Selasa, 14 Januari 2014

Jangan Jadikan Rekomendasi BPK Satu-Satunya Alasan Kenaikan Elpiji

Jangan Jadikan Rekomendasi BPK

Satu-Satunya Alasan Kenaikan Elpiji

Adi Prasetyo  ;   Peneliti Pusaka Negara bidang BUMN
OKEZONENEWS,  10 Januari 2014
                                                                                                                       


Instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Pertamina untuk mengkaji ulang kenaikan harga elpiji 12 kg dapat dibaca sebagai politik proteksionis yang kurang elegan. Politik proteksionis, dalam hal ini dipakai untuk menggambarkan kebijakan negara untuk melindungi masyarakat dari arus pasar yang tidak adil dan menimbulkan “gejolak.” 

Namun demikian, politik proteksionis yang sedang dimainkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini adalah politik proteksionis yang setengah hati, bahkan bisa dikatakan salah sasaran. Sebab, sedari awal pemerintah telah menetapkan elpiji 12 Kg sebagai barang yang tidak disubsidi (non PSO), berbeda dengan elipiji 3 Kg yang statusnya masih PSO. Jika statusnya non PSO, maka logikanya Pertamina sebagai entitas bisnis berhak mengatur harga, yang tentu saja disesuaikan dengan pertimbangan bisnis, yaitu mencari untung. Namun, sepertinya pemerintah menutup mata pada realitas persoalan LPG subsidi ataupun non subsidi ini.

Mengapa pemerintah menutup mata? Ini dapat dibaca dari sikap pemerintah yang terkesan “pura-pura tidak tahu” atau terkejut atas penaikan harga elpiji. Sehingga ketika terjadi kegaduhan, politik proteksionis tersebut lalu dipergunakan oleh pemerintah sebagai politik pencitraan. 

Tidak hanya menutup mata, pemerintah juga lamban mengambil keputusan. Bukankah penaikan harga elpiji 12 Kg sudah diusulkan oleh Pertamina sejak Juni 2011? Tercatat mulai Juni 2011 sampai dengan Agustus 2012, Pertamina telah menyampaikan 8 (delapan) surat usulan kenaikan harga LPG 12 kg dan 50 kg yang ditujukan Menteri Perekonomian, Menteri BUMN, Menteri ESDM, dan Menteri Keuangan. Jika ini dianggap penting, tentu pemerintah segera merespons agar cepat diambil solusi terbaik. Mustahil Presiden SBY, Menteri ESDM Jero Wacik, Menko Perekonomian Hatta Rajasa, dan Menteri BUMN Dahlan Iskan tidak mengetahui rencana penaikan harga ini. 

Namun ternyata, pemerintah juga tutup telinga. Sampai akhir tahun 2013 tidak ada respons. Bahkan Kementerian ESDM menggantung usulan tersebut. Lalu ketika pada 1 Januari 2014 Pertamina mengumumkan kenaikan harga LPG 12 kg, mustahil pula Presiden SBY serta para menteri terkait tidak diberi informasi.

Walhasil, sikap tutup mata dan tutup telinga pemerintah tersebut justru menimbulkan persoalan turunan. (1) Kerugian Pertamina atas bisnis elpiji 12 Kg tidak kunjung dapat solusi dan justru berlipat ganda seiring berjalannya waktu. (2) Pemerintah telah membuang waktu untuk mempercepat pembangunan infrastruktur penampungan dan distribusi gas, yang selama ini high cost.

Selanjutnya, kita perlu kritik kepada Pertamina. Selama ini, Pertamina berlindung di balik audit dan rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI) yang menyatakan: “Pertamina untuk menaikkan harga elpiji 12 kg sesuai biaya perolehan untuk mengurangi kerugian Pertamina dengan mempertimbangkan harga patokan LPG, kemampuan daya beli konsumen dalam negeri, dan kesinambungan penyediaan dan pendistribusian.” Kenaikan harga tersebut untuk mengurangi kerugian atas bisnis LPG 12 dan 50 Kg di mana selama tahun 2011 sampai dengan Oktober 2012 Pertamina mengalami kerugian sebesar Rp7,73 triliun.

Namun demikian, rekomendasi tersebut hanyalah 1 dari belasan poin temuan dan rekomendasi BPK RI atas pendistribusian LPG yang dilakukan Pertamina. Masih ada belasan rekomendasi lain yang turut menyebabkan mahalnya ongkos distribusi elpiji sehingga terjadi kerugian. Contohnya, inefisiensi penyimpanan dan distribusi elpiji. Sampai saat ini, Pertamina masih menyewa kapal asing untuk menampung gas sebelum didistribusikan. Biaya sewa kapal tersebut (tahun 2011) sangat mahal. Bayangkan kapal BW Challenger mematok harga USD35,500/hari, Mill House UAD16,000/hari, BW Clipper USD35,500/hari dan Gas Komodo senilai USD35,000/hari. Mahalnya biaya distribusi ini tentu turut menyumbang mahalnya biaya operasional LPG. 

Selain itu, Pertamina juga masih mengalami kekurangan terminal dan depot LPG di berbagai daerah di Indonesia yang menimbulkan kehilangan potensi penghematan. Sampai sekarang masyarakat belum mengetahui sejauhmana perkembangan pembangunan terminal dan depot LPG ini. Tentu jika dilaksanakan secara cepat akan mampu menghemat ongkos transportasi dan distribusi.

Dan hal paling penting, pemerintah belum mengelola gas alam Indonesia secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan LPG. Padahal, potensi gas alam di Indonesia sangat besar: peringkat 13 (tiga belas) cadangan gas alam terbesar di dunia dan peringkat 8 (delapan) penghasil gas alam di dunia. Namun, potensi besar itu justru 85% dikuasi oleh asing (Chevron Pacific-Amerika, Total EP-Perancis, ConocoPhillips-Amerika, British Petrolium-Inggris, Exxon Mobil-Amerika). 

Tidak heran bila kemudian pemerintah mengambil solusi impor. Tidak tanggung-tanggung, selama tahun 2011 dan 2012 impor LPG mencapai kurang lebih 50 persen dari total kebutuhan LPG nasional. Ini juga menjadi biang keladi mengapa harga elipiji di Indonesia mahal. 

Terakhir, sebagai negara modern (pasca konversi minyak tanah ke gas), kebutuhan masyarakat terhadap LPG dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Jika pemerintah tidak memaksimalkan pengelolaan sumber daya alam secara mandiri, maka akan selamanya harga elpiji mahal. Akan seterusnya hadir politik proteksionis semu hanya untuk pencitraan. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar