Tragedi
Archimides
Geger Riyanto ; Esais
|
TEMPO.CO,
16 Januari 2014
Archimedes,
pada hari terakhir hidupnya, melakukan apa yang jamak ia jalani di hari-hari
biasanya. Duduk di tepi pantai-merenungi orat-oret diagram geometri yang
ditorehkannya di atas pasir. Tenggelam dalam keasyikan memecahkan
persoalan-persoalan matematika yang dibatinkannya sendiri.
Bedanya, senja itu seorang prajurit kurir utusan Marcus Claudius Marcellus, Jenderal Romawi, menyambanginya. Reputasi Archimedes selaku jenius, penemu berbagai teknologi perang Yunani yang telah menyulitkan tentara Roma, menimbulkan ketertarikan Marcellus. "Jenderal Marcellus ingin berjumpa dengan Anda," pinta si kurir. Archimedes tetap larut dalam kalkulasi. Sang kurir mengulang permintaannya. Archimedes tetap bergeming. "Archimedes!" sang kurir akhirnya membentak setelah penat mengulang-ulang pintanya. "Jenderal ingin bertemu Anda!" Archimedes, tanpa menoleh, berujar. "Biarkan saya menyelesaikan penghitungan saya terlebih dulu!" "Apa peduli saya!" sang kurir menimpali. Beberapa saat masih tak digubris, sang kurir pun murka. Ia menghunus pedangnya. Archimedes ditebasnya, dan tewas seketika. Kematian Archimedes adalah salah satu kematian paling konyol sepanjang sejarah. Hanya sekali ia dilahirkan, tahun 287 SM, di Sisilia. Hanya sekali ia hidup dan meretas teorema-teorema matematika revolusioner yang kita pakai hingga hari ini. Hanya sekali ia meninggal, tahun 212 SM, di tanah yang juga tanah kelahirannya, Sisilia. Namun, apakah penyebab kematiannya kalau bukan satu kebebalan yang akut menjangkiti kita? Izinkan saya mengeksplisitkan maksud saya. Apakah penyebab bertebarannya penelitian-penelitian yang mendeklarasikan secara vulgar tuan-tuan bermodal sebagai figur paling dirindukan rakyat kalau bukan kebebalan yang sama dengan yang membunuh Archimedes? Apakah penyebab munculnya satu sejarah yang menahbiskan seorang penderma dadakan sebagai sastrawan terbesar, kalau bukan ketidakberdayaan kita di hadapan godaan pedang yang memampukan kita mendikte sejarah? Archimedes boleh menyelesaikan geometri irisan parabola, lingkaran, dan mencetuskan penghitungan-penghitungan yang memungkinkan para kolega intelektualnya melampaui zamannya. Karya-karya pengetahuan bernas-eksplorasi keilmuan dan karya seni yang mengubah semesta pandang masyarakatnya-boleh bermunculan. Namun, ujar sang kurir, apa peduli saya? Saya memiliki pedang. Apa peduli saya, sorak sang tuan. Saya memiliki uang. Saya memiliki kekuasaan. Mengapa bukan saya yang menentukan persepsi khalayak, wawasan, kesenian, ilmu pengetahuan, dan, oh, sekaligus saja, realitas? Sayangnya, demikianlah cara dunia kita bekerja. Inilah hukum kenyataan kita di palung terdasarnya: kekuasaan. Para tuan berderap maju didampingi armada megahnya dalam parade pertunjukan telanjang kekuatan dan kedigdayaan yang tak mengindahkan apa-apa selain dirinya sendiri. Gagasan tak terlihat di mana-mana dalam gegap gempita itu. Masih untung kalau ia tertatih-tatih mengikuti di belakang, tak tertinggal mati suri di kediaman sang tuan. Dan pada akhirnya, siapakah yang akan menghidupkan gagasan selain mereka yang cukup gila-sekaligus cukup waras-untuk menepi dari atau menghadang keriuhan terjal ini? Kami mengangkat topi jika Anda melakukan hal itu. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar