Rabu, 22 Januari 2014

Bencana dan Keamanan Pangan Pengungsi

Bencana dan Keamanan Pangan Pengungsi

Posman Sibuea   ;   Guru Besar Tetap Jurusan Teknologi Hasil Pertanian
Unika Santo Thomas, Sumatra Utara;
Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research
MEDIA INDONESIA,  22 Januari 2014
                                                                                                                        


BANJIR yang melanda Jakarta dan Manado baru baru ini mengakibatkan penderitaan bagi sebagian besar penduduknya. Selain harta benda yang hilang, banjir juga mengakibatkan korban meninggal dunia dan puluhan ribu warga mengungsi ke tempat yang aman. Seperti umumnya pengungsi lain akibat bencana alam, korban banjir menerima bantuan makanan dalam jumlah terbatas sehingga mereka acap berdesak-desakan untuk antre mengambil bantuan itu. Bahkan tak jarang sebagian pengungsi terpaksa harus mengonsumsi makanan basi yang disediakan sebelumnya dan makanan kemasan yang sudah lewat masa kedaluwarsa. Keamanan pangan para pengungsi harus menjadi perhatian penting supaya kesehatan mereka tidak terganggu. Ancamannya datang dari bantuan makanan kemasan seperti ikan kaleng, susu kaleng, mi instan yang sudah kedaluwarsa, makanan katering, dan makanan yang disiapkan sendiri oleh para relawan.

Mikroba patogen

Sekitar 80% kasus keracunan pangan yang muncul di tengah masyarakat penyebab utamanya ialah rendahnya tingkat kebersihan saat proses pengolahan makanan. Buruknya teknik sanitasi menjadi mesin pendorong perkembangan mikroba patogen (foodborne pathogen) yang pada gilirannya menyebabkan keracunan. Mikroba patogen menempati posisi teratas penyebab keracunan pangan dengan jumlah kasus 80%­90%. Disusul bahan kimia dari pestisida atau bahan beracun yang secara alami ada dalam makanan.

Bila dikelompokkan berdasarkan sumber bahan makanan, industri jasa boga/katering dan restoran menempati peringkat atas penyumbang keracunan, yakni sebesar 77%, diikuti makanan yang dimasak di rumah sebesar 20%, dan 3% disumbangkan makanan yang diproduksi secara pabrikasi. Makanan bagi pengungsi biasanya dipersiapkan di dapur umum dalam jumlah banyak dengan keterbatasan peralatan dan sumber air bersih. Meski sudah dipersiapkan dengan baik dengan memasak makanan pada suhu tinggi, proses tersebut hanya mampu membunuh bakteri patogen bukan pembentuk spora.

Bakteri-bakteri tahan panas, yang membentuk spora selama pemanasan, sporanya dapat bergerminasi ketika makanan mengalami penyimpanan dan/atau pendinginan dalam suhu ruang dan perkembangannya dipercepat oleh pendinginan yang lambat karena diperlukan waktu yang lama untuk mencapai suhu yang aman, sekitar 40 derajat celsius atau di bawahnya lagi.

Bakteri yang bertahan pada makanan siap santap selama pemanasan dan membentuk spora ialah Clostridium perfringens dan Bacillus cereus. Pada pendinginan lambat dengan pH 5,5–8,0, bakteri C perfringens dapat bergerminasi. Jika tertelan melalui makanan berprotein seperti daging dan produk olahannya, dapat menimbulkan keracunan setelah 20 jam mengonsumsi dengan gejala diare, mual, dan muntah.

Sementara itu, B cereus dapat tumbuh pada makanan siap santap hingga membentuk toksin di dalamnya. Meski banyak ditemukan dalam tanah, B cereus bisa mengontaminasi makanan seperti beras dan produk olahannya, misalnya nasi goreng dan puding pati beras. Tepung jagung dan berbagai bumbu juga kerap terkontaminasi spora B cereus. Gejala jenis penyakit yang ditimbulkan karena mengonsumsi makanan yang sudah terkontaminasi toksin B cereus ialah diare (diarrheal illness) dan muntah (emetic illness).

Umumnya penyakit karena patogen asal pangan dikelompokkan dalam dua golongan, yakni infeksi dan intoksikasi. Masuknya patogen hidup seperti virus dan bakteri ke dalam tubuh serta berkembang biak sampai menimbulkan gangguan disebut infeksi.
Bakteri patogen pada umumnya berusaha menempel dan memperbanyak diri pada usus sebelum mengganggu sistem pencernaan (usus). Keasaman (pH) lambung sesungguhnya dapat mengganggu keberadaan beberapa bakteri patogen. Namun, patogen yang sukses melewati asam lambung dan mencapai usus berusaha membentuk koloni baru dan berupaya mempertahankan hidupnya dengan mengganggu kesehatan inangnya (manusia). Gejala food infection biasanya timbul lebih dari sehari setelah bakteri membentuk koloni yang banyak sehingga dapat bersaing dengan flora asli di dalam usus.

Sementara itu, intoksikasi merupakan keadaan yang lebih berbahaya sebab toksin sudah terbentuk dalam makanan. Sekalipun makanan sudah dipanaskan sebelum disantap, toksin yang sudah terbentuk masih tetap aktif dan bisa menyebabkan keracunan meski bakteri tersebut sudah tak ada dalam makanan. Bakteri Clostridium botolinum yang kerap terdapat pada makanan kaleng yang kedaluwarsa ialah contoh mikroba patogen yang sudah membentuk racun botox pada makanan yang kerap mematikan.

Sejumlah bakteri patogen acap mengganggu sistem absorpsi cairan dalam usus lewat toksin yang dibentuk dan lazimnya gejala yang ditimbulkan ialah diare. Namun, ada jenis bakteri yang serangannya tidak sekadar diare. Salmonella typhi adalah contoh bakteri penyebab demam tifoid (tifus) yang mampu menembus dinding usus dan selanjutnya masuk ke saluran peredaran darah. Dahsyatnya lagi, ia mampu menyusup masuk ke sel magrofag manusia yang seharusnya berfungsi m menelan dan membunuhnya. Dengan sifat yang sedemikian rupa, gejala tifus dapat bersifat sistemis dan menyebar di berbagai organ tubuh. Sumber bakteri yang berbahaya itu biasanya berasal dari makanan yang kurang bersih karena tercemar oleh kotoran binatang atau manusia.

Kontaminasi silang

Langkah-langkah berikut patut dipertimbangkan untuk dilakukan guna meningkatkan keamanan pangan; Pertama, penerapan prinsip sanitasi. Kebersihan di setiap proses pengolahan, mulai dari persiapan dan penyediaan bahan baku, penggunaan air bersih, pengolahan, pengemasan dan penyimpanan makanan. Kedua, memasak dalam waktu yang dekat dengan saat penyajian. Pengelola dapur umum di tempat pengungsian kerap menyiapkan makanan dalam jumlah banyak, tapi kurang siap mengerjakan karena keterbatasan tenaga atau alasan lainnya. Makanan yang dipersiapkan pada malam hari untuk kebutuhan makan siang pada hari berikutnya, mengundang hadirnya bakteri tahan panas yang memproduksi racun.

Ketiga, pendinginan cepat. Jika makanan tidak segera dikonsumsi, secepat mungkin dilakukan pendinginan. Proses pendinginan dapat dilakukan dengan meletakkan makanan dalam wadah di atas bak air (sink) atau ember berisi es yang dicampur garam. Keempat, membaca label makanan kemasan/kaleng.

Guna menghindari keracunan dari produk makanan kemasan, perhatikan dan baca label pada kemasan dengan saksama. Makanan kaleng juga patut diwaspadai jika sudah menunjukkan tanda-tanda kerusakan, seperti kaleng sudah kembung, penyok, bocor, dan berkarat.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar