Jumat, 17 Januari 2014

Korupsi dan Politik Biaya Tinggi

Korupsi dan Politik Biaya Tinggi

Mohammad Zaki Arrobi  ;  Penerima Maarif Fellowship 2013,
Ketua Dewan Mahasiswa Fisipol UGM 2013
SINAR HARAPAN,  17 Januari 2014
                                                                                                                        


“Maraknya kasus korupsi politik akhir-akhir ini sebenarnya berpangkal dari sistem politik kita.”

AWAL bulan di “tahun politik 2014” sungguh spesial. Betapa tidak, belum genap sebulan tahun 2014, publik sudah mendapat ”hadiah tahun baru” dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berupa penahanan Anas Urbaningrum, Jumat (10/1).

Penahanan Anas menjadi babak baru bagi drama panjang kasus mega korupsi Hambalang. Anas menambah daftar panjang tersangka kasus “korupsi politik” yang menjadi tahanan KPK. Ia menyusul para politikus lain, seperti Andi Mallarangeng, Ratu Atut Chosiyah, Luthfi Hasan Ishaaq, dan Nazaruddin.

Fenomena maraknya “korupsi politik” menjadi peringatan bagi publik. Ini mengingat gelaran pemilihan umum (pemilu) tidak kurang dari tiga bulan lagi. Jangan sampai pesta demokrasi elektorat lima tahunan yang menghabiskan triliunan rupiah uang rakyat tersebut menjadi pintu masuk praktik “korupsi politik” di kemudian hari.

Maraknya kasus korupsi politik akhir-akhir ini sebenarnya berpangkal dari sistem politik kita. Sistem politik kita terjerat sesuatu yang disebut sistem politik biaya tinggi (high cost politic). Politik biaya tinggi adalah dominannya penggunaan sumber daya finansial dalam kontestasi mengisi sebuah jabatan politik.

Politik biaya tinggi ini sangat terkait melembaganya praktik politik uang (money politics) dalam sistem politik Indonesia. Politik uang tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga menjadi fenomena jamak di negara-negara ASEAN, seperti Malasyia, Papua Nugini, Thailand, dan Filipina (Aspinall, 2013). Penelitian Aspinall menunjukkan, praktik politik uang berkelindan dengan relasi patron klien yang masih dominan dalam sistem politik negara-negara ASEAN.

Dalam kasus Anas, terlihat jelas kasus korupsi yang membelitnya tidak dapat dilepaskan dari praktik membeli suara (vote buying) saat ia maju sebagai calon ketua umum dalam Kongres Partai Demokrat pada 2010. Lebih mencengangkan, temuan Wakil Ketua DPR RI, Pramono Anung, dalam disertasinya di Universitas Padjajaran.
Pramono menyebut modal seorang calon legislatif (caleg) DPR periode 2009-2014 berkisar Rp 300 juta-6 miliar (Pramono, 2013). Mahalnya ongkos politik ini, menurutnya, karena “rezim pemilu” yang menggunakan sistem proporsional terbuka. Dengan sistem ini, seorang caleg/calon kepala daerah harus merogoh kocek dalam-dalam untuk menjadi kontestan politik.

Reformasi Sistem

Ke depan, agenda antikorupsi harus dilakukan komprehensif dan sistematik. Perang melawan korupsi tidak cukup dengan upaya-upaya represif yang mengandalkan KPK sebagai ujung tombak, tetapi juga harus menyentuh aspek-aspek yang lebih fundamental dalam sistem politik Indonesia. Langkah fundamental yang harus dilakukan salah satunya mereformasi sistem politik Indonesia.

Reformasi sistem politik ini dapat berupa pembenahan sistem pemilu dan kepartaian. Pola rekrutmen jabatan politik harus meminimalisasi ongkos politik dan mengedepankan prinsip kompetensi, transparansi, danakuntabilitas kepada publik.

Ada tiga tawaran solusi dalam tulisan ini untuk melawan derasnya arus korupsi politik di Indonesia. Pertama, mereformasi sistem kepartaian dengan sistem pembiayaan partai politik dari negara. Ini dengan hukuman pembubaran partai politik yang tersangkut kasus “korupsi politik”. Gagasan ini pernah dilontarkan pengamat politik LSI, Burhanuddin Muhtadi.

Kedua, mereformasi sistem pemilu menjadi kombinasi sistem proporsional terbuka dan tertutup. Dengan sistem ini, 50 persen anggota parlemen dipilih langsung dan 50 persen sisanya ditunjuk partai politik. Gagasan ini didukung sejumlah fraksi di DPR, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Parta Keadilan Sejahtera (PKS).

Ketiga, melembagakan nilai-nilai antipolitik uang dalam masyarakat melalui agenda-agenda pencerdasan rakyat, misalnya membuat Gerakan Semesta Antikorupsi di semua kalangan masyarakat. Agenda antikorupsi harus menjadi prioritas rakyat. Jika langkah pertama dan kedua berada pada aras struktural, poin ketiga bergerak pada aras kultural kemasyarakatan.

Dengan ketiga langkah di atas, kita berharap mampu membendung gelombang pasang kasus “korupsi politik” di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar