Bencana
dan Keamanan Pangan Pengungsi
Posman Sibuea ; Guru
Besar Tetap Jurusan Teknologi Hasil Pertanian
Unika Santo Thomas, Sumatra Utara;
Pendiri dan Direktur Center for National Food Security
Research
|
MEDIA
INDONESIA, 22 Januari 2014
BANJIR yang melanda Jakarta dan
Manado baru baru ini mengakibatkan penderitaan bagi sebagian besar
penduduknya. Selain harta benda yang hilang, banjir juga mengakibatkan korban
meninggal dunia dan puluhan ribu warga mengungsi ke tempat yang aman. Seperti
umumnya pengungsi lain akibat bencana alam, korban banjir menerima bantuan
makanan dalam jumlah terbatas sehingga mereka acap berdesak-desakan untuk
antre mengambil bantuan itu. Bahkan tak jarang sebagian pengungsi terpaksa
harus mengonsumsi makanan basi yang disediakan sebelumnya dan makanan kemasan
yang sudah lewat masa kedaluwarsa. Keamanan pangan para pengungsi harus
menjadi perhatian penting supaya kesehatan mereka tidak terganggu. Ancamannya
datang dari bantuan makanan kemasan seperti ikan kaleng, susu kaleng, mi
instan yang sudah kedaluwarsa, makanan katering, dan makanan yang disiapkan
sendiri oleh para relawan.
Mikroba
patogen
Sekitar 80% kasus keracunan pangan
yang muncul di tengah masyarakat penyebab utamanya ialah rendahnya tingkat
kebersihan saat proses pengolahan makanan. Buruknya teknik sanitasi menjadi
mesin pendorong perkembangan mikroba patogen (foodborne pathogen) yang pada gilirannya menyebabkan keracunan.
Mikroba patogen menempati posisi teratas penyebab keracunan pangan dengan
jumlah kasus 80%90%. Disusul bahan kimia dari pestisida atau bahan beracun
yang secara alami ada dalam makanan.
Bila dikelompokkan berdasarkan
sumber bahan makanan, industri jasa boga/katering dan restoran menempati
peringkat atas penyumbang keracunan, yakni sebesar 77%, diikuti makanan yang
dimasak di rumah sebesar 20%, dan 3% disumbangkan makanan yang diproduksi
secara pabrikasi. Makanan bagi pengungsi biasanya dipersiapkan di dapur umum
dalam jumlah banyak dengan keterbatasan peralatan dan sumber air bersih. Meski
sudah dipersiapkan dengan baik dengan memasak makanan pada suhu tinggi,
proses tersebut hanya mampu membunuh bakteri patogen bukan pembentuk spora.
Bakteri-bakteri tahan panas, yang
membentuk spora selama pemanasan, sporanya dapat bergerminasi ketika makanan
mengalami penyimpanan dan/atau pendinginan dalam suhu ruang dan
perkembangannya dipercepat oleh pendinginan yang lambat karena diperlukan
waktu yang lama untuk mencapai suhu yang aman, sekitar 40 derajat celsius
atau di bawahnya lagi.
Bakteri yang bertahan pada makanan
siap santap selama pemanasan dan membentuk spora ialah Clostridium
perfringens dan Bacillus cereus. Pada pendinginan lambat dengan pH 5,5–8,0,
bakteri C perfringens dapat bergerminasi. Jika tertelan melalui makanan
berprotein seperti daging dan produk olahannya, dapat menimbulkan keracunan
setelah 20 jam mengonsumsi dengan gejala diare, mual, dan muntah.
Sementara itu, B cereus dapat
tumbuh pada makanan siap santap hingga membentuk toksin di dalamnya. Meski
banyak ditemukan dalam tanah, B cereus bisa mengontaminasi makanan seperti
beras dan produk olahannya, misalnya nasi goreng dan puding pati beras.
Tepung jagung dan berbagai bumbu juga kerap terkontaminasi spora B cereus. Gejala
jenis penyakit yang ditimbulkan karena mengonsumsi makanan yang sudah
terkontaminasi toksin B cereus ialah diare (diarrheal illness) dan muntah (emetic illness).
Umumnya penyakit karena patogen
asal pangan dikelompokkan dalam dua golongan, yakni infeksi dan intoksikasi.
Masuknya patogen hidup seperti virus dan bakteri ke dalam tubuh serta
berkembang biak sampai menimbulkan gangguan disebut infeksi.
Bakteri patogen pada umumnya
berusaha menempel dan memperbanyak diri pada usus sebelum mengganggu sistem
pencernaan (usus). Keasaman (pH) lambung sesungguhnya dapat mengganggu
keberadaan beberapa bakteri patogen. Namun, patogen yang sukses melewati asam
lambung dan mencapai usus berusaha membentuk koloni baru dan berupaya
mempertahankan hidupnya dengan mengganggu kesehatan inangnya (manusia).
Gejala food infection biasanya
timbul lebih dari sehari setelah bakteri membentuk koloni yang banyak sehingga
dapat bersaing dengan flora asli di dalam usus.
Sementara itu, intoksikasi
merupakan keadaan yang lebih berbahaya sebab toksin sudah terbentuk dalam
makanan. Sekalipun makanan sudah dipanaskan sebelum disantap, toksin yang
sudah terbentuk masih tetap aktif dan bisa menyebabkan keracunan meski
bakteri tersebut sudah tak ada dalam makanan. Bakteri Clostridium botolinum yang kerap terdapat pada makanan kaleng
yang kedaluwarsa ialah contoh mikroba patogen yang sudah membentuk racun
botox pada makanan yang kerap mematikan.
Sejumlah bakteri patogen acap
mengganggu sistem absorpsi cairan dalam usus lewat toksin yang dibentuk dan
lazimnya gejala yang ditimbulkan ialah diare. Namun, ada jenis bakteri yang
serangannya tidak sekadar diare. Salmonella typhi adalah contoh bakteri
penyebab demam tifoid (tifus) yang mampu menembus dinding usus dan
selanjutnya masuk ke saluran peredaran darah. Dahsyatnya lagi, ia mampu menyusup
masuk ke sel magrofag manusia yang seharusnya berfungsi m menelan dan
membunuhnya. Dengan sifat yang sedemikian rupa, gejala tifus dapat bersifat
sistemis dan menyebar di berbagai organ tubuh. Sumber bakteri yang berbahaya
itu biasanya berasal dari makanan yang kurang bersih karena tercemar oleh
kotoran binatang atau manusia.
Kontaminasi
silang
Langkah-langkah berikut patut
dipertimbangkan untuk dilakukan guna meningkatkan keamanan pangan; Pertama, penerapan
prinsip sanitasi. Kebersihan di setiap proses pengolahan, mulai dari
persiapan dan penyediaan bahan baku, penggunaan air bersih, pengolahan,
pengemasan dan penyimpanan makanan. Kedua, memasak dalam waktu yang dekat
dengan saat penyajian. Pengelola dapur umum di tempat pengungsian kerap
menyiapkan makanan dalam jumlah banyak, tapi kurang siap mengerjakan karena
keterbatasan tenaga atau alasan lainnya. Makanan yang dipersiapkan pada malam
hari untuk kebutuhan makan siang pada hari berikutnya, mengundang hadirnya
bakteri tahan panas yang memproduksi racun.
Ketiga, pendinginan cepat. Jika makanan
tidak segera dikonsumsi, secepat mungkin dilakukan pendinginan. Proses
pendinginan dapat dilakukan dengan meletakkan makanan dalam wadah di atas bak
air (sink) atau ember berisi es
yang dicampur garam. Keempat, membaca label makanan kemasan/kaleng.
Guna menghindari keracunan dari produk makanan kemasan, perhatikan dan baca
label pada kemasan dengan saksama. Makanan kaleng juga patut diwaspadai jika
sudah menunjukkan tanda-tanda kerusakan, seperti kaleng sudah kembung,
penyok, bocor, dan berkarat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar