Jumat, 17 Januari 2014

Memaknai Hakikat Politik

Memaknai Hakikat Politik

Moh Nurul Huda  ;  Peraih Beasiswa Unggulan Monash Institute
untuk IAIN Walisongo Semarang
HALUAN,  17 Januari 2014
                                                                                                                        


Politik dipandang oleh banyak go­longan sebagai per­kara kotor, najis bahkan menjijikkan. Hal ini terlihat jelas dengan asumsi banyak orang yang menyebutkan bahwa politik itu kotor, politik itu najis dan lain sebagainya. Hingga akhirnya, tak sedikit pula orang yang tidak mau berkecimpung di dunia politik. Memang, sudah sewajarnya jika banyak orang berasumsi demikian. Sebab, realitas di lapangan menyebutkan bahwa politik memang seperti itu. Namun perlu diketahui, kekotoran politik yang biasa dipandang oleh banyak kalangan,tidak serta-merta dapat diambil kesimpulan bahwa politik itu kotor.

Sebab, pada dasarnya politik itu baik. Namun, karena terpedaya oleh orang-orang kotor yang berada di dalamnya, hingga akhirnya, politik dipandang sebagai perkara yang menyebabkan banyak kemadhorotan. Nah, pandangan seperti inilah yang secara tidak langsung membuat dunia perpolitikan di negeri ini dipandang sebelah mata. Alhasil, kebobrokan politik di In­donesia sedikit banyak telah diamini oleh banyak ka­langan. Sebab, orang-orang baik yang mestinya mampu untuk berpolitik justru menghindar dari kewajiban tersebut.

Dengan berdalih terhadap makalah yang menyebutkan “wongkang soleh kumpulono”, membuat banyak orang baik tidak mau berkecimpung di dunia politik yang sudah terkenal dengan kekotorannya. De­ngan kata lain, kebanyakan dari mereka tidak mau terkena getah dari kekotoran politik. Padahal, jika dipikir secara rasional suatu sistem tidak akan menjadi buruk jika aktor atau pemerannya adalah orang-orang buruk.

Nah, inilah yang harus ditelaah lebih dalam bahwa hukum kausalitas berlaku. Sebab, pada dasar­nya politik itu baik. Hal ini dapat dibuktikan dengan artikata politik itu sen­diri. Arti kata politik memang beragam. Akan te­tapi, pada hakikatnya secara keseluruhan me­ngan­dung subtansi yang sama, yakni menunjukkan bahwa politik itu baik.

Pertama, politik berasal dari bahasa Yunani, berawal dari kata Polis yang artinya kota atau negara. Dalam artian, sistem yang ada di dalamnya hanya digunakan untuk menata kota atau negara menjadi lebih baik. Kedua, politik berasal dari bahasa Belanda yang be­r­awal dari kata Polite, yang artinya sopan. Yakni politik adalah perkara yang sopan. Dalam artian, jika tidak sopan maka tidak layak untuk dikatakan politik. Ketiga, politik dalam ter­minologi Islam biasa disebut dengan siyasah, yang mem­punyai arti mengurusi. Yakni mengurusi negara dan masyarakat agar tercipta tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi lebih baik. Dengan kata lain, sistem yang berada di dalamnya bertujuan untuk memperoleh kesejahteraan dan kemakmuran semata.

Nah, dari ketiga kata tersebut, politik dapat pula didefinisikan sebagai seni untuk menata kota atau negara agar ter­lihat indah dan baik. Definisi demikian, secara tidak langsung telah me­nun­jukkan bahwa politik itu baik. Sebab, pada dasarnya tujuan politik adalah untuk mencapai masyarakat ma­dani dan mempunyai negara baldatun toyyiatun wa mubarokatun. Namun ironis, ketika kita melihat perpo­litikan yang ada di negeri ini. Tentunya sangat ber­tolak belakang dengan ketiga istilah tersebut. Dengan kata lain politik yang ada di negeri ini sedikit banyak telah mengalami distorsi dan disorientasi.

Potretnya demikian, Sayyidina Ali bin Abi Tholib menyatakan bahwa kebu­rukan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir. Inilah masalah yang kita hadapi. Politik yang sejatinya suci, bersih dan baik, karena dikelola dan diorganisir oleh orang-orang jahat, membuat politik di negeri ini dicap sebagai perkara yang mem­bawa kemadhortan dan kemafsadatan.

Nah, jika kita me­ngi­nginkan politik di negeri ini kembali ke khi­­­tohnya, ma­ka langkah kon­k­rit yang harus kita laku­­kan adalah mengisi ranah­politik dengan orang-orang baik. Sebab, ha­nya dengan jalan itulah, kita dapat mencapai mayarakat madani dan menga­bulkan cita-cita para foun­ding fathers terdahulu. Yakni terciptanya masya­rakat adil, makmur dan sejahtera.

Namun, untuk mewu­judkan itu semua tentunya tidak semudah mem­balik­kan kedua telapak tangan. Sebab, perlu adanya sen­tuhan tangan oleh selu­ruh kalangan termasuk orang-orang baik itu sendiri. Dengan kata lain, perlu adanya sinergi yang harus dilakukan secara berjamaah. Pasalnya jika segala sesuatu dikerjakan oleh orang-orang baik dan secara berjamaah, maka sudah barang tentu hasil yang akan dituai juga lebih baik dan lebih optimal. Dalam tanda kutip hukum kausalitas atau sunnatullah berlaku.

Politik Butuh Orang Baik

Selain politik mempunyai arti kata diatas, politik juga dapat diartikan dengan terbagi menjadi dua suku kata. Yakni dari kata poli dan tik, poli berarti banyak dan tik adalah taktik. Jika digabungkan maka politik mempunyai arti banyak taktik. Memang asumsi tersebut juga benar. Sebab, politik merupakan wadah atau inkubator yang digu­nakan untuk memperoleh kekuasaan, meskipun de­ngan berbagai cara. Ter­masuk taktik kotor yang rentan terjadi, seperti suap menyuap, money politik, dan lain sebagainya. Ironis memang, namun inilah yang terjadi. Hal ini tak lain karena efek yang ditimbulkan oleh orang-orang baik tidak mau masuk ke ranah politik.

Kita semua tentu se­pakat, jika kita tidak mau dikuasai oleh orang-orang jahat. Sebab, itu sama saja akan merusak citra bangsa dan membunuh rakyat secara perlahan. Oleh sebab itu, tak salah jika politik di negeri ini harus diisi oleh orang-orang baik. Alhasil, demi terwujudnya masya­rakat madani dan tercip­tanya tatanan negara yang baldatun toyyibatun wa mubarokatun maka sesuai konsekuensinya, orang-orang baik harus masuk ke ranah politik. Dengan kata lain hanya orang-orang baiklah yang nantinya dapat menye­lamatkan dunia perpolitikan Indonesia yang telah menga­lami bobrokisasi. Wallahu a’lam bi al-sowab.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar