“Maraknya kasus korupsi politik akhir-akhir ini sebenarnya berpangkal
dari sistem politik kita.”
AWAL bulan di “tahun politik 2014” sungguh
spesial. Betapa tidak, belum genap sebulan tahun 2014, publik sudah mendapat
”hadiah tahun baru” dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berupa penahanan
Anas Urbaningrum, Jumat (10/1).
Penahanan Anas menjadi babak baru bagi drama
panjang kasus mega korupsi Hambalang. Anas menambah daftar panjang tersangka
kasus “korupsi politik” yang menjadi tahanan KPK. Ia menyusul para politikus
lain, seperti Andi Mallarangeng, Ratu Atut Chosiyah, Luthfi Hasan Ishaaq, dan
Nazaruddin.
Fenomena maraknya “korupsi politik” menjadi
peringatan bagi publik. Ini mengingat gelaran pemilihan umum (pemilu) tidak
kurang dari tiga bulan lagi. Jangan sampai pesta demokrasi elektorat lima
tahunan yang menghabiskan triliunan rupiah uang rakyat tersebut menjadi pintu
masuk praktik “korupsi politik” di kemudian hari.
Maraknya kasus
korupsi politik akhir-akhir ini sebenarnya berpangkal dari sistem
politik kita. Sistem politik kita terjerat sesuatu yang
disebut sistem politik biaya tinggi (high cost politic). Politik biaya tinggi adalah dominannya
penggunaan sumber daya finansial dalam kontestasi mengisi sebuah jabatan
politik.
Politik biaya tinggi ini sangat terkait melembaganya
praktik politik uang (money politics)
dalam sistem politik Indonesia. Politik uang tidak hanya terjadi di
Indonesia, tetapi juga menjadi fenomena jamak di negara-negara ASEAN, seperti
Malasyia, Papua Nugini, Thailand, dan Filipina (Aspinall, 2013). Penelitian Aspinall menunjukkan, praktik politik
uang berkelindan dengan relasi patron klien yang masih dominan dalam sistem
politik negara-negara ASEAN.
Dalam kasus Anas, terlihat jelas kasus korupsi
yang membelitnya tidak dapat dilepaskan dari praktik membeli suara (vote buying) saat ia maju sebagai
calon ketua umum dalam Kongres Partai Demokrat pada 2010. Lebih
mencengangkan, temuan Wakil Ketua DPR RI, Pramono Anung, dalam disertasinya
di Universitas Padjajaran.
Pramono menyebut modal seorang calon legislatif
(caleg) DPR periode 2009-2014 berkisar Rp 300 juta-6 miliar (Pramono, 2013). Mahalnya ongkos
politik ini, menurutnya, karena “rezim pemilu” yang menggunakan sistem
proporsional terbuka. Dengan sistem ini, seorang caleg/calon kepala daerah
harus merogoh kocek dalam-dalam untuk menjadi kontestan politik.
Reformasi Sistem
Ke depan, agenda antikorupsi harus dilakukan
komprehensif dan sistematik. Perang melawan korupsi tidak cukup dengan
upaya-upaya represif yang mengandalkan KPK sebagai ujung tombak, tetapi juga
harus menyentuh aspek-aspek yang lebih fundamental dalam sistem politik
Indonesia. Langkah fundamental yang harus dilakukan salah satunya mereformasi
sistem politik Indonesia.
Reformasi sistem politik ini dapat berupa
pembenahan sistem pemilu dan kepartaian. Pola rekrutmen
jabatan politik harus meminimalisasi ongkos politik dan
mengedepankan prinsip kompetensi, transparansi, danakuntabilitas
kepada publik.
Ada tiga tawaran solusi dalam tulisan ini
untuk melawan derasnya arus korupsi politik di Indonesia. Pertama,
mereformasi sistem kepartaian dengan sistem pembiayaan partai politik dari
negara. Ini dengan hukuman pembubaran partai politik yang tersangkut kasus
“korupsi politik”. Gagasan ini pernah dilontarkan pengamat politik LSI,
Burhanuddin Muhtadi.
Kedua, mereformasi sistem pemilu menjadi
kombinasi sistem proporsional terbuka dan tertutup. Dengan sistem ini, 50
persen anggota parlemen dipilih langsung dan 50 persen sisanya ditunjuk
partai politik. Gagasan ini didukung sejumlah fraksi di DPR, seperti Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Parta Keadilan Sejahtera (PKS).
Ketiga, melembagakan
nilai-nilai antipolitik uang dalam masyarakat melalui agenda-agenda
pencerdasan rakyat, misalnya membuat Gerakan Semesta Antikorupsi di semua
kalangan masyarakat. Agenda antikorupsi harus menjadi prioritas rakyat. Jika
langkah pertama dan kedua berada pada aras struktural, poin ketiga bergerak
pada aras kultural kemasyarakatan.
Dengan ketiga langkah di atas, kita berharap
mampu membendung gelombang pasang kasus “korupsi politik” di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar