Balada
Banjir
Iwel Sastra ; Wartawan Tempo
|
TEMPO.CO,
16 Januari 2014
Patung selamat datang di Bundaran HI Jakarta berada di tengah kolam
dan dikelilingi air. Ini seperti simbol yang mengatakan, selamat datang di
kota air. Memang, tidak ada ungkapan resmi yang menyebutkan Jakarta adalah
kota air, meskipun jika hujan turun Jakarta sering kali digenangi air. Banjir
menjadi persoalan yang menjadi tugas berat siapa pun pemimpin Jakarta. Kalau
tidak bisa mengatasi masalah banjir, akan selalu dibanjiri kritik. Selain
banjir, masalah utama Jakarta adalah macet.
Di masa mendatang, serah-terima jabatan Gubernur DKI Jakarta sebaiknya juga disertai dengan serah-terima warisan, yaitu banjir dan macet. Fauzi Bowo saat melakukan kampanye calon Gubernur DKI Jakarta pada 2007 dengan penuh percaya diri membuat slogan kampanye "serahkan pada ahlinya". Untung saja, dalam slogan kampanye ini, Fauzi Bowo tidak mengaku sebagai ahli, tapi hanya menyarankan agar menyerahkan pada ahlinya. Di bawah kepemimpinan Fauzi Bowo, masalah banjir dan macet terus menjadi persoalan karena sang ahli tak pernah muncul. Banjir dan macet di Jakarta ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Banjir datang, otomatis jalanan macet. Jalanan macet, otomatis banjir kendaraan. Ada beberapa wilayah di Jakarta yang terus menjadi langganan banjir meskipun gubernur silih berganti. Bahkan ada yang berseloroh, andai saja langganan banjir bisa dihentikan melalui SMS dengan ketik UNREG spasi BANJIR lalu kirim ke operator seluler. Secara sederhana, penyebab banjir hanya satu, yaitu air. Nah, kalau sudah tahu bahwa air adalah penyebab utama banjir, cara mengatasi banjir adalah dengan cara mengenali sifat-sifat air. Salah satu sifat air adalah mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Baik air hujan, air sungai, bahkan air mata. Untuk menghindari air hanya menumpuk di suatu tempat, perlu dibuat saluran yang membuat air tersebut mengalir dengan baik. Di Jakarta, air sudah kesulitan untuk mengalir karena Jakarta telah menjelma menjadi hutan beton. Ruang terbuka hijau sebagai ruang resapan hanya tersisa 8 persen dari total luas Jakarta yang 66.233 hektare. Curah hujan tinggi menyebabkan terjadinya penumpukan air karena air tidak bisa mengalir. Konon, kata banjir berasal dari singkatan banyak air. Awalnya disebut banyir, tapi lama-kelamaan supaya lebih enak sebutannya menjadi banjir. Di Jakarta, banjir bukan lagi sekadar masalah sosial, tapi masuk menjadi bagian masalah politik. Kicauan di dunia maya pun ramai mengenai banjir yang dihubung-hubungkan dengan kinerja Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Ada yang mengkritik Jokowi, ada yang mendukung Jokowi. Ada yang mendukung yang mengkritik Jokowi, ada juga yang mengkritik yang mendukung Jokowi. Pastinya yang mengkritik Jokowi dan yang mendukung Jokowi saling kritik, tapi tidak saling mendukung. Jokowi dengan santai menanggapi kritik dengan kritik, "Baru setahun, yang 20 tahun, yang 30 tahun, sudah berbuat apa?" Tentu saja pernyataan Jokowi ini kembali mendapat kritik dari pengkritiknya dan mendapat dukungan dari pendukungnya. Saya berpendapat, dengan kondisi Jakarta yang belum bebas banjir, transportasi massal yang cocok adalah monorel. Alasannya, jika terjadi banjir, transportasi ini masih bisa berjalan karena tiang-tiang lintasannya yang tinggi. Sedangkan untuk transportasi bawah tanah sebaiknya ditunda dulu. Di atas tanah saja kalau banjir suka terendam, bagaimana kalau di bawah tanah? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar