Kemiskinan
dan Watak Kebijakan
Ahmad Erani Yustika ;
Guru Besar Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya, Direktur Eksekutif Indef
|
MEDIA
INDONESIA, 06 Januari 2014
“Secara umum pemerintah membuka ekonomi
(liberalisasi) tanpa kontrol sehingga ruang ekonomi banyak diserobot
kepentingan dan pelaku negara lain. Penguasaan asing dalam aktivitas ekonomi
nasional kian mendominasi.”
ANGKA kemiskinan pascapenaikan
harga bahan bakar minyak (BBM) pada Juli 2013 lalu telah meningkat, baik
dalam persentase maupun jumlah orang. Badan Pusat Statistik (BPS) minggu lalu
menyampaikan data terbaru jumlah penduduk miskin yang meningkat dari 28,07
juta (Maret 2013) menjadi 28,55 juta (September 2013), atau naik 480 ribu
orang. Oleh karena itu, secara persentase, angka kemiskinan meningkat dari
11,37% menjadi 11,47%.
Dari segi lokasi, jumlah penduduk miskin terbesar berada di wilayah perdesaan
(17,92 juta), sedangkan di perkotaan 10,63%.
Sebelum pemerintah mengeluarkan
kebijakan penaikan harga BBM bersubsidi, inflasi sepanjang 2013 diproyeksikan
pada kisaran 5,5%-6%. Pemerintah kemudian merevisi inflasi menjadi 7,2%
setelah penaikan harga BBM. Namun seperti diketahui, pada 2013 inflasi mencapai
8,3%, jauh di atas proyeksi pemerintah. Inflasi tinggi inilah yang dianggap
sebagai penyebab utama kenaikan jumlah orang miskin.
Miskalkulasi
Hal pertama yang perlu
disampaikan, pemerintah tidak pernah belajar dari pengalaman dalam soal
membuat kalkulasi dampak kenaikan harga minyak terhadap inflasi. Pada 2005
dan 2008, saat pemerintah menaikkan harga BBM, inflasi juga melambung, bahkan
di atas 10% (17,1% pada 2005 dan 11,6% pada 2008). Inflasi pada saat itu juga
jauh lebih tinggi daripada estimasi pemerintah. Bahkan, pemerintah dengan
percaya diri menyatakan kemiskinan akan turun pada 2005 lalu karena warga
miskin diberi bantuan langsung tunai (BLT). Fakta membuktikan bahwa selisih
antara inflasi proyeksi pemerintah dan realisasi pada saat itu mencapai
sekitar 4,5%.
Akibatnya, kemiskinan melambung dan BLT tidak sanggup
mengompensasi kenaikan inflasi tersebut. Peristiwa itu terulang lagi tahun
lalu saat pemerintah yakin inflasi hanya akan bertambah sekitar 1,2%-1,5%
karena kenaikan harga minyak. Indef secara terbuka menyatakan inflasi akan
berada di kisaran 8,5% jika harga BBM naik sekitar 30%-35%. Terbukti,
pemerintah kembali tak akurat dalam membuat proyeksi.
Ketidakcermatan membikin kalkulasi
itu membuat program kompensasi juga berpeluang terpeleset, baik dalam
pengertian jenis program maupun intensitas pelaksanaan. Secara umum
pemerintah menggunakan instrumen BLSM (bantuan langsung sementara masyarakat)
sebagai program kompensasi penaikan harga BBM. Program itu diberikan selama 4
bulan, yang tiap bulannya diberikan Rp150 ribu.
Program kompensasi tersebut
mungkin cukup jika inflasi yang dipakai persis seperti yang dihitung
pemerintah, yakni 7,2%. Namun, pada kenyataannya inflasi jauh lebih tinggi
daripada estimasi sehingga kompensasi itu tidak memadai. Jadi, di luar soal
opsi program pemerintah yang dianggap bermasalah, dalam soal besarannya pun
juga tidak kredibel karena kesalahan kalkulasi penghitungan inflasi. Sampai
pada titik ini, sudah dua blunder yang dibuat pemerintah, yakni salah
memperkirakan inflasi, dan ketidakcermatan itu mengakibatkan intensitas
program juga mengalami kesalahan.
Pertanyaannya, mengapa inflasi
bisa sebegitu tinggi? Dalam kasus BBM, rentetan inflasi yang tinggi tersebut
tidak bisa dielakkan karena energi menjadi sumbu aktivi tas ekonomi lainnya.
Misalnya, transportasi membutuhkan bahan bakar sehingga setiap barang yang
hendak didistribusikan pasti mengalami kenaikan harga (karena adanya kenaikan
ongkos transportasi). Demikian pula petani atau nelayan yang memerlukan mesin
untuk keperluan air atau menjalankan kapal. Aktivitas tersebut juga
membutuhkan bahan bakar sehingga menaikkan biaya produksi. Itu gambaran
betapa bahan bakar memiliki kaitan yang kuat dengan kegiatan ekonomi. Beri
kutnya, jamak terjadi bila penaikan harga BBM pasti dimanfaatkan para
spekulan untuk menahan pasokan (khususnya ( pangan) sehingga dengan mudah
mengerek harga. Akibatnya, sudah bisa diduga apabila rentetan kenaikan harga
BBM itu menimbulkan kenaikan harga yang tak terbendung, seperti pengalaman
pada 2005 dan 2008 lalu. Sayangnya, pemerintah tak pernah belajar dari kasus
tersebut.
Penyimpangan
transformasi ekonomi
BPS sebetulnya mengeluarkan dua
data kemiskinan, yakni data makro dan mikro. Data kemiskinan makro dihitung
berdasarkan data sampel (bukan sensus) sehingga hasilnya sebetulnya bersifat
prediktif. Data kemiskinan ini bersumber dari Susenas (Survei Sosial Ekonomi
Nasional), yang pengambilan datanya dilakukan biasanya pada setiap Maret
dengan jumlah sampel 68 ribu rumah tangga (RT) dan mengguna kan ukuran
kebutuhan dasar (basic needs).
Namun, sekarang tampaknya ditambah dengan data November/Desember sehingga
data itulah yang kita konsumsi setiap tahunnya, termasuk yang baru
dipublikasikan minggu lalu. Sementara itu, data kemiskinan mikro koleksi didasar
kan pada ciri-ciri RT miskin. Output dari data mikro ini ialah rumah tangga sasaran
(RTS), yakni RT miskin dan RT hampir miskin. Data mikro itu sudah pernah
dilakukan dua kali, yaitu pada 2005, 2008, dan 2011. Dengan begitu, data
kemiskinan mikro akan dikerjakan lagi pada tahun ini.
Terlepas dari soal jenis data
kemiskinan tersebut, fakta penaikan harga minyak tak boleh hanya dilihat
sebagai persoalan kenaikan harga minyak semata (yang mengakibatkan inflasi).
Dalam konteks yang lebih besar, sebetulnya terdapat dua persoalan serius yang
mesti dibuka secara jernih. Pertama, strategi pembangunan yang diadopsi
Indonesia pascareformasi ekonomi 1998 secara sistematis justru menciptakan
kemiskinan baru yang tak mungkin dihindari. Secara umum pemerintah membuka
ekonomi (liberalisasi) tanpa kontrol sehingga ruang ekonomi banyak diserobot
kepentingan dan pelaku negara lain.
Penguasaan asing dalam aktivitas ekonomi nasional kian mendominasi sehingga
meminggirkan pelaku ekonomi domestik. Dalam situasi keterampilan mayoritas
tenaga kerja Indonesia yang sebagian besar berkualifikasi rendah,
liberalisasi menjadi makanan kelompok yang terampil dan bermodal kuat, yang
sebagian besar berasal dari luar negeri.
Kedua, sudah diingatkan sejak lama
agar proses transformasi ekonomi nasional menuju sektor industri dan jasa bertumpu
kepada sumber daya ekonomi domestik (sektor primer). Model transformasi
ekonomi ini akan menjamin pembangunan berjalan secara halus, pijakannya kuat,
dan berlanjut.
Nyatanya, pikiran tersebut tak pernah dipilih oleh pemerintah sehingga
industri dan jasa berkembang lepas dari sektor primer. Akibatnya, pada saat
pertumbuhan ekonomi lumayan tinggi, sektor pertanian dan industri padat karya
tumbuh rendah.
Padahal, sektor pertanian sampai sekarang masih menyerap
sekitar 40% dari total tenaga kerja dan sektor industri 12%. Industri yang
berkembang di Indonesia justru berbahan baku impor sehingga ketika nilai
tukar anjlok (seperti sekarang), harga bahan baku menjadi mahal dan sektor
industri kelimpungan. Sebaliknya, komoditas CPO, batu bara, emas, nikel,
bijih besi, karet, dan lain-lainnya diekspor dalam kondisi masih bahan
mentah. Ironis!
Pendekatan
aset
Kebijakan tadi secara jelas
menunjukkan ketidakberpihakan kepada mayoritas pelaku atau sektor ekonomi
yang menjadi titip tumpu pembangunan. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai, di
sisi lain, malah memproduksi kemiskinan baru, yakni mereka yang terlempar
dari arena persaingan ekonomi. Oleh karena itu, masalahnya bukan sekadar
kemiskinan menjadi langgeng, melainkan juga ketimpangan pendapatan makin
menganga, baik ketimpangan pendapatan antarke lompok maupun antarsektor
ekonomi.
Pada 2011 untuk pertama kalinya
rasio Gini menembus angka 0,41 (terbesar dalam sejarah Indonesia), dengan
menggunakan pengeluaran rumah tangga. Kalkulasi lain yang mengguna kan
pendapatan rumah tangga diper kirakan saat ini rasio Gini berada pada kisaran
0,48. Artinya, jika rasio Gini sudah mendekati 0,5, hal itu menandakan
parahnya ketimpangan pendapatan tersebut. Ketimpangan pendapatan, seperti
dipahami, bukan hanya soal ekonomi, melainkan juga menjadi musibah sosial.
Pada saat menjumpai masalah
kemiskinan dan ketimpangan struktural tersebut, pemerintah hanya mendesain
program penyelesaian secara karikatif. Dengan demikian, antara penyakit dan
resep yang diberikan tidak sepadan. Sejak dulu program tidak meng lami
perubahan, yang terjadi tiap tahun hanya jadi tiap tahun han
perubahan-perubahan kulit, misalnya nama program yang direvisi, tapi
substansinya sama. Pada 2005 dan 2008 muncul BLT, sekarang BLSM. Selain itu
ada raskin, PNPM Mandiri, KUR, dan lain sebagainya. Model program-program
semacam itu sejak masa Orde Baru juga sudah ada, bahkan jauh lebih
sistematis. Desain program semacam itu bukan tak ada manfaatnya, tapi amat
tidak memadai dengan karakteristik penyebab kemiskinan.
Pendekatan aset tidak pernah
disinggung dalam solusi kemiskinan, baik dalam pengertian akses permanen
terhadap modal maupun lahan. Reformasi agraria masih dianggap tabu sehingga
eksekusi kebijakan tersebut nyaris tak terdengar.
Dengan mencermati situasi
tersebut, harus dibuat penanganan `pengurangan kemiskinan semesta' yang
berporos dalam dua hal. Pertama, watak kebijakan ekonomi harus diganti secara
total, dengan lebih memberdayakan potensi ekonomi domestik tanpa terjebak
oleh praktik ekonomi isolatif dengan negara lain. Hubungan ekonomi
antarnegara memang wajib ada, tapi bukan berarti menelanjangi ekonomi dalam
negeri tanpa proteksi yang memadai kepada pelaku domestik, khususnya golongan
menengah ke bawah. Sektor ekonomi pertanian dan industri padat karya harus
dibangun sebagai satu-kesatuan sebagai titik tumpu perekonomian nasional.
Gerbong ekonomi harus mengangkut semua pelaku ekonomi, bukan hanya segelintir
orang. Proteksi dan subsidi merupakan kebijakan yang sah, bahkan diterapkan
oleh . semua negara. Jika memang salah sasaran, solusinya bukan
menghilangkan, melainkan merumuskan secara lebih tepat agar efektif.
Kedua, program kemiskinan tidak
cukup dengan model seperti saat ini, tetapi mesti menyentuh kepada penguatan
aset orang miskin, sekurangnya berupa modal dan tanah. Persaingan ekonomi
harus dibuat adil sehingga benih-benih keswadayaan dan pemberdayaan tidak
takluk diisap oleh kelompok ekonomi skala besar akibat tata persaingan usaha
yang tidak sehat.
Penguatan aset dan persaingan
usaha merupakan paket kebijakan yang selama ini nyaris tidak disentuh
sehingga pelaku ekonomi yang jumlahnya sangat banyak (koperasi, usaha mikro,
dan usaha kecil) tidak bisa berkembang. Padahal, potensinya sangat besar
menjadi pilar ekonomi, tapi selalu terjerembap secara mengenaskan. Inilah
peta jalan yang mesti ditempuh pemerintah untuk melenyapkan patologi sosial
yang bernama kemiskinan ini. Rezim sekarang hampir pasti tak punya waktu
melakukan ini sehingga hanya kepada pemerintahan berikutnya kita menitipkan
harapan. Semoga kita tak salah pilih lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar