Selasa, 14 Januari 2014

Korupsi : Monopoli dan Diskresi Tanpa Akuntabilitas

                    Korupsi : Monopoli dan Diskresi Tanpa Akuntabilitas

Achmad Firdaus  ;   Pengurus International Student Society NUS Singapore
OKEZONENEWS,  09 Januari 2014
                                                                                                                        


Abu Humaid As Saidi radhiyallahu ‘anhu, pernah menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi tugas kepada seorang lelaki dari Kaum Al Asad yang dikenal sebagai Ibnu Lutbiyah untuk urusan sedekah. Setelah kembali dari menjalankan tugasnya, lelaki tersebut berkata kepada Rasulullah, Ini untuk anda dan ini untukku karena memang dihadiahkan kepadaku. Setelah mendengar kata-kata tersebut, Rasulullah lalu berdiri di atas mimbar dan beliau bersabda: “Adakah patut seorang petugas yang aku kirim untuk mengurus suatu tugas berani berkata: Ini untuk anda dan ini untukku karena memang dihadiahkan kepadaku? Kenapa dia tidak duduk saja di rumah bapak atau ibunya (tanpa memegang jabatan apa-apa) sehingga ia menunggu, apakah dia akan dihadiahi sesuatu atau tidak? Demi Dzat yang Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah salah seorang dari kalian mengambil sesuatu darinya kecuali pada hari kiamat kelak dia akan datang dengan memikul di atas lehernya. (jika yang diambil itu seekor unta) maka seekor unta itu akan mengeluarkan suaranya atau seekor lembu yang melenguh atau seekor kambing yang mengembek.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Dari hadits tersebut diketahui bahwa tindakan korupsi sebenarnya telah terjadi sejak zaman dahulu, tak terkecuali pada masa kepemimpinan Rasullullah dan beliau pun telah menegaskan dalam haditsnya akan ancaman yang berat bagi para koruptor. Tindakan tersebut masih terjadi di Indonesia hingga saat ini, dimana orang-orang yang telah diangkat sebagai pejabat publik sangat rentan dengan tindakan korupsi, baik berupa suap-menyuap atau gratifikasi. Para pejabat publik dengan sengaja memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya diri dengan cara haram tersebut, menerima gratifikasi sebagai ‘salam tempel’ atas balas jasa atau ‘mark up’ anggaran dalam berbagai proyek pengadaan barang dan jasa pelayanan publik.

Masalah korupsi telah menjadi salah satu  wacana yang laris dan mendapat respons sekaligus kontradiktif dalam pemikiran masyarakat saat ini, bahkan setiap waktu selalu mencuat ke permukaan lalu gencar diperbincangkan publik, baik  melalui media cetak, reportase, forum seminar, maupun dialog interaktif secara formal. Mulai dari para akademisi, politisi, negarawan maupun rohaniawan tak urung ketinggalan. Hal ini terjadi karena kasus korupsi di Indonesia semakin menggurita, bahkan telah merasuk ke semua lini, institusi dan profesi apapun di negeri ini. Apalagi jabatan yang bersentuhan langsung dengan ranah birokrasi saat ini sudah disesaki oleh beragam kasus korupsi. Tak ayal lagi, jika korupsi telah menjadi tindakan extraordinary crime (kejahatan luar biasa) karena para pelakunya juga adalah orang-orang yang luar biasa, korupsi telah melibatkan pejabat-pejabat yang notabene bertindak sebagai kepala daerah, penegak hukum dan wakil rakyat yang seharusnya berjuang untuk kesejahteraan rakyat, tapi pada kenyataannya, kesejahteraan rakyat justru dipertaruhkan. Seakan tindakan korupsi sudah menjadi penyakit kronis yang menngerogoti negeri ini dan sangat sulit disembuhkan lagi.

Saat ini, Indonesia merupakan salah satu diantara negara-negara yang menempati posisi teratas dalam deretan negara terkorup di dunia. Mengejutkan memang, sebagai negara yang beradab dan berbudaya, Indonesia menjadi sorotan dunia tentang hal ini. Meskipun pemerintah Indonesia, dalam hal ini KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sudah mulai menunjukkan komitmen dan  eksistensisinya sebagai lembaga anti korupsi yang independen dalam mengatasi masalah korupsi. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa kasus korupsi yang merupakan masalah terpelik di negeri ini masih banyak menemui jalan buntu, beberapa kasus pun diproses secara berkepanjangan hingga hilang begitu saja tanpa jejak. Bahkan masih banyak kasus serupa yang belum mampu diangkat kepermukaan, mulai dari kasus korupsi puluhan juta sampai trilyunan rupiah.

Mengapa Terjadi Korupsi?

Kejahatan terjadi bukan hanya karena niat pelakunya, tapi juga karena ada kesempatan. Mungkin ungkapan ini sangat tepat menggambarkan para oknum yang memanfaatkan kekuasaan dan jabatannya untuk memperkaya diri dengan jalan korupsi.  Tindakan korupsi dilakukan oleh sejumlah pejabat karena adanya sistem kelembagaan birokrasi yang belum maksimal. Dengan kata lain reformasi birokrasi (eksekutif, legislatif dan yudikatif) masih berjalan setengah-setengah. Apalagi lembaga yudikatif yang diharapkan dan seharusnya ikut andil dalam memberantas korupsi secara adil justru terseret oleh dahsyatnya arus kedalam pusaran korupsi. 

Tentu masih segar  dalam ingatan, peristiwa yang mengejutkan publik dan hampir tak bisa dipercaya ketika Ketua Mahkamah Kontitusi (MK) tertangkap tangan dan terbukti ‘bermain’ dalam kasus suap pemenangan pilkada di Provinsi Banten. MK yang seharusnya bersikap tegas dalam menegakkan hukum secara adil ditingkat tertinggi di Indonesia justru terbuai oleh iming-imingan rupiah. Begitu juga dengan tertangkapnya beberapa ‘orang penting’ di negeri ini, mulai dari lurah, bupati, gubernur, pimpinan parpol hingga menteri yang mempunyai track record akademisi yang cerdas justru terlibat dalam kasus suap yang merugikan negara hingga trilyunan rupiah. Kejadian tersebut menambah daftar panjang tindakan korupsi yang  telah menjalar ke segala lini.

Sebagai masyarakat awam, mungkin kita mengenal korupsi yang berarti mencuri uang rakyat untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya.  Namun pada hakikatnya korupsi itu terjadi karena adanya monopoli dan diskresi tanpa akuntabilitas. Dengan kata lain, kasus korupsi yang marak terjadi di negeri ini disebabkan karena adanya kekuasaan dan kewenangan yang tidak diimbangi dengan pertanggungjawaban.

Oleh karena itu, agar para penguasa tidak menyalahgunakan kekuasaannya perlu untuk merenungi perkataan Imam Al Ghazali, beliau pernah berpesan: “Agama dan kekuasaan ibarat saudara kembar, agama adalah pondasi sedangkan kekuasaan adalah penjaga. Sesuatu tanpa pondasi akan roboh dan sesuatu tanpa penjaga akan terlantar.” Pernyataan tersebut menunjukkan betapa pentingnya seorang penguasa membekali dirinya dengan pemahaman agama, agar mereka dapat mempertanggungjawabkan kekuasaan yang diamanhkan kepadanya. Wallahu a’lam bisshawaab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar