dapat menentukan efek interaksi pengukuran atas
obyek yang diukur karena kita harus menentukan posisi foton dan momentum
secara simultan, yang secara fisik mustahil karena pengukuran posisi dan
momentum membutuhkan aparatus yang secara mutual ekslusif . Di sini kemudian
Bohr menyimpulkan bahwa observasi hanya mungkin ketika kondisi terhadap efek
pengukuran tersebut tidak dapat ditentukan.
Ada yang rumit dari posisi Bohr
ini. Bohr seakan hendak mengombinasikan posisi signifikansi persepsi dengan
indeterminasi persepsi dalam obyektifitas itu sendiri. Bagaimana hal ini
dapat dipahami? Pada titik ini, Slavoj Žižek melakukan ‘balikan dialektis’ (dialectical turn) atas posisi Bohr. Bagi Žižek, Bohr
mengajukan posisi reflektivitas ala Hegel dimana subyek terinklusi
dalam ‘gerak-diri’ objek-yang-hendak-dipahami. Žižek berpendapat, jarak
antara obyek dengan refleksinya bukan bersifat eksternal (atau obyek dalam
dirinya, refleksinya adalah bagaimana hal tersebut muncul pada subyek yang
mengobservasi), namun termaktub dalam obyek itu sendiri sebagai substansi
terdalam; sang obyek menjadi apa yang direfleksikan oleh subyek.
Eksterioritas obyek ini diimplikasikan oleh gagasan refleksivitas yang
disebut sebagai “eksterioritas di dalam” (Zizek 2012, 931).
Refleksivitas yang dikondisikan
melalui fisika kuantum mempunyai implikasi pada bagaimana kita dapat memahami
iman sebagai bagian dari struktur material. Iman, dalam hal ini, menjadi
obyektivitas yang tersubyektivisasi (dan vice versa subyektivitas
yang terobyektivisasi). Iman, dengan kata lain, dalam pembacaan materialisme,
adalah sebentuk determinasi imanen dari ide mengenai Tuhan yang dikondisikan
dalam eksepsi realitas itu sendiri.
Determinasi imanen inilah yang
kemudian menjadi agensi, yang memobilisasi sekaligus meregulasi tubuh subyek
(atau hamba) dalam ide Tuhan. Akan tetapi, determinasi ini bersifat
inkonsisten. Semenjak ontologi pada dasarnya adalah keseluruhan yang
bukan-keseluruhan (non-all), maka determinasi imanen
ini membuka kemungkinan untuk salah-baca (misperceived).
Dalam hal ini, yang-lain-yang-besar (Big Other)
dimungkinkan untuk kembali sebagai representasi dari eksepsi, dimana
keberadaan yang eksepsional dipercaya sebagai penjamin utama bagi makna iman.
Tidak heran jika rupa keimanan yang eksepsional terkadang dipahami sebagai
keimanan buta atas entitas yang tak terjangkau (beyond), yang
menentukan semua tindak-tanduk hamba-Nya. Pembacaan tuhan seperti inilah yang
dominan muncul dalam narasi fundamentalisme (baik fundamentalisme pasar
maupun agama), dimana Tuhan menjadi penentu bagi semua hal di dunia. Manusia hanya
menjadi bidak dari keinginan (will) Tuhan yang
tidak dapat dipahami oleh manusia itu sendiri. Contoh paling vulgar dapat
kita lihat pada bagaimana Bin Laden dan Bush sama-sama menggunakan Tuhan
sebagai penjamin dari tindakan kekerasan irasional. Di sini, akhirnya,
keimanan atas Tuhan menjad narasi utama untuk menyokong kembali status-quo.
Namun, bagi iman materialis, tuhan
sebagai yang-lain-yang-besar tidak ada dan tidak pernah ada. Iman atas Tuhan
sebagai eksepsi untuk itu harus ditempatkan sepenuhnya dalam kekosongan
ontologis. Posisi Tuhan bukan sebagai penjamin makna, namun berada sebagai
kekosongan yang menjadi ruang di luar konfigurasi yang ada. Mediasi
kekosongan menjadi kemungkinan baru dapat dibaca melalui kategori
psikoanalisa death drive (dorongan-kematian).
Eksepsi dari kekosongan ontologi adalah kondisi dengan dorongan untuk
menciptakan suatu obyek parsial yang tidak dapat ditempatkan dalam konstruksi
ontologi itu sendiri. Dalam kategori Lacanian, obyek parsial ini dipahami
sebagai objet petit a (objek kecil
a) dimana keberadaan dirinya adalah hasil dari dorongan yang terjadi di lokus
kosong ontologi yang tidak lengkap itu sendiri. Kekosongan dalam ontologi
menciptakan hasrat akan obyek untuk mengisi kekosongan tersebut. Namun,
sebagaimana dikemukakan Žižek, obyek tersebut sudah selalu tidak ada. Dalam
hal ini obyek yang dihasrati (desired object),
via dorongan (drive), menjadi
obyek-penyebab keinginan (object-cause of desire)
yang membuat hasrat akan kekosongan menjadi obyek itu sendiri. Obyek-penyebab
keinginan ini menjadi objek tersendiri yang keluar dari koordinat ontologi
yang mengondisikannya (Žižek 2004).
Konsekuensi dari iman sebagai
dorongan di sini adalah setiap obyek iman diharuskan untuk merealisasikan
keberadaan-Nya melalui penciptaan kolektif baru di luar konfigurasi sosial
yang ada (lihat pada termin umat sebagai kolektif keagamaan). Kolektif baru
ini adalah representasi dari ekspsi yang mendeterminasi iman. Gestur ini
banyak dipahami sebagai gestur sektarian mereka yang beriman, tapi pada
dasarnya justru gestur ini adalah sejenis peristiwa (event) Badiousian, dimana kebenaran
mengaktualisasikan dirinya secara material. Kolektif baru inilah yang membuat
mereka yang beriman sahih untuk menyatakan bahwa Tuhan ada, dan keajaiban
Tuhan selalu ada. Tuhan beserta keajaibanNya, pada akhirnya, selalu
beroperasi dalam kolektif ini. Dalam hal inilah iman yang sifatnya singular
menjadi universal melalui ledakan kolektivitas.
Penutup
Pada awal 1920an, salah seorang
letnan terpercaya Lenin, Grigorii Zinoviev, menulis sejarah kontroversi
partai yang berseliweran sekitar What Is To Be Done: ‘Ekonom
pengritik Lenin akan berkata, “Jadi menurutmu (baca: Lenin), Apakah
kelas pekerja adalah sang juru selamat (mesiah)?” untuk pertanyaan ini kita (Para
Komunis) akan menjawab dan menjawab sekarang: juru selamat dan
juru-selamatisme (messianism) bukanlah bahasa kita
dan kita tidak menyukai kata-kata tersebut: namun kita menerima konsep yang
termaktub didalamnya; Ya! Kelas pekerja, dalam pemahaman tertentu, adalah
sang juru selamat dan perannya adalah peran juru selamat… namun kita menolak
termin semi-mistis seperti juru selamat dan juru-selamatisme dan lebih
memilih termin yang lebih ilmiah: proletariat yang hegemonik!’ (Tulisan
Zinoviev mengenai Lenin secara kasat mata dapat dibaca sebagai penolakan
Lenin akan mesianisme. Namun, di sini, kita harus membaca gestur Lenin secara
dialektis.
Bukankah penerimaan parsial Lenin atas mesianisme, yang merupakan
bagian inheren dari ide tentang Tuhan, menunjukkan bahwa ada kebenaran dalam
agama itu sendiri? Bahwa Lenin, sang ateis besar, tengah mengoperasikan
logika layaknya iman dalam agama ketika mengajukan peran kelas pekerja? Di
sini kita menemukan suatu yang radikal dari ide mengenai Tuhan. Bahwa agama
sebagai strukturalisasi ide mengenai Tuhan adalah prosedur materialis untuk
mencapai kebenaran).
Kontra teologi Martin: Tuhan bukan
mengenai bagaimana ia dapat dipahami, namun ia juga harus selalu diimani
dalam pemahaman itu. Hal inilah yang kemudian membuat ide mengenai Tuhan
selalu membuat kesadaran mereka yang beriman selalu bergerak dan berupaya
untuk merealisasikan ide tersebut dalam kenyataan praktis mereka. Dalam
inilah Tuhan menjadi ada.
Untuk itu, kredo iman materialis
dapat (dan harus) ditulis ulang:
Tiada
tuhan Selain Tuhan
Yang adalah kekosongan dalam ontologi materialis Yang mendeterminasi subyektivitas manusia dan mengaktualisasikan diri-Nya dalam relasi kolektif baru dalam sejarah Maka aku beriman kepada Tuhan Amin… Amin Yaa Rabbal Alamiin. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar