Kamis, 16 Januari 2014

Lima Langkah Atasi Banjir

Lima Langkah Atasi Banjir

Nirwono Joga  ;  Koordinator Gerakan Indonesia Menghijau
TEMPO.CO,  16 Januari 2014
                                                                                                                       


Musim hujan adalah anugerah dari Sang Pencipta. Melalui hujan, kota mendapat kesempatan menyirami tanaman dan memanen air untuk musim kemarau. Di dalam tata ruang kota pun sebenarnya juga sudah diatur di mana kawasan peruntukan boleh dibangun untuk hunian, komersial, perkantoran, dan ruang terbuka hijau (RTH). 

RTH adalah tempat parkir air alami. RTH merupakan daerah resapan air (taman, taman pemakaman, hutan kota), daerah tangkapan air (embung, situ, danau, waduk, dan rawa-rawa), serta jalur hijau bantaran kali dan tepian badan air. Namun, ketika pemerintah daerah tidak bertindak tegas dan membiarkan tempat-tempat parkir air diduduki warga untuk hunian atau pengembang untuk membangun gedung komersial, selama bertahun-tahun, bencana banjir adalah konsekuensi logis yang harus diterima kota dan kita. 

Perhatikan lokasi kawasan langganan banjir, kalau tidak perumahan di kawasan bantaran kali, pasti di daerah cekungan. Sebut saja Bidara Cina, Bukit Duri, Kampung Pulo, Kampung Melayu, Rawajati, atau Ciledug. Nyaris tidak ada yang baru, tidak ada yang berubah selama puluhan tahun. Kota lumpuh tak berdaya. 

Di lain pihak, fenomena pemanasan global dan perubahan iklim telah turut meningkatkan intensitas hujan dan curah hujan yang semakin besar berpengaruh terhadap bencana banjir. Jadi, pertanyaannya sederhana saja, apakah kita semua mau untuk memutus mata rantai banjir?

Ada lima langkah yang bisa dilakukan. 

Pertama, Pemerintah Provinsi DKI segera menyusun rencana induk saluran air kota yang menggambarkan peta jaringan dan hierarki saluran air, serta sebagai panduan revitalisasi saluran air makro menjadi berdiameter 5 meter, meso (3 meter), dan mikro (1 meter). Revitalisasi saluran air diiringi dengan penataan jaringan utilitas terpadu (pipa gas, air bersih, air limbah, kabel listrik, telepon, serat optik) sehingga kelak kita tidak akan melihat lagi kegiatan bongkar-pasang trotoar untuk pemasangan jaringan utilitas sepanjang tahun. 

Kedua, bantaran kali harus bebas dari bangunan, apa pun alasannya. Adalah pelanggaran hak asasi manusia jika pemerintah daerah membiarkan warganya hidup dalam hunian tak layak, tidak sehat, dan terus di bawah ancaman banjir. Rencana relokasi warga ke rumah-rumah susun (rusun) yang sudah ada atau akan dibangun tidak jauh dari tempat tinggal merupakan sebuah keharusan. 

Normalisasi 13 sungai utama dari 20-30 meter menjadi 50 meter dengan pengerukan kedalaman dari 2-3 meter ke 5-7 meter sehingga kapasitas dan daya tampung sungai dapat ditingkatkan. Penyediaan bantaran kali dari 5-7 meter menjadi 20-25 meter dapat difungsikan sebagai jalur hijau pengaman sungai, penampung luberan air sungai, dan habitat satwa liar tepian sungai.

Ketiga, revitalisasi daerah tangkapan air (waduk, danau, situ, embung). Warga direlokasi ke rusun terdekat. Waduk atau situ dikeruk dari kedalaman 2-3 meter menjadi 5-10 meter atau lebih sesuai dengan kebutuhan setempat untuk memaksimalkan kapasitas dan daya dukung tampung air hujan. Kawasan tepian badan air dibangun taman atau hutan kota sebagai daerah penampung luberan air saat hujan, habitat satwa liar, sekaligus menambah luas RTH. 

Keempat, RTH berupa taman kota, taman pemakaman umum, dan hutan kota dapat dioptimalkan sebagai tempat penampungan air buangan dari kawasan genangan terdekat. Kawasan RTH tidak masalah jika tergenang atau banjir, biarkan air yang tertampung meresap alami karena memang fungsinya sebagai daerah resapan air. Di waktu mendatang, Jakarta harus terus menambah lebih banyak lagi RTH kota.

Kelima, upaya penanggulangan banjir tidak akan berhasil tanpa dukungan nyata dari masyarakat. Warga yang bermukim di bantaran kali dan tepian waduk atau situ diajak untuk sukarela bergeser (bukan digusur) ke rusun. Warga diwajibkan membuat sumur resapan air di halaman rumah, tempat parkir perkantoran, dan taman lingkungan. 

Untuk saat ini, peta kawasan rawan dan risiko banjir harus segera disebarkan ke masyarakat. Di titik-titik paling rawan banjir, Pemprov DKI menyiagakan pompa air. Air dialirkan ke saluran air dan ditampung ke sumur resapan air, kolam air, embung, situ, waduk, atau danau. 

Dinas Pekerjaan Umum rajin melakukan inspeksi dan perbaikan berkala terhadap saluran air, lubang air, serta tanggul di sepanjang kanal dan bantaran sungai. Dinas Kebersihan bertanggung jawab membersihkan sampah, limbah, serta lumpur yang mengendap dan menghambat aliran saluran air atau sungai. Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan bertugas menertibkan semua bangunan yang berdiri di atas saluran air. 

Badan Penanggulangan Bencana Daerah menyediakan tempat evakuasi bencana, baik di sekolah, kantor kelurahan, atau tempat ibadah terdekat. Dinas Tata Ruang dan Badan Pertanahan Daerah segera memetakan kawasan rawan dan risiko banjir, kemudian dicek regulasi (apakah sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan rencana detail tata ruang DKI Jakarta 2030) dan legalisasi (kepemilikan lahan perorangan, perusahaan, pemerintah).

Pada akhirnya, Jakarta bebas banjir adalah impian kita semua. Semoga.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar