Buku,
Polemik dan Gosip Dunia Perbukuan 2013
Irfan Bajang ; Blogger di irwanbajang.com, Pemimpin Redaksi Indie Book Corner
|
INDOPROGRESS,
02 Januari 2014
MENJELANG akhir tahun 2012 saya
mendapat kabar baik dari banyak teman di dunia perbukuan. Akan banyak buku
bagus terbit di tahun 2013. Faktanya memang begitu. 2013 bagi saya secara
pribadi adalah tahun di mana buku tak pernah seramai dan semeriah ini
dirayakan. Bertaburannya buku dan animo penulis yang melonjak bisa dibuktikan
dengan mendatangi toko buku dan selalu ada buku yang baru. Facebook, twitter , blog dan portal-portal
tulis-menulis diriuhkan dengan buku-buku dari penulis yang baru saja rilis.
Ajang lomba penulisan dipenuhi oleh penulis baru. Ramai. Ramai sekali.
Sepanjang tahun. Seperti ramainya poster-poster politisi yang ngebet ingin sekali diperhatikan di seluruh ruas
jalan Indonesia. Tanpa terkecuali.
Banyak buku bagus terbit, meskipun
beberapa gosip yang saya tunggu realisasinya tak kunjung juga terbukti. Eka
Kurniawan konon akan menerbitkan buku tahun 2013. Tapi toh akhirnya cuma konon. Puthut EA kabarnya juga
akan menerbitkan buku fiksi lagi, entah novel atau kumpulan cerpen, tapi
nihil. Beberapa buku Puthut yang terbit adalah buku nonfiksi. Kabar yang
baik. Tapi sesungguhnya saya menunggu fiksinya. Cerpen-cerpennya sudah lama
saya tunggu. Eka Kurniawan berhenti dari riuh sosial media dengan
menonaktifkan akun-akunnya. Saya kira akan ada buku yang terbit, tapi nyatanya
belum juga. Buku ketiga trilogi Sepatu Dahlan konon juga akan terbit, tapi
nyatanya belum. Beberapa penulis muda yang saya sukai karyanya juga berencana
seperti itu, tapi akhirnya kandas atas nama revisi, rasa malas dan hal-hal
lain yang tak terjelaskan.
Riuhnya buku di tahun 2013 akan
saya coba rangkum dalam tulisan ini. Bukan hanya buku yang terbit, tapi
beberapa hal yang melingkupi dunia perbukuan. Isu, gosip dan beberapa polemik
buku.
Sebelumnya, saya ingin melakukan
konfirmasi awal: Bahwa tentu saya tak bisa menulis semua buku yang penting
dan tidak penting di tahun 2013. Beberapa catatan di bawah ini hanyalah
catatan pribadi dari buku-buku yang saya ikuti. Data buku yang tampil juga
hanya buku yang saya baca. Saya tak mau menambahkan buku yang masih saya
raba-raba. (Pengecualian untuk beberapa buku yang belum saya baca akan saya
berikan keterangan.) Demikian.
Buku-Buku yang Merah dan Marah
·
Edisi
5 Tahun bemipoetra
Tahun buku 2013 yang panas
ditandai dengan munculnya terbitan Edisi Lengkap 5 Tahun Jurnal Sastra boemipoetra. Buku ini menjadi genderang baru
lagi perang lama yang nyaris tidak pernah antiklimaks. Sejak 2007, bahkan sebelumnya, boemipoetra melakukan
serangan terhadap Salihara. Komunitas yang berbeda dan dianggap menjadi pusat
kanonisasi sastra terbesar yang harus dihancurkan dominasinya.
Sebelum dirilis menjadi edisi
lengkap selama lima tahun, boemipotera awalnya
adalah sebuah jurnal sastra. Jangan mengharapkan jurnal yang sopan-santun
seperti jurnal terbitan Balai Bahasa atau keluaran Fakultas Ilmu Budaya.
Jangan. Gaya tulis redaktur jurnal ini tentu sangat berbeda. Dalam sebuah
ulasan, Muhidin M Dahlan, kerani Indonesia Buku, membandingkan jurnal sastra
ini dengan tulisan-tulisan Tirto Adhi Soerjo yang menyebabkan ia disandera
hingga tak berkutik pada 1913. Mas Marco Kartodikromo, jurnalis didikannya
mendirikan Indlandsche Journalisten Bond (IJB),
1914. Goentoer Bergerak dan kemudian Doenia Bergerak dengan menggunakan bahasa melayu
pasar, meledak-ledak, dan bahkan urakan. Kata ‘kowe,’ ‘pantat’ tanpa ragu
dipakai memaki Priyayi Jawa. Muhidin menyebut boemipoetra sebagai
titisan tradisi pembangkangan yang pernah dilakukan Marco, bocah tengil punk dari golongan nonpriyayi.
Dibandingkan dengan jurnalisme
yang menjadi nenek moyangnya, boemipotra tampil
dengan cara yang tak berbeda. Taburan makian seperti ‘monyet,’ ‘sampah,’
‘penjahat’ dan kata sejeninya tercecer hampir di semua badan jurnal, terutama
catatan editorial yang mencerminkan ke mana ideologi para penggeraknya
diarahkan.
Ilustrasinya tak kalah gahar.
Beberapa kali ilustrasinya menghadirkan sosok Goenawan Mohamad (GM) yang
menjadi fokus serangan. Selain membuat akronim GM sebagai Gundul Moyet,
Salihara menjadi Salaharah, foto GM ditampilkan juga dengan ilustrasi
‘monyet,’ foto Kebo untuk SBY dan ilustrasi lain khas gaya pamflet. Sejajar
dengan zine-zine punk, ciri dan identifikasi diri telah
berhasil dilakukan boemipoetra. Tapi
tentu bukan hanya makian dan ejekan kasar yang ditampilkan, beberapa
esai/kritis mendalam ditulis dengan memenuhi syarat ilmiah penulisan kritik
sastra.
Sejatinya, bundel boemiputra terbit di ujung tahun 2012, namun
distribusi dan diskusi buku baru dimulai di awal tahun berikutnya. Semoga
saya tak salah jika harus menjadikannya buku ini sebagai buku pembuka dan
buku yang ramai dibicarakan di tahun 2013.
Menanggapi buku ini, Goenawan
Mohammad yang diserang seperti biasa selalu anteng dan tak merespons, malah
sempat membuat twit yang saya yakin
diarahkan ke Saut Situmorang, salah satu redaktur boemipotera yang getol membuntuti GM di dunia
maya. ‘Percuma meladeni, buang-buang waktu saja,’ tulis
Gunawan di salah satu kicauan mayanya. GM sepertinya sedang mencari aman
seperti sejak awal.
Namun kasus panas akhir tahun yang menimpa Sitok
Srengenge, seorang kurator Salihara, membuat banyak sekali serangan baru—baik
yang sejenis dan seideologi dengan boemipoetra atau
dengan kepentingan lain—memiliki celah baru untuk melakukan serangan.
Di senjakala usianya, GM tampak
tetap ingin tampil jumawa dan tenang. Saya sepakat dengan Puthut EA di sebuah
tulisannya berjudul Catatan Samping yang
membuat pengandaian GM dengan Soeharto. ‘Semua bisa dilakukan oleh para pakar
strategi yang hebat seperti Suharto dan Pak Goen. Musuh mereka hanya satu:
waktu.’ Tulis Puthut.
·
Kekerasan
Politik Budaya 1965
Martin Suryajaya kembali tampil
dan membuat geger. Anak kecil—jika dibandingkan dengan GM mungkin terpaut
empat sampai lima dekade—ini meresensi buku Kekerasan Budaya Pasca
1965karya Wijaya Herlambang (November 2013). Martin menghadirkan beberapa
fakta baru. GM dituding menjadi agen CIA, padahal sebelumnya oleh boemipotra, GM sendiri dituding sebagai antek
imperialis Amerika dan merusak budaya Indonesia.
Martin menampilkan beberapa arsip
memo Ivan Kats yang menunjukkan kedekatannya dengan GM. Nasib Martin lebih
baik, wacana dan diskursus yang ingin ia bangun tak bertepuk sebelah tangan.
Tak seperti boemipetra yang dicuekin, GM menjanjikan menulis tiga seri jawaban
untuk satu catatan Martin.
Tanggal 10 Desember GM menulis di
blognya. Balasan pertama berisi memoar dan perkenalan. Tulisan GM ini menurut
saya penting, setidaknya sebagai pembuka secara kronologis dan bagaimana GM
nanti akan menguraikan dan menjelaskan memo anjuran buku apa saja yang
diusahakan terjemah dan terbit di Indonesia, seperti yang diurai Martin.
Selain itu, penting bagi GM untuk menjawab seberapa jauh keterlibatannya
dengan Ivan Kats. Situs indoprogress
yang memfasilitasi diskusi itu bahkan jebol karena overbandwidth. Hal ini menandakan bahwa respons
pembaca sangat besar dan perdebatan ini menyita perhatian publik secara
serius.
Dua jawaban yang dinantikan banyak
pembaca tak kunjung muncul. Sampai tulisan ini saya tulis di ujung tahun, GM
belum menambahkan apapun. Mungkin GM punya PR menyelesaikan beberapa
perkerjaan, terutama menulis Caping rutin
seperti biasa.
Dalam buku ini, Wijaya
mempublikasi penelitiannya sekaligus mengabsen beberapa budayawan yang
dibayar dan didanai untuk mengawal kekerasan secara kultural terhadap
komunisme pasca tragedi berdarah 1965. Menurut Wijaya, Goenawan Mohamad,
Mochtar Lubis, Taufiq Ismail dan beberapa nama lain punya kaitan kuat dengan
agen CIA bernama Ivan Kats. Buku yang tadinya adalah tesis doktoral Wijaya
Herlambang ini setidaknya memberi catatan penting bahwa beberapa desas-desus
tentang agen CIA yang banyak dibicarakan berhasil ia buktikan lewat
penelitian ilmiah.
·
Sastra
Nasionalisme Pascakolonialitas
Wijaya Herlambang menerbitkan buku
di bulan November. Di penghujung tahun, Katrin Bandel menulis sebuah buku
kritik sastra, Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas.
Respon atas buku Katrin memang belum banyak terlihat. Sebab buku itu sendiri
baru saja diedarkan beberapa minggu sebelum Desember berakhir dengan gegap
gempita perayaan kembang api pergantian tahun. Tapi dengan terbit di ujung
tahun, gaung buku ini akan masih sangat menggema dan berlanjut. Katrin seolah
mengeluarkan jurus pamungkas tahun ini. Menutup tahun yang panas dengan
memantik diskusi yang lebih panjang lagi di tahun 2014 nanti.
Meskipun mayoritas esai yang
terbit di buku Katrin ini sudah terbit di jurnal sastra boemipoetra, tapi dalam pengantarnya Katrin
menjelaskan beberapa hal. Ia merevisi banyak data, info dan tulisannya. Buku
ini merekam 7 tahun perjalanan baru Katrin Bandel. Sebelumnya, pada tahun
2006, ia telah menerbitkan buku Sastra, Prempuan, Seks. Buku
tulisan Katrin ini menarik, sebab ia menulis dengan jernih dan dengan bahasa
Indonesia yang sangat baik. Catatan kaki yang lengkap membuat buku kritik
sastra ini menjadi buku kritik sastra dengan metode ilmiah yang terpenuhi.
Dalam buku ini, Katrin menulis
banyak permasalahan satra di Indonesia, mulai dari ketidaktersediaan ruang
apresiasi yang cukup di majalah/jurnal sastra, klaim beberapa pihak tentang
karya yang harus dibaca dan tidak dibaca, juga ulasan dan kritik mendalam
dari beberapa karya sastra terbaru dan klasik di Indonesia. Sastra Tionghoa,
karya terbaru, populer, sampai polemik terjemahan karya Andrea Hirata masuk
dalam tulisan-tulisan panjang dalam buku ini.
·
Buku
Puisi Jokpin vs Afrizal Malna: Kepayahan Jokpin dan Kebuntuan Afrizal
Kebingungan pertama saya untuk
buku Joko Pinurbo (Jokpin) kali ini adalah susahnya mencari buku ini di toko
buku. Ketika sampai di toko buku langganan, sengaja saya tidak memakai
komputer pencarian buku yang tersedia. Selain ingin juga mencari judul lain
di rak sastra dan puisi, toko buku bagi saya adalah serupa area wisata. Kita
bisa menemukan buku-buku tak terduga dan tak terencana sebelumnya. Toko buku
sesekali menjadi lokasi wisata yang menyimpan banyak rencana dan kejadian tak
terduga. Tapi ternyata saya salah. Buku ini tidak saya temukan di rak sastra.
Saya cari di rak budaya, rak buku baru, juga tidak terlihat.
Saya menyerah.
Akhirnya saya memakai komputer
pencarian yang tersedia. Alhasil, buku ini saya temukan dideretan buku-buku
komik, berdekatan dengan buku humor dan buku cerita anak-anak. Jokpin
teronggok bersama komik lucu Beni-Mice yang sudah pecah kongsi. Tidak heran,
sebab sampulnya yang warna-warni dan judul yang agak ‘alay’ membuat buku ini
sekilas bisa saja digolongkan dengan buku-buku semacam ini. Buku saya beli
dan saya bawa pulang. Tak sabar rasanya membuka segera.
Apa isi buku ini? Membukanya, saya
harus menarik napas agak dalam. Panjang dan dalam. Jauh dari ekspektasi yang
saya bayangkan sejak awal.
Kesan pertama melanggengkan kesan
sampul buku. Kumpulan puisi Jokpin kali ini seperti buku anak-anak yang
ditaburi kalimat-kalimat lucu. Atau buku serupa desain buku anak yang dihiasi
kalimat bijaksana, atau anggap saja seperti kumpulan kata-kata mutiara. Tentu
buku Jokpin isinya bukan kata-kata mutiara. Tapi puisi dalam buku ini
diandaikan secara visual oleh sang ilustrator cenderung secara verbal,
layaknya ilustrasi untuk buku anak.
Puisi dalam Haduh Aku Di-Follow (Februari 2013) memang
segar. Saya tidak bisa tidak untuk mengakui ini. Yang saya sayangkan adalah
tipe buku yang cenderung terlihat tergesa-gesa. Jokpin seperti sedang mencuri
dan memanfaatkan momentum ledakan sebuah situs jejaring sosial bernama Twitter . Kata-katanya dalam buku masih khas
Jokpin, penuh kejutan, satire-satire lucu yang kadang membuat miris dan geli
bercampur kesal dalam diri. Tapi eksplorasi Jokpin nyaris tidak ada!
Tadinya saya mengira buku ini akan
menyajikan beberapa puisi yang pernah ditwit, lalu akan dikombinasikan,
dirangkai ulang, ditambahkan dan dikurangi beberapa kata, lalu disusun lagi
menjadi puisi komplit yang panjang. Maksud saya, Jokpin tak hanya berhenti
pada kaidah puisi twitter, tapi masih mengacu pada puisi standar yang selama
ini dia tulis. Setidaknya puisi gaya Jokpin. Nyatanya, hanya ada puisi-puisi
yang panjangnya tak sampai 140 karakter. Itu saja. Tak ada yang lebih.
Awalnya saya kira Jokpin
memanfaatkan jejaring sosial twitter untuk
menulis kilasan-kilasan ide yang mucul, atau penggalan-penggalan puisi yang
tak utuh di kepalanya. Mengetik 140 karakter jelas membutuhkan waktu yang
sangat singkat, jauh lebih singkat dari menyusun kalimat-kalimat menuju puisi
seperti kebanyakan. Apalagi kalau twit yang dimaksud (baca: puisi) itu
dimaksudkan hanya untuk bercanda. Karya ditulis saat itu juga, dipublikasikan
dan dijadikan saat itu juga. Jokpin menjulis di twitter lalu mengalihkan puisi pendeknya itu ke
medium buku.
Ruang 140 karakter yang bisa jadi
hanya syarat mutlak puisi twit ternyata tak berarti apa-apa bagi Jokpin.
Ruang twitter hanya menentukan batasan
mengetik dan kepadatan kata-kata. Jokpin tak melakukan eksplorasi.
Kita mengenal karya sastra pendek
yang telah lahir jauh sebelum era twitter. Haiku atau pantun, adalah
contohnya. Haiku dibatasi dengan syarat mutlak, harus tersusun atas 7-5-7
suku kata. Ketika seorang penulis menganggap dirinya menulis Haiku, maka ia
tidak bisa keluar dari formulir yang telah disepakati tersebut. Ada syarat
mutlak yang tak bisa diubah. Demikian juga dengan Pantun. Pantun harus
ditulis bersajak ab-ab. Jika tidak, maka gagallah ia sebagai pantun. Ada juga
Soneta, Gurindam, Suluk, Syair dan lain sebagainya. Semua tipe karya sastra
tersebut punya syarat masing-masing dan tak bisa diingkari.
Jokpin menerapkan syarat yang
terlalu gampang untuk sebuah genre baru puisi twitter yang
ia sebut putwit. Tak perlu banyak syarat,
ketik dan yes! Terkirim ke khalayak pengikut akun.
Mengamati puisi dalam buku ini,
setidaknya saya bisa melihat sedikit keseriusan Jokpin menulis dan menyusun
twitnya. Ia melakukannya dengan sadar, sesekali dengan satu tema yang
berkelanjutan. Hal ini dibenarkan dengan sebuah petunjuk yang ia beri nama
Legenda di awal-awal halaman buku. Juga dengan peta kronologis yang ia susun untuk
membantu pembaca melihat jejak-jejak karya yang ia susun.
Daftar isi di awal
dibuat dengan peta. Puisi bulan Januari dari halaman 1, Februari dari halaman
26, Maret 31 dan seterusnya. Juga daftar isi yang disusun di belakang menjadi
indeks dengan tema-tema yang disusun secara sistematis.
Nanang Suryadi, atau Agus Noor,
setahu saya, menulis dulu di twitter, lalu merangkai kembali kumpulan
twitnya, menambahkan yang penting, menghapus yang tidak penting. Membuang,
menambal, menghadirkan kata-kata baru untuk mendukung keutuhan puisinya.
Mereka menerbitkannya menjadi buku setelah melalui proses ini. Saya kira
Jokpin akan begitu. Nyatanya tidak. Meskipun secara sadar menyusun twitnya,
tapi pemindahan twit ke dalam buku tanpa ada perubahan apapun bagi saya adalah
sebuah bentuk kemalasan.
Dalam buku ini, saya seperti
merasa kehilangan puisi bagus Jokpin. Akan lebih nyaman mengikuti akun twitter nya, memilih puisi mana saja yang saya
sukai secara acak, menjadikannya favorite atau
sesekali meretwit untuk saya sampaikan lagi pada follower yang ingin membacanya. Buat apa
memindahkan kumpulan kicauan di dunia maya ke dalam buku? Kalau tak ada hal
baru yang ditawarkan, diamkan saja akun twitter itu dan
jangan cetak!
Di buku kumpulan puisi twitter nya ini, Jokpin mungkin ingin
menunjukkan identitas puisinya yang berbeda dari sebelumnya. Seperti yang ia
katakan; ‘saya tidak ingin puisi saya dicap erat dengan celana terus, saya ingin meninggalkan celana. Ketika penyair tak bisa
lepas dari cap yang menempel itu, maka penyair mati kreativitasnya. Saya
tidak ingin mati’ (Tempo, 7-13
januari 2013).
Namun bagi saya, Jokpin tetap
gagal! Puisi dalam buku ini bahkan tidak lepas dari ‘celana’, “Waduh, celanamu tertinggal di dalam sajakku/Sajakku terkunci dan
aku tak tahu di mana kuncinya” Tak ada eksplorasi apapun,
bahkan tidak ada keseriusan menghadapi abad baru dunia twitter yang hanya 140
karakter. Tidak ada yang istimewa. Visualisasi yang sangat ramai, bahkan
cenderung menjadi sangat pop dengan balutan full colour seolah
menegaskan pasar yang sedang dibidik oleh penulis/penerbit buku tersebut.
Alih-alih eksplorasi atau ingin melepaskan diri dari cap yang menempel
padanya, Jokpin lebih mirip dengan selebtwit baru yang mengumpulkan lalu
mencetak kata bijak, jenaka, puisi atau apa saja yang ada di twitnya untuk
dijual dengan harapan, siapa tahu follower membeli.
Lumayan.
Jika saya diizinkan bisa membalik
dan menyelamatkan Jokpin, saya ingin menjadikannya usia 15 tahun dan buku
twit-twit ini adalah buku pertamanya! Bukan buku yang lahir setelah era
puisi-puisi bagus yang pernah ia tulis.
·
Museum
Penghancur Dokumen, Afrizal Malna
Lain Jokpin. Lain lagi Afrizal.
Ketika menyandingkan atau menulis puisi seperti Afrizal, penyair lain harus
menimbang banyak hal. Afrizal menulis puisi dengan cara berbeda baik di
generasinya, di generasi sebelumnya atau generasi terkini penyair muda
Indonesia. Bukan hanya dalam tema maupun diksi, Afrizal unggul dalam
kedalaman dan pilihan hal yang akan dibahas dalam puisinya. Kuatnya Afrizal,
bahkan membuat penyair lain yang menulis mirip Afrizal dianggap Afrizalian.
Dalam epilog buku Museum Penghancur Dokumen (April 2013), Afrizal
menyatakan ingin mengopi-paste berkali kali beberapa kata. Ia tampaknya
buntu. Jengah dengan eksplorasinya, atau setidaknya sedang menemukan sebuah
titik jenuh keafrizalannya. Afrizal dalam buku ini tampak mencari celah-celah
baru untuk keluar dari ruang puisi yang telah ia bangun. Tapi ia kesusahan.
Eksperimen puisi dalam bentuk garis, kotak dan beberapa puisi khas Afrizal ia
masukkan dalam buku ini menunjukkan ke arah mana Afrizal ingin bergerak
bersama puisinya. Afrizal tampaknya sedang gundah. Buntu.
Jokpin punya ciri khas, sama
seperti Afrizal, tapi eksplorasi Jokpin dan Afrizal berbeda. Jauh berbeda dan
jauh kadar keseriusannya. Buku mereka sama-sama terbit 2013 dan Afrizal
berhasil. Jokpin entah. Sebagai penyair yang tekun dan berbeda, menunggu
puisi Afrizal akan menjadi momen yang seru bagi saya pribadi.
Kesalahan besar dalam Museum Penghancur Dokumen justru datang dari penerbit
buku. Penjilidan buku seperti lem fotokopian harusnya membuat malu sang
penerbit yang berada di Jogja. Terlebih ia tidak sedang menggarap buku
penyair atau buku puisi yang biasa saja. Kalau kualitas cetak buku ini
diterapkan untuk kompilasi penulisan puisi hasil lomba berbayar yang banyak
kecurangannya dan dilakukan oleh penerbit abal-abal, saya rasa wajar. Tapi untuk buku
ini? Halo Mas Penerbit, Jogja itu gudang buku dan penerbit, kenapa
jilid buku Afrizal kayak fotokopian? Jogja akan malu melihatnya!
Di luar dua buku penyair tersebut,
ada banyak lagi buku puisi yang terbit. Penyair senior—maksud saya yang sudah
lebih awal menulis puisi—atau penyair baru juga banyak menerbitkan
buku. Kopi, Kretek, Cinta, Agus R Sardjono, (Juni
2013); Penyair Midas, Nanang Suryadi (April
2013); Telapak Air, Soni Farid Maulana, (Maret 2013), adalah
beberapa bagian dari penyair yang menerbitkan buku puisi di tahun panas 2013.
Penyair baru yang muncul dari
dunia baru di luar koran minggu dan majalah sastra, juga ramai-ramai
menerbitkan buku. Gampangnya, produksi wacana dalam bentuk buku, dukungan
teknologi print on demand dan
menjamurnya penyedia layanan jasa menerbitkan buku turut memberi andil
fenomena ini.
Sebagian penyair muda yang tekun
dan rajin, Adimas Immanuel, Mario Lawi
dan beberapa penulis muda tekun lainnya dapat dibilang berhasil dalam
bukunya. Sisanya hanya memproduksi buku berisi sampah paradoks antara
kemudahan publikasi dan hasrat popularitas yang makin menjangkiti penulis
muda.
Demam selebtwit menerbitkan buku
dan menganggap follower mereka adalah pasar
potensial bagi sebagai pembeli, membuat jumlah buku yang terbit seperti
banjir Jakarta yang tak pernah bisa dibendung di musim hujan.
·
Buku-Buku,
Komentar Suram dan Ajang Penghargaan
‘Turut berduka untuk sastra
Indonesia sedalam-dalamnya, karena karya AS Laksana “Murjangkung, Cinta yang Dungu dan
Hantu-Hantu” yang menjadi benteng terakhir sastra Indonesia
bermutu di tahun ini tidak memenangkan Khatulistiwa Literary Award untuk
kategori prosa,’ tulisa Linda Christanty di akun facebook nya beberapa saat setelah pengumuman
pemenang kategori prosa Khatulistiwa Literary Award (KLA) diumumkan.
Pulang karya Leila S Chudori. Novel
ini sejak awal memang ramai dibicarakan, sama seperti Amba karya Laksmi Pamuncak. Kedua novel yang
terbit di penghujung tahun 2012 ini, menurut Goenawan Mohamad dalam Caping nya, adalah dua novel yang penting karena
’… Amba melawan itu: menghadirkan
orang-orang yang tersingkir dari catatan tahun 1965—dan begitu pula Pulang.’ Berbeda dengan Dea
Anugrah, yang
menyatakan tokoh-tokoh antagonis dalam Pulang terlalu
menampilkan sisi gelap dan memiskinkan Pulang sebagai
sebuah karya sastra.Alwi Atma Ardana malah menyatakan ada hal ambivalen tentang korban
yang ada di Amba dan Pulang, sebab keduanya berangkat dari sinisme
pada ideologi. Ideologi Komunisme.
Lepas dari beberapa pendapat
itu, Murjangkung menurut saya memang jauh lebih
unggul dari keduanya. Dalam hal ini, saya sepakat dengan pilihan Linda. Dari
segi capaian dan kualitas tulisan, AS Laksana lebih berhasil menyuguhkan
cerita yang menarik. Bukan hanya ide sederhana yang dia olah dengan
kelancaran menulisnya, tapi juga beberapa absurditas yang berhasil ia jaga
dengan mempertahankan logika yang tak lepas adalah salah satu kelebihan Murjangkung.
Komentar Linda tentang
ketidakterusterangan juri menjadi fokus utama kritik yang ia lancarkan. Salah
seorang juri tadinya adalah publisis untuk novel yang menang dalam ajang
penghargaan tahunan KLA tersebut. Tapi Damar, sang publisis, telah memberi
konfirmasi bahwa ia tak lagi memegang publikasi novel yang bersangkutan.
Pengaruh seorang juri terhadap semua juri yang ada juga ditepis Damhuri
Muhamad sebagai koordinator juri. Entah konfirmasi itu bisa menjawab
pertanyaan Linda atau tidak, lepas dari itu, komentar Linda dan beberapa
gugatanya memberi ruang introspeksi bagi juri di periode berikutnya.
Saya tak membahas novel terbaru
Okky Madasari, sebab saya berhenti membaca di dua buku pertamanya, Entrok dan 86. Okky punya
peluang lebih dengan kemampuan jurnalis dan bahasan kasus sosial yang kuat.
Saya suka gagasan Okky, tapi tentunya gagasan kuat harus ditulis dengan kuat
juga. Terlebih jika dihadirkan ke medium sastra. Saya membaca dua buku
lain, Pasung Jiwa dan Maryam,
tapi tidak merampungkannya.
Jika ada juara dua KLA untuk
kategori prosa, saya berharap besar pada Surat Panjang Tentang Jarak
Kita yang Jutaan Tahun Cahaya karya Dewi Kharisma Michellia
(Juni 2013). Sebagai penulis termuda di antara lima karya prosa yang masuk
nominasi, Michellia malah menunjukkan capaian yang lebih jauh dengan usia
sebelia itu.
·
Travel
Writer Abal-Abal dan Sesungguhnya
Sudah lumayan lama perbukuan
Indonesia diramaikan dengan hadirnya traveler yang menulis, mengabarkan ke
mana pergi, berapa biayanya, bagaimana gratis datang dan di mana makan paling
enak. Beberapa penerbit malah mengadakan sayembara dan memberi dana bagi
penulis untuk jalan-jalan ke luar negeri dan menulis jenis buku ‘Liburan ke
Suatu Tempat dengan Dana Sekian Rupiah.’
Ruang bagi para traveler kacangan
makin luas. Mereka memotret dengan ponsel pintar lalu mengunggahnya di
instagram. Beberapa orang menganggapnya harus menulis catatan tersebut,
menerbitkan di blognya bersama galeri foto nasris dengan narasi yang
biasa-biasa aja. Beberapa penerbit menerbitkannya atas sponsor hotel atau
jasa layanan travel. Maka lahirlah catatan perjalanan yang, kalau tak berisi
pamer, hanya berisi pengalaman turis yang terpukau pada keindahan dan
eksotisme sebuah kawasan asing. Lalu banjirlah toko buku dengan buku-buku
menyedihkan tersebut.
Agustinus Wibowo melalui Titik Nol (February
2013), bagi saya jauh lebih menarik dari hampir semua travel writer yang menerbitkan buku di Indonesia. Ia
membicarakan sebuah perjalanan bukan hanya dalam, kerangka datang, taklukkan,
dan kabarkan, lalu ceritakan ke orang dan beri foto, maka orang-orang akan
mengikuti jejakmu! Tidak. Agustinus tidak menulis seperti itu. Ia menulis
banyak hal tentang manusia dan kemanusiaan dalam perjalanan.
Perjalanan, bagi Agustinus, bukan
hanya uji nyali seberapa kuat kamu bertahan untuk berjalan jauh dengan modal
pas-pasan a la backpakker-hippies yang
ingin menaklukkan dunia dan mencari hiburan alternatif. Juga sama sekali
bukan tentang bagaimana mendapat voucher hotel
dan tiket gratis dari agen pariwisata.
Membaca Titik Nol, bagi saya, adalah membaca kemenangan
menulis Agustinus terhadap para travel writer lainnya.
Ia berhasil menulis catatan perjalanan yang bagus dan menggiring pembaca
menjadi seolah membaca novel berisi liputan jurnalistik, atau sebaliknya,
jurnalistik yang ditulis dengan gaya sastra.
Keberhasilan utama Agustinus ialah
menyelesaikan perjalanan dan menulisnya menjadi buku tebal yang bagus.
Agustinus berhasil keluar dari ragam buku traveler Indonesia, seperti catatan
perjalanan paling laris Naked Traveler tulisan
Triniti. Tak ada daftar harga hotel murah, foto makanan dan berapa tarif
untuk sampai ke sana dalam Titik Nol. Agustinus
mencatat dan pembaca seolah diajak menyaksikan musyafir lata yang
luntang-lantung ke sana ke mari. Perjalanan yang ia ceritakan bukan hanya
perjalanan fisik tapi perjalanan manusia menemui manusia lainnya.
Juga
perjalanan spiritual. Terlebih adegan buku ini ditulis juga dengan sangat
dekat memasukkan unsur paling impressif yang susah ditolak manusia;
kehilangan orang yang paling disayangi dan paling berjasa dalam hidup: Ibu.
Hampir dapat rating sempurna di situs goodreads. Buku ini menjadi salah satu buku yang saya
puji secara pribadi di tahun 2013 ini. Buku ini membuat saya, untuk pertama
kalinya, datang dan begitu antusias untuk diskusi dan bedah bukunya. Hehe.
The Naked Traveler, Across
the Indonesian Archipelago (Oktober 2013) karya Triniti, bagi saya masih masuk
sebagai kategori pertama, kategori di luar gaya Agustinus. Terbitnya
buku Naked Traveler berbahasa Inggris malah membuat saya
bingung dan bertanya. Kenapa harus nulis dalam bahasa Inggris/ diterjemahkan
jika hanya beredar di Indonesia dan diterbitkan oleh penerbit Indonesia?
Apakah buku ini akan menjadi guide book baru
yang dijual di bandara untuk para bule? Agar para wisatawan makin gampang
mendapat info ke mana berlibur yang asik? Duh!
Beberapa Kasus Buku, Penulis dan
Penerbit di Tahun 2013
·
Andrea
Hirata vs Damar Juniarto: Penulis Megabestseller vs Blogger
Hampir saja saya lupa. Tahun baru
2013 dibuka juga dengan sebuh isu buku yang panas. Awal tahun, Andrea Hirata
digugat Damar Juniarto, seorang blogger dan publisis. Bukan permasalahan
tentang buku. Ini permasalahan eksistensi Andrea dan bagaimana branding di dunia internasional. Kasus ini juga
dibahas Katrin dalam buku terbarunya Sastra Nasionalisme Pascakolinalitas.
Pada tulisannya di Kompasiana,
Damar membuat sebuah kecaman yang mengagetkan; ‘Label “International Best
Seller” yang dasar penetapannya tidak jelas ini ternyata dipergunakan Andrea
Hirata untuk mengolok-olok sejarah sastra Indonesia selama kurun kurang dari
seratus tahun.’
Andrea Hirata memberitakan dirinya
telah menandatangani kontrak perjanjian dengan pihak penerbit Farrar, Straus
and Giroux (FSG). Kabarnya, buku ini akan diterjemahkan bersama dengan karya
deretan para peraih nobel. Dengan ini, Andrea dan krunya mungkin sedang ingin
menaikkan citra di dunia perbukuan. Dengan klaim tersebut, juga sebuah
pernyataan kontroversial; ‘Hampir seratus tahun kita
menanti adanya karya anak bangsa mendunia, tapi Alhamdullilah hari ini semua
terbukti setelah buku saya menjadi bestseller dunia.’ Andrea
menjadi perbincangan seru dan panas. Damar menemukan data bahwa
penerbit Rainbow Troops—Edisi Bahasa
Inggris Laskar Pelangi—bukan diterbitkan
FSG, melainkan lini lain yakni Sarah Crichton Books, lini penerbitan buku
komersil dan bukan buku sastra serius. Banyak pihak mengecam Hirata dan
seolah sedang meremehkan penulis lain di Indonesia.
Banyak juga yang
memujinya dan melihat berita ini sebagai berita bagus dan apresiasi yang
cukup untuk tulisan-tulisan Andrea Hirata.
Ribut buku ini membuat Katrin
Bandel menulis juga beberapa kejanggalan dalam buku Rainbow
Troops, mulai dari adanya tambahan tokoh, alur yang berubah,
sampai pertanyaan besar; apakah buku ini disadur atau diterjemahkan utuh?
Damar hampir dipidanakan, diseret
ke meja Hijau oleh si Ikal Andrea, tapi sampai akhirnya, kepanasan ini
meredup, karena banyak penulis lain di media menyikapi hal ini dan Andrea
cenderung memilih diam. Ia mengumumkan sebuah surat balasan buat Damar.
Yusril Iza Mahendra sebagai penasehat hukum Andrea sendiri meminta
penyelesaian di jalur damai.
·
Novel
Jokowi, Nasib Penulis di Hadapan Penerbit dan Sutradara Mesum-Horror K.K
Deraj
Beberapa kali mendengar keluhan
penulis yang dikibuli penerbit pada tahun-tahun sebelumnya, saya mulai
optimis di tahun 2013. Saya mengira kasus-kasus semacam ini akan segera
berakhir. Nyatanya tidak! Keterbukaan media yang berada diujung jari, saya
kira akan membuat kapok banyak penerbit nakal. Nyatanya tidak. Di sebuah grup
diskusi facebook yang berisi daftar
panjang penerbit nakal, keluhan penulis dan kecaman terhadap penyelenggara
lomba menulis, masih banyak saya temui kecurangan. Sebuah kasus penulis dan
penerbit terjadi antara Gatot Suroso dan Ufuk Press.
Kasus Gatot Suroso, penulis
novel Jokowi Si Tukang Kayu dengan penerbit Ufuk Press
menjadi salah satu lagi potret sial penulis Indonesia. Saya belum baca buku
ini, saya tak bisa mereviewnya dan hanya menceritakan sedikit beberapa
fenomena dan kejanggalan yang ada.
Kisahnya buku akan diangkat menjadi
film, namun sampai film sudah mulai diproduksi, sang penulis bahkan mengaku
belum mendapatkan royalti dari bukunya (royalti tidak dibayar tepat waktu).
Bereder isu bahwa sampul bukunya akan dijadikan poster film besutan K.K
Deraj, sutradara sekaligus pemilik rumah K2K Production K.K Deraj, yang
konsisten memproduksi film-film kancrut, komedi sangek yang kebanyakan tolol
dan sama sekali tidak lucu. Tentu saja Gatot tak tinggal diam, kasus ini
menjadi ramai dibicarakan banyak pihak.
Tapi toh akhirnya film Jokowi
rilis juga. Kasus ini mengambang begitu saja. Prestasi K2K Deraj mendatangkan
bintang porno dan Mr. Bean palsu, sedikit banyak bisa ia perbaiki dengan
membuat film yang agak beres. Konon Jokowi tidak terlalu sreg dengan film dan tokoh ini. Saya kurang
tahu.
Harusnya pristiwa ini menjadi
pelajaran penting bagi penerbit. Bahwa tidak zaman lagi penulis tidak bisa
memiliki posisi tawar. Seorang penulis bisa saja bicara di dunia maya dan
ketika bangun tidur, seorang CEO penerbitan bisa kalang kabut karena tulisan
gugatan sudah menjadi headline di
beberapa blog, portal atau sudah menjadi trending topic di
jejaring sosial.
·
Buku
Terakhir Trilogi Sepatu Dahlan Tidak Ditulis Khrisna Pabichara?
Buku biografi dan autobiografi
ramai sekali sejak tahun 2012. Khrisna Pabichara mengambil jalan lain, ia
menceritakan tokoh bukan melalui biografi, tapi lewat novel.
Salah satu yang ramai dan saya
tahu adalah Sepatu Dahlan dan seri
keduanya, Surat Dahlan. MeskiSurat Dahlan tak seriuh buku sebelumnya, tapi
respon pembaca tak bisa dibilang sedikit. Angka penjualan dua buku ini masih
mengagetkan. Trilogi buku ini disebut banyak pihak menjadi salah satu buku
yang paling banyak dibaca di tahun 2013.
Peluit pencoblosan segera ditiup,
namun buku ketiga tak kunjung terbit. Di pertengahan tahun, Khrisna malah
mengumumkan dirinya tak lagi menulis di buku ketiga. Gosipnya, riset belum
selesai, sementara penerbit sudah ingin segera bukunya terbit. Khrisna yang
tak ingin bukunya menjadi alat kampanye, ditambah belum siap rampunya riset
untuk menulis novel ketiga, belum memberikan sinyal buku segera terbit. Lalu
tiba-tiba terdengar kabar ada penulis lain. Bisa jadi ada masalah serius
antara penulis dan penerbitnya. Saya tidak terlalu paham. Yang pasti, saya
ragu dan akan bingung menilainya. Sebuah trilogi ditulis penulis lain bukan
lagi layak disebut sebagai buku dengan identitas yang sama. Kecuali penulis
memiliki rumusan baku untuk menulis novel tersebut, seperti sebuah buku
tutorial menginstal windows 8 di komputer baru, misalnya. Tapi toh ini bukan
kabar burung. Khrisna sudah mengumumkannya di pertengahan tahun.
Jika ada penulis lain, saya
menyarankan tak mengekor lagi pada dua buku sebelumnya. Anggap saja Khrisna
batal menulis trilogi. Si penulis baru silakan membuat buku lain dengan
identitas/ciri buku yang lain. Lebih keren menurut saya. Kecuali buku ini
masih ingin mengekor dari popularitas buku sebelumnya.
Capaian Khrisna, misalnya,
terlihat dari tulisannya dalam cerpen Gadis Pakarena (2012).
Eksplorasinya tentang kebudayaan tanah kelahirannya, lalu tema yang diangkat,
kekuatan tokoh dan narasi adalah modal yang bagus. Setidaknya, bisa menjadi
acuan dan jaminan bagaimana sebuah novel biografi kemudian ia tulis. Tugas
penulis buku ketiga adalah menyamai atau melampaui Khrisna dalam menulis dua
buku sebelumnya. Kalau tidak, hentikan penulisannya, buat buku lain.
Ramalan Buku 2014
Sebenarnya saya ingin menambahkan
satu buku, Anak-Anak Revolusi tulisan
Budiman Sujatmiko yang terbit menjelang pergantian tahun. Tapi saya tak
kunjung menemukannya. Buku ini ramai dibicarakan di ujung tahun. Tapi saya
belum punya bukunya. Konon harganya mahal, kalau masih terbeli saya akan beli
dan baca. Saya geli membaca beberapa resensi yang ditulis untuk buku ini.
Bahkan salah satu resensi menyamakannya dengan otobiografi Soeharto. Ia
menulis H. Muhammad Budiman Sujatmiko. Duh.
Beberapa orang memuji buku ini.
Bukan karena tokoh heroik yang tak lain adalah si penulis itu sendiri, tapi
gaya bercerita yang, konon katanya, bagus. Entahlah.
Tapi Anak-Anak Revolusi bagi saya adalah salah satu
sinyal dan jembatan masuk ke tahun 2014. Tahun ini adalah tahun Politik.
Pemilu segera berlangsung dan buku sebagai alat kampanye akan segera menjadi
pilihan banyak politisi.
Tahun 2014 juga adalah tahun pesta
bagi para Ghost Writter, yang akan
menuliskan biografi atau otobiografi para politisi yang akan maju ke kancah
politik panas 2014. Maka tunggulah, buku-buku sejenis ini akan menjadi buku
paling banyak diproduksi.
Selain itu demam piala dunia akan
merambat dan memberi efek domino pada buku-buku seputaran bola. Trend buku
bola ini bahkan sudah dimulai di akhir tahun 2013. Untuk dua ramalan trend
buku ini, saya berani jamin tidak akan meleset. Hehe.
Buku-buku para pesohor dunia
maya, selebtwit dan sebangsanya juga masih akan
menghiasi rak-rak toko buku dan rak virtual toko buku. Perbedaannya, kalau di
tahun-tahun sebelumnya ada banyak buku instan dari artis instan, maka tahun
2014 bisa jadi titik jenuh buku-buku dan penulis semacam itu. Orang akan
mulai skeptis, sebab buku baru yang beredar sudah diidentifikasi negatif.
Buku bagus berbaur dengan buku sampah. Salah ambil, buku yang dibawa pulang
akan mengecewakan dan jauh dari ekspektasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar